Keberadaan lembaga konsumen tetap dibutuhkan sebagai penyeimbang. Lembaga ini dituntut adaptif terhadap perkembangan zaman agar dapat terus memberdayakan konsumen.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Konsumen Indonesia dinilai cakap menggunakan hak dan kewajibannya untuk menentukan pilihan konsumsi, tetapi belum aktif memperjuangkan haknya sebagai konsumen. Keberdayaan konsumen tersebut dikategorikan berada pada level mampu.
Keberdayaan ini perlu ditingkatkan agar konsumen punya daya tawar tinggi di tengah pesatnya perubahan teknologi digital yang mempegaruhi produksi dan distribusi barang/jasa. Lembaga perlindungan konsumen pun dituntut adaptif.
“Level mampu sebenarnya tidak jelek atau tidak bagus, tetapi menengah. Untuk memperbaiki, (perlu) aktivitas pemberdayaan konsumen supaya dia paham hak dan kewajibannya, kemudian berani complain ketika tahu ada haknya dilanggar oleh produsen dan pemerintah sebagai penyedia layanan publik,” ujar Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi dalam peringatan ulang tahun ke-50 YLKI, Kamis (11/5/2023), di Jakarta.
Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) mengukur perilaku konsumen mulai tahap prapembelian, saat pembelian, hingga pascapembelian. Indeks ini meliputi 19 variabel penilaian. Hal ini diatur dalam Keputusan Menteri Perdagangan (Mendag) Nomor 162 Tahun 2022 tentang Pedoman Penilaian IKK.
Keberdayaan ini perlu ditingkatkan agar konsumen punya daya tawar tinggi di tengah pesatnya perubahan teknologi digital yang mempegaruhi produksi dan distribusi barang/jasa.
IKK diperoleh melalui survei yang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag) di 34 provinsi dengan sampel tersebar pada sembilan sektor perdagangan, seperti obat dan makanan, jasa keuangan, dan pariwisata. Pada tahun 2022, Kemendag menggunakan teknik multistage cluster sampling terhadap jumlah keseluruhan responden 17.000 orang.
Hasil survei IKK 2022 menunjukkan angka IKK nasional mencapai 53,23 atau berada pada kategori mampu. Sebelumnya, angka IKK nasional 50,39 pada 2021 dan 49,07 pada tahun 2020. Pada kedua tahun itu, indeks juga berada pada kategori mampu.
YLKI berdiri pada 11 Mei 1973. Dalam perkembangan, YLKI bukan satu-satunya lembaga yang berkecimpung pada perlindungan hak konsumen di Indonesia. Tulus menyebutkan, setidaknya ada sekitar 200 lembaga konsumen di Indonesia. Pemerintah juga mendirikan Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Beberapa instansi pemerintah saat ini juga telah menyediakan kanal pengaduan dan kritik dari warga sebagai konsumen.
“Banyaknya lembaga konsumen perlu dilihat sebagai peluang untuk meningkatkan sinergi pemberdayaan kepada konsumen. Selain itu, antarlembaga konsumen perlu berkolaborasi untuk mendorong kebijakan yang berpihak pada konsumen sehingga menutup ruang bagi pemerintah ataupun pengusaha melanggar hak konsumen,” kata Tulus.
Lembaga konsumen
Ekonom senior yang juga tokoh lingkungan hidup Emil Salim, dalam sambutannya melalui video, mengatakan, sejak tahun 1975 berkembang teknologi yang berdasarkan kecerdasan buatan dan produksi pengetahuan yang mengandalkan sains. Warga sebagai konsumen juga semakin terbiasa menyampaikan keluhan melalui berbagai kanal komunikasi di internet, seperti media sosial.
Lembaga perlindungan konsumen bukan berarti harus menguasai semua perkembangan teknologi itu, tetapi menurut Emil, cukup memahami aspek digital yang strategis bagi konsumen. Lembaga perlindungan konsumen bisa memanfaatkan ahli — ahli teknologi digital untuk merekam dan memproses konten keluhan yang tercetus tersebut.
“Jadi, lembaga konsumen harus proaktif bukan menunggu pengaduan. Ekonomi digital berkembang cukup kompleks. Sementara keberadaan lembaga konsumen tetap harus menjadi penyeimbang bagi produsen,” ujar Emil.
Emil menambahkan, YLKI yang telah berusia 50 tahun bisa menjadi kekuatan sosial masyarakat jika YLKI mampu membuktikan manfaatnya kepada masyarakat. YLKI disarankan mengembangkan program pengaduan konsumen dari berbagai saluran, termasuk melalui kanal digital.
Sementara itu, Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih berpendapat, perkembangan industri digital menyebabkan definisi konsumen meluas. Konsumen tidak dapat hanya didefinisikan sebagai orang yang menggunakan barang dan jasa sehari-hari, tetapi juga orang yang menggunakan layanan di ruang digital. Hal ini pada akhirnya mendorong cakupan perlindungan konsumen bertambah.
Menurut Ketua Institut Studi Transportasi (INSTRAN) Darmaningtyas, tantangan lain yang dihadapi oleh lembaga perlindungan konsumen yaitu sumber daya manusia. Saat ini, lembaga konsumen kesulitan mendapatkan kader-kader untuk menjadi relawan yang piawai untuk membangun gerakan konsumen yang kuat.