Rumah Subsidi Salah Sasaran, Pemerintah Siapkan Sanksi
Pemerintah akan menegakkan pengawasan terhadap masyarakat, perbankan, dan pengembang rumah bersubsidi. Rumah bersubsidi dituntut memenuhi prinsip layak huni dan tepat sasaran dalam penyalurannya.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS ― Pemerintah menyiapkan sanksi bagi pihak-pihak yang menyebabkan peruntukan rumah bersubsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah menjadi salah sasaran. Sejalan dengan hal itu, pemerintah menyiapkan proyek percontohan rumah tabungan perumahan rakyat atau tapera yang memenuhi kriteria rumah bersubsidi layak huni dan tepat sasaran.
Data Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) menunjukkan, penyaluran kredit pemilikan rumah bersubsidi melalui fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) ditargetkan 229.000 unit atau senilai Rp 25,18 triliun. Hingga triwulan I-2023, realisasi penyaluran FLPP mencapai 46.233 unit atau Rp 5 triliun.
Batasan harga rumah bersubsidi berkisar Rp 150,5 juta hingga Rp 219 juta per unit sesuai dengan zonasi. Sementara batasan penghasilan untuk memiliki rumah bersubsidi adalah maksimum Rp 8 juta–Rp 10 juta per bulan sesuai dengan zonasi.
Jumlah rumah tangga yang belum memiliki rumah mencapai 12,75 juta orang, sedangkan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan melalui KPR-FLPP pada tahun 2023 baru mencakup 220.000 unit.
Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Herry Trisaputra Zuna mengemukakan, kebutuhan rumah tinggal masih sangat besar. Jumlah rumah tangga yang belum memiliki rumah mencapai 12,75 juta orang, sedangkan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan melalui KPR-FLPP pada 2023 baru mencakup 220.000 unit.
Meski demikian, ketepatan sasaran masih menjadi persoalan dalam penyaluran rumah bersubsidi. Beberapa isu terkait itu, antara lain, rumah yang belum lima tahun dihuni sudah berpindah kepemilikan, disewakan, atau tidak dihuni lagi.
Pemerintah akan menegakkan mekanisme pengawasan sehingga penyaluran rumah dapat terpantau dan penerima fasilitas subsidi rumah adalah masyarakat yang berhak. Sanksi akan diberikan bagi pihak-pihak yang memicu penyaluran rumah subsidi tidak tepat sasaran, baik itu konsumen, pengembang bersubsidi, maupun perbankan.
”Kalau tidak ada pemantauan akan terjadi temuan (salah sasaran yang) berulang. (Pengawasan) ini bukan pilihan, tetapi harus dilakukan. BP Tapera harus memiliki perjanjian bahwa penyaluran subsidi hanya untuk pengembang yang berkomitmen terhadap kualitas,” kata Herry dalam diskusi ”Rumah Tapera, Rumah Tepat Kualitas, Rumah Tepat Sasaran,” yang diselenggarakan BP Tapera, Selasa (11/4/2023).
Ia menambahkan, konsumen yang tidak berhak akan mendapat sanksi berupa kewajiban membayar bunga kredit nonsubsidi atau komersial. Adapun perbankan yang terlibat dalam penyaluran kredit FLPP yang salah sasaran dapat dikenakan disinsentif, yakni tidak mendapatkan alokasi penyaluran dana FLPP, sedangkan pengembang tidak memperoleh fasilitas untuk menjadi pemasok rumah bersubsidi.
Di lain pihak, pemerintah akan memberikan penghargaan bagi pengembang yang berkomitmen terhadap penyediaan rumah bersubsidi berkualitas baik dan layak huni. ”Kami bisa memberikan insentif pada pihak pengembang yang memperhatikan kualitas (rumah) dengan pemberian fasilitas yang baik sehingga produk semakin efisien,” lanjut Herry.
Berdasarkan hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), seperti dikutip Antara, terdapat penyaluran atas 256 debitur FLPP yang tidak tepat sasaran serta penanganan penyelesaian kredit FLPP terhadap 5.679 debitur yang tidak sesuai ketentuan.
Menurut Herry, pemerintah terus membenahi kriteria rumah bersubsidi yang layak huni melalui peluncuran rumah tapera. Penamaan rumah bersubsidi menjadi rumah tapera diharapkan memenuhi kebutuhan masyarakat, antara lain tidak jauh dari lokasi kerja, baik berupa rumah tapak ataupun rumah vertikal. Selain itu, kualitas bangunan baik, sanitasi dan air minum, layak serta memenuhi kualifikasi rumah ramah lingkungan atau rumah hijau.
Kualitas rumah bersubsidi selama ini terkesan berbeda dengan rumah nonsubsidi. Pandangan itu harus diubah dengan meningkatkan kualitas rumah tapera. Produsen rumah bertanggung jawab membangun rumah layak huni dan kualitas baik.
”Rumah tapera diharapkan memenuhi syarat kelayakan dan sudah masuk kriteria hijau sehingga akses pembiayaan menjadi lebih mudah. Harus ada tujuan mulia yang membedakan dengan rumah-rumah lain,” kata Herry.
Komisioner BP Tapera Adi Setianto mengemukakan, ada sejumlah penyebab peruntukan rumah bersubsidi yang salah sasaran. Di antaranya, rumah sudah dibangun dan diberi fasilitas, tetapi tidak bisa dihuni karena masalah prasarana sarana umum tidak memadai. Percontohan rumah tapera akan menjadi acuan bagi pengembang terkait rumah yang berkualitas. Dengan rumah tapera, ada jaminan masyarakat bisa mengakses rumah yang terjamin kualitas dan layak huni melalui skema FLPP maupun kepemilikan rumah berbasis tabungan.
Rumah tapera
Adi menambahkan, BP Tapera mendorong model rumah tapera berupa rumah vertikal dan rumah tapak. Terobosan pembiayaan bagi masyarakat sektor informal terus dilakukan melalui solusi kepemilikan rumah berbasis tabungan perumahan. Sumber pendanaan berasal dari FLPP. ”Inovasi baru tabungan rumah tapera dilakukan untuk pekerja mandiri tabungan rumah tapera, yakni berbasis skema tabungan perumahan,” ujarnya.
Produk tabungan rumah tapera dinilai membantu pekerja mandiri yang belum layak bank menjadi layak bank. Dengan menabung secara konsisten selama tiga bulan dengan nominal yang disesuaikan, pekerja mandiri diharapkan bisa menjadi layak bank dan dilayani oleh perbankan.
Deputi Komisioner BP Tapera bidang Pemupukan Dana, Ariev Baginda Siregar, mengemukakan, pemerintah segera meluncurkan proyek percontohan rumah tapera di Brebes, Jawa Tengah, dengan melibatkan badan bank tanah, Perum Perumnas, dan Bank Tabungan Negara. Rumah tapera akan menjadi ”branding” hunian bersubsidi yang sejalan dengan kualitas, serta dapat diakses pekerja formal dan sektor informal yang tergolong masyarakat berpenghasilan rendah.
Pekerja mandiri yang selama ini terkendala akses pembiayaan karena tidak layak bank (unbankable) akan diberikan solusi berupa pembiayaan berbasis tabungan. Produk rumah tabungan rumah tapera untuk pekerja mandiri sektor informal akan segera disosialisasikan.
Pekerja mandiri yang selama ini terkendala akses pembiayaan karena tidak layak bank ( unbankable) akan diberikan solusi berupa pembiayaan berbasis tabungan.
Deputi Komisioner Bidang Pengerahan Dana BP Tapera Eko Ariantoro, mengemukakan, selama periode FLPP, target penyaluran dana KPR FLPP untuk pekerja mandiri yang bekerja di sektor informal rata-rata 10-11 persen dari total target penyaluran FLPP. Mulai tahun 2023, target realisasi FLPP untuk sektor informal ditargetkan naik menjadi 20 persen atau 50.000 unit.
Ia mengakui, hingga saat ini belum ada data akurat terkait peserta pekerja mandiri. Namun, survei angkatan kerja nasional (sakernas) memperlihatkan terdapat sekitar 60 juta pekerja mandiri informal. Sejumlah 38 juta pekerja di antaranya memiliki penghasilan di bawah upah minimum regional (UMR) sehingga masih kesulitan mengakses pembiayaan rumah tapera.
Skema produk tabungan rumah tapera (saving plan) dinilai akan mengakomodasi pekerja informal, melalui kepesertaan tapera. Percontohan skema produk tabungan rumah tapera itu akan segera diluncurkan melalui kerja sama dengan Bank BTN.
”Ada fleksibilitas menabung sesuai kemampuan menabung harian, mingguan, atau bulanan. Peserta pekerja mandiri akan dapat predikat bankable setelah menabung tiga bulan di saving plan dan selanjutnya dapat mengajukan kredit rumah tapera berbasis dana FLPP,” katanya.