Penggunaan Frekuensi Makin Fleksibel untuk Percepat Layanan 5G
Undang-undang serta perppu tentang cipta kerja melegitimasi fleksibilitas penggunaan spektrum frekuensi. Kemudahan itu diharapkan mempercepat penggelaran layanan teknologi 5G.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memastikan fleksibilitas penggunaan spektrum frekuensi diperbolehkan untuk mempercepat penggelaran layanan 5G. Fleksibilitas yang dimaksud berupa pemakaian bersama dan pengalihan hak penggunaan spektrum frekuensi tanpa perlu aksi korporasi.
Direktur Penataan Sumber Daya Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) Denny Setiawan mengatakan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagai Pengganti Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi dasar hukum diperbolehkannya fleksibilitas penggunaan spektrum frekuensi. Sesuai regulasi itu, pemakaian bersama spektrum frekuensi bisa memakai skema pinjam dan penggabungan spektrum frekuensi.
Untuk skema pinjam frekuensi, izin hanya dipegang satu perusahaan telekomunikasi yang akan meminjamkan. Sementara perusahaan yang akan meminjam spektrum frekuensi, bukan hanya berlatar belakang sektor industri telekomunikasi, harus memperoleh persetujuan dari Kemenkominfo.
Adapun skema penggabungan spektrum frekuensi mensyaratkan antaroperator telekomunikasi yang akan memakai skema ini memiliki izin pita frekuensi dari pemerintah.
”Kebijakan fleksibilitas penggunaan spektrum frekuensi fokus pada teknologi baru. Teknologi akses telekomunikasi seluler 5G, misalnya. Jika penggelaran 5G memanfaatkan jumlah lebar pita spektrum frekuensi terbatas, layanan yang dihasilkan tidak maksimal,” ujar Denny, saat menghadiri acara Sosialisasi Perppu Nomor 2/2022 Sektor Kominfo di Jakarta, Selasa (17/1/2023).
Menurut dia, adopsi teknologi akses seluler 5G butuh lebar frekuensi yang relatif lebih besar dibandingkan teknologi sebelumnya, seperti 2G, 3G, dan 4G. Sebagai gambaran, 5G memerlukan lebar pita 100 megahertz (MHz) untuk jenis spektrum frekuensi tengah (middle band) dan lebar pita 100 MHz lagi untuk jenis spektrum frekuensi tinggi (high band).
Mengenai fleksibilitas yang berupa pengalihan spektrum frekuensi tanpa perlu aksi korporasi, Denny mengatakan, penerima pengalihan harus penyelenggara jaringan telekomunikasi. Mereka harus mendapatkan persetujuan kementerian. Mereka juga harus menuntaskan pembangunan infrastruktur setengah dari komitmen dan tidak ada tunggakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Industri telekomunikasi membutuhkan tambahan spektrum frekuensi, sementara ketersediaan terbatas.
”Kami menginginkan penggelaran layanan telekomunikasi 5G bisa cepat sampai ke desa-desa. Kebijakan fleksibilitas penggunaan frekuensi ini juga kami harapkan bisa sesuai dengan kondisi industri telekomunikasi yang semakin dinamis,” imbuh Denny.
Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi, saat dihubungi terpisah, berpendapat, industri telekomunikasi membutuhkan tambahan spektrum frekuensi sementara ketersediaan terbatas. Lelang baru belum berjalan.
Spektrum frekuensi 700 MHz masih diduduki lembaga penyiaran. Kemudian spektrum frekuensi 3,5 gigahertz (GHz) dan 2,6 GHz masih dipakai penyelenggara satelit.
”Memang, ada pelaku industri merasa keberatan jika pemerintah mewajibkan pemakaian bersama spektrum frekuensi. Alasannya adalah pelaku bersangkutan merasa lebar pita frekuensi yang dimiliki sudah kurang sehingga tidak perlu berbagi,” ujar Heru.
Dia menambahkan, dengan pesatnya dinamika industri telekomunikasi, pemerintah bersama DPR seharusnya merevisi total UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Substansi isi telekomunikasi, baik di UU Cipta Kerja maupun Perppu Nomor 2/2022, hanya terbatas karena hanya mengatasi tantangan kebutuhan frekuensi.
”Industri telekomunikasi saat ini juga harus berhadapan dengan isu konvergensi atau berbaurnya sejumlah teknologi dan media,” kata Heru.