Otoritas Jasa Keuangan mencatat, jumlah investor di pasar modal mencapai 10,3 juta single investor identification (SID) hingga akhir 2022. Jumlah ini bertumbuh 37,53 persen dari tahun 2021.
Oleh
ANASTASIA JOICE TAURIS SANTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para investor di pasar modal masih sangat tertarik dengan produk-produk reksa dana. Ada investor pemula, ada pula yang beralih instrumen investasi dari saham ke reksa dana saham.
Pertumbuhan investor ritel reksa dana masih akan dapat terjadi pada tahun ini. Otoritas Jasa Keuangan mencatat, jumlah investor di pasar modal mencapai 10,3 juta single investor identification (SID) hingga akhir 2022. Jumlah ini bertumbuh 37,53 persen dari tahun 2021. Dari total jumlah investor pasar modal tersebut, jumlah investor reksa dana mencapai 9,59 juta SID, naik 40 persen dari 2021 yang berjumlah 6,84 juta.
“Bank-bank yang merupakan agen penjual reksa dana terus menjual produk reksa dana, seperti untuk nasabah wealth management,” kata Direktur Investasi Schroders Investment Management Indonesia Irwanti dalam Market Outlook di Jakarta, Rabu (18/1/2023).
Selain investor baru, bisa jadi para investor saham yang tadinya bertransaksi saham langsung, karena melakukan pekerjaan dari rumah selama pandemi, beralih membeli produk reksa dana saham karena sudah sibuk kembali bekerja seperti biasa.
Saat ini, total dana kelolaan Schroders sebesar Rp 66,5 triliun, terdiri dari Rp 27 triliun dana kelolaan berbentuk reksa dana dan sisanya adalah Kontrak Pengelolaan Dana (KPD). KPD yang dikelola manajer investasi banyak berasal dari dana perusahaan asuransi yang mengeluarkan produk asuransi yang berkaitan dengan investasi (PAYDI).
Irwanti yakin, dana kelolaan akan meningkat lagi tahun ini. Tahun ini, Schroders akan memperhatikan sektor saham komoditas berbasis metal, konsumer, juga perbankan besar.
Pasar obligasi lebih positif
Soufat Hartawan Head of Fixed Income Schroders mengatakan, pada tahun ini pasar obligasi akan lebih menarik ketimbang tahun lalu. Tahun lalu, investor asing menarik investasi pada obligasi sebesar Rp 120 triliun. “Jumlah ini sangat besar. Tetapi ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik dari tahun lalu,” katanya.
Pelajaran tersebut, imbuh dia, di antaranya semakin berkurangnya dominasi investor global, serta kepemilikan turun dari 40 persen sebelum pandemi menjadi 12-13 persen setelah pandemi. Dengan demikian, ketergantungan terhadap investor asing menjadi lebih kecil, juga fluktuasi di pasar obligasi berkurang.
Belakangan, investor reksa dana juga ada yang beralih membeli langsung obligasi ritel. Insentif pajak yang diberikan kepada pemegang obligasi ritel membuat obligasi ini semakin menarik. Tetapi, menurut Soufat, membeli reksa dana obligasi merupakan salah satu diversifikasi. “Dalam satu produk reksa dana obligasi, sudah ada beberapa macam obligasi. Sedangkan jika membeli obligasi langsung, hanya satu macam saja,” ujarnya.
Dalam kesempatan terpisah, Direktur & Chief Investment Officer Fixed Income Manulife Aset Manajemen Ezra Nazula, mengatakan, selama tahun 2022, kurva imbal hasil obligasi menunjukkan pola bearish flattening. Artinya, obligasi bertenor paling pendek mengalami kenaikan imbal hasil paling tinggi sebesar 181 basis poin. Adapun obligasi bertenor paling panjang, yaitu 30 tahun, mengalami kenaikan imbal hasil paling kecil sebesar 46 basis poin. Hal ini membuat investor lebih menyukai obligasi bertenor pendek.
Ezra menambahkan, ada faktor yang menjadi katalis pasar obligasi tahun ini, yaitu perbaikan fundamental makroekonomi Indonesia. Selain itu juga permintaan kuat dari investor domestik seperti dari perbankan, asuransi, dana pensiun dan investor ritel, serta pembukaan kembali China.