PLN Buka Kerja Sama Waralaba Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik
SPKLU di Istana Kepresidenan Bogor diresmikan. PT PLN juga membuka kerja sama waralaba untuk membangun SPKLU di berbagai tempat strategis.
Oleh
NINA SUSILO
·2 menit baca
BOGOR, KOMPAS — PLN mendorong pembangunan stasiun pengisian kendaraan listrik umum atau SPKLU di berbagai wilayah strategis. Untuk itu, kerja sama dengan sistem waralaba dibuka untuk perusahaan swasta pemilik pusat perbelanjaan, perkantoran, kantor bank, kedai kopi, ataupun restoran cepat saji yang memiliki lahan parkir cukup luas.
Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo menyebutkan, PT PLN sudah membangun 600 SPKLU saat ini. Untuk motor listrik, PLN menyediakan stasiun pengisian listrik umum (SPLU) yang sudah lebih dari 6.500 lokasi.
Namun, hal ini dinilai jauh dari cukup. Selain itu, PLN tidak memiliki lahan-lahan di lokasi strategis dalam jumlah memadai.
Karena itu, PT PLN (Persero) membuka kerja sama dengan pihak swasta dalam sistem waralaba untuk menambah jumlah SPKLU. ”Selama listrik dipakai, kami akan dukung (perusahaan swasta). Jadi, PLN tidak mengambil keuntungan, dipersilakan untuk swasta,” ujarnya seusai peresmian SPKLU di Istana Kepresidenan Bogor, Bogor, Jawa Barat, Jumat (10/3/2023).
Perusahaan swasta, sesuai aturan yang ditetapkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, bisa menjual listrik di SPKLU seharga Rp 2.500 per kWh. Adapun biaya listrik PLN sekitar Rp 1.500 per kWh. Dengan biaya lokasi, pembelian, dan pemasangan alat, diperkirakan SPKLU tetap layak sebagai bisnis.
PLN juga memastikan memiliki sistem ketenagalistrikan yang sangat andal dibandingkan empat-lima tahun lalu. Pasokan dan permintaan, disebut Darmawan, seimbang. Ketersediaan juga selalu mengikuti penambahan permintaan.
Saat ini saja, beban puncak di Jawa 27-28 gigawatt per hari, sedangkan ketersediaan mendekati 40 GW. ”Jadi, cukup jauh (antara ketersediaan dan beban puncak),” tambahnya.
Salah satu contoh kerja sama PLN dalam membangun SPKLU dilakukan dengan Istana Kepresidenan. SPKLU di Istana Kepresidenan Bogor menjadi yang pertama. Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono berharap hal sama bisa diterapkan di istana-istana lain, termasuk Gedung Agung Istana Kepresidenan Yogyakarta dan Istana Kepresidenan Tampaksiring, Bali.
Darmawan bahkan menyebut kerja sama ini sebagai simbol kekompakan dalam menjalankan arahan Presiden Jokowi mengakselerasi transisi energi. Penggunaan listrik sebagai bahan bakar kendaraan dikatakan ramah lingkungan. Sebab, lanjutnya, 1 liter bensin menghasilkan emisi CO2 sekitar 2,4 kilogram. Adapun penggunaan 1 liter bensin setara dengan 1,2 kWh listrik.
”Kalaupun listrik yang digunakan dihasilkan dari (pembangkit listrik tenaga) batubara, emisi CO2 hanya 1,2 kilogram. Jadi, penggunaan motor listrik di istana bisa mengurangi emisi gas rumah kaca sampai 50 persen,” tambah Darmawan.
Saat ini, ia mengatakan, sebagian listrik yang dihasilkan berasal dari pembangkit listrik tenaga gas ataupun energi baru terbarukan. Karena ini, upaya ini merupakan jalan menuju emisi nol (net zero emission) yang ditargetkan bisa dicapai Indonesia pada 2060.
Selain ramah lingkungan, biaya bahan bakar kendaraan listrik jauh lebih murah. Jika harga pertalite saat ini Rp 11.000 per liter, biaya listrik 1 kWh Rp 2.500. Dengan demikian, penggunaan 1 liter pertalite bisa digantikan 1,2 kWh listrik atau sekitar Rp 3.000.
Sejauh ini, kata Heru, Istana Kepresidenan secara bertahap beralih ke kendaraan listrik. Akan tetapi, diakui, baru sedikit kendaraan di istana yang berbasis energi listrik.
Kendaraan listrik di Istana Bogor antara lain sepeda motor listrik yang digunakan di dalam istana, kendaraan operasional, dan mobil polisi pengawal rangkaian kepresidenan.
Kepala Istana Kepresidenan Bogor Erwin Wicaksana menambahkan, kendaraan listrik yang ada dan sudah memanfaatkan SPKLU di Istana Bogor sangat hemat biaya bahan bakar. ”Plus enggak ada ganti oli, ganti busi, ganti oli transmisi, dan lain-lain,” ujarnya.