Kendati Masih Dibayangi Ketidakpastian, Dunia Sedikit Lebih Optimistis
Kembali dibukanya ekonomi China diyakini akan mendorong pemulihan lebih cepat tahun ini. Kondisi keuangan global juga dinilai dapat membaik dengan menurunnya inflasi serta posisi dollar AS yang tidak sekuat sebelumnya.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Memasuki tahun 2023, proyeksi pertumbuhan ekonomi global sedikit lebih optimistis kendati masih dibayangi perlambatan. Dana Moneter Internasional atau IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global akan mencapai 2,9 persen tahun ini atau meningkat 0,2 poin persentase dari perkiraan sebelumnya yang sebesar 2,7 persen.
Dalam laporan terbarunya, World Economic Outlook Update edisi Januari 2023 yang dipublikasikan pada Selasa (31/1/2023), IMF memprediksi, secara umum pertumbuhan ekonomi global akan melambat dari 3,4 persen pada tahun 2022 menjadi 2,9 persen pada tahun 2023, lalu naik ke 3,1 persen pada 2024.
Proyeksi untuk tahun 2023 itu naik 0,2 poin persen lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya pada laporan World Economic Outlook edisi Oktober 2022. Saat itu IMF memprediksi ekonomi global akan jatuh ke 2,7 persen.
Kembali dibukanya perekonomian China setelah sempat ditutup akibat penyebaran Covid-19 diyakini akan mendorong pemulihan lebih cepat. Kondisi keuangan global juga dinilai mulai membaik dengan menurunnya inflasi serta dollar AS yang mulai turun dari level tertingginya.
Inflasi global diperkirakan turun dari 8,8 persen pada 2022 menjadi 6,6 persen pada 2023, lalu menjadi 4,3 persen pada tahun 2024. Kendati trennya terus menurun, proyeksi itu masih di atas level prapandemi Covid-19, ketika inflasi berada di angka 3,5 persen.
Laporan itu memaparkan, risiko perlambatan lain, seperti perang Rusia-Ukraina yang masih berlangsung serta kebijakan pengetatan moneter oleh bank sentral negara maju, tetap akan membawa ketidakpastian ekonomi sepanjang tahun ini. Namun, berbagai risiko itu dinilai sudah lebih reda ketimbang Oktober 2022 lalu.
Kepala Ekonom dan Direktur Departemen Riset IMF Pierre-Olivier Gourinchas dalam konferensi pers secara virtual mengatakan, ekonomi global terbukti kuat menghadapi tekanan sepanjang triwulan III-2022 lalu, dengan pasar ketenagakerjaan yang tangguh, permintaan (demand) yang tetap tinggi, serta kemampuan beradaptasi yang baik dalam menyikapi krisis energi di Eropa.
”Inflasi mulai membaik dengan adanya penurunan di sejumlah negara, meski inflasi inti umumnya masih meningkat. Penguatan dollar AS juga mulai mereda dibandingkan level tertinggi November 2022 lalu. Ini setidaknya memberi kelegaan dan bisa menjadi titik balik untuk kondisi ekonomi dunia, khususnya bagi negara-negara berkembang,” kata Gourinchas, Selasa.
Laporan IMF memprediksi, pertumbuhan ekonomi di negara ASEAN-5 (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand) akan tetap melambat ke 4,3 persen tahun ini, kemudian meningkat ke 4,7 persen pada 2024. Inflasi di kelompok negara berkembang (emerging markets) diperkirakan turun dari 9,9 persen pada 2022 menjadi 8,1 persen pada 2023 dan menjadi 5,5 persen pada 2024.
Ini setidaknya memberi kelegaan dan bisa menjadi titik balik untuk kondisi ekonomi dunia, khususnya bagi negara-negara berkembang.
Risiko
Akan tetapi, berbagai risiko tetap harus diantisipasi. Kendati China sudah kembali membuka pembatasan aktivitasnya, proses pemulihan ekonomi akan tetap memakan waktu. Hal ini akan berdampak pada ekonomi dunia dalam bentuk permintaan global yang tertahan serta potensi masalah baru di rantai pasok global.
Di sisi lain, perang Rusia-Ukraina yang belum menemui titik terang dapat bereskalasi tahun ini dan memberi tekanan lanjutan pada inflasi yang sebenarnya mulai mereda. ”Harga minyak, gas, dan pangan akibat perang dan permintaan dari China bisa menaikkan lagi inflasi dan kembali mendorong kebijakan pengetatan moneter,” tulis laporan itu.
Seiring dengan perang yang masih berlanjut, lanskap geopolitik pun semakin terfragmentasi. Polarisasi akan membawa kendala pada arus perdagangan dunia, pasar tenaga kerja global, dan sistem keuangan internasional serta berpotensi menghambat pemulihan ekonomi global secara merata.
IMF juga mengingatkan risiko tumpukan utang yang bertambah di negara-negara berkembang. Sekitar 15 persen negara berpendapatan rendah kini menghadapi krisis utang, dengan 45 persen negara lainnya berisiko tinggi terkena krisis utang. Negara emerging markets tidak lepas dari risiko itu, dengan 25 persen negara tetap berpotensi terkena krisis utang.
”Kombinasi utang yang tinggi akibat penanganan pandemi, pertumbuhan ekonomi yang masih lambat, dan biaya meminjam yang lebih tinggi semakin memperparah kerentanan kondisi fiskal sejumlah negara,” kata Gourinchas.
Negara emerging markets tidak lepas dari risiko itu, dengan 25 persen negara tetap berpotensi terkena krisis utang.
Inflasi
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai, inflasi akan tetap menjadi salah satu risiko bagi perlambatan ekonomi Indonesia tahun ini. Pada tahun 2022, tidak ada satu pun daerah yang mencapai target inflasi pada angka 3 persen plus minus 1 persen.
”Kalau membandingkan tingkat inflasi dengan pertumbuhan ekonomi tahun lalu, kita ini sesungguhnya tekor. Secara riil, pendapatan masyarakat menghadapi problem serius, alias besar pasak daripada tiang,” katanya.
Tauhid pun mengingatkan pentingnya peran pemerintah pusat dan daerah dalam mengendalikan inflasi. ”Yang perlu menjadi concern kita memang komponen harga yang diatur pemerintah karena ini yang paling dominan mengerek inflasi tahun lalu. Artinya, kendali untuk mengatur efek inflasi ada di pemerintah, dari harga bensin, BBM rumah tangga, serta tarif angkutan udara dan dalam kota,” ujarnya.
Sementara itu, senada dengan IMF, Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai, ekonomi global tahun ini seharusnya tidak sesuram berbagai prediksi yang dibuat tahun lalu. Ia mencontohkan, pertumbuhan Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Eropa pada Januari 2023 mulai kembali memasuki zona ekspansif, yakni di level 50,2.
Perekonomian Amerika Serikat pada triwulan IV tahun 2022 juga mulai membaik. Meski melambat, pertumbuhannya lebih tinggi dari perkiraan. ”Saat melihat tahun 2023, tahun lalu IMF sering menyampaikan bahwa dunia akan menghadapi situasi gelap. Tapi, sekarang tone-nya mulai berubah, sudah sedikit lebih baik dari skenario terburuk yang dulu diperkirakan,” kata Sri Mulyani saat beraudiensi dengan pelaku usaha manufaktur di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, Jumat (27/1/2023) lalu.