Data dari Bank Pembangunan Asia 2021, partisipasi kemitraan UMKM Indonesia dengan rantai produksi global baru 4,1 persen dari total unit usaha. UMKM masih cenderung berjalan sendiri-sendiri.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kesiapan usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM untuk kemitraan dinilai masih rendah. UMKM masih cenderung berjalan sendiri-sendiri dan sulit masuk dalam kemitraan untuk rantai pasok utama industri.
Staf Khusus Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Bidang Ekonomi Kerakyatan, Muhammad Riza Damanik, mengemukakan, jumlah UMKM di Indonesia sekitar 64 juta unit usaha. Namun, partisipasi kemitraan UMKM masih cenderung rendah. Sebagian besar UMKM merupakan usaha mikro yang sangat rentan dengan perubahan lingkungan.
Data dari Bank Pembangunan Asia 2021, partisipasi kemitraan UMKM Indonesia dengan rantai produksi global baru 4,1 persen dari total unit usaha. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada 2020 mencatat, jalinan kemitraan usaha menengah kecil dan usaha menengah besar baru sekitar 7 persen.
Persoalan mendasar selama ini, lanjut Riza, usaha yang dijalankan UMKM cenderung sendiri-sendiri dalam skala terbatas sehingga kualitas, kuantitas, dan kontinuitas usaha tidak berjalan dengan baik. Di sisi lain, praktik kemitraan dengan industri di masa lalu kerap hanya menguntungkan usaha besar, sementara alih teknologi berjalan lambat. Kemitraan industri dengan UMKM cenderung bukan mendorong UMKM tersebut untuk masuk ke rantai pasok atau menghasilkan produk turunan dari industri.
”Apabila UMKM terus dibiarkan tumbuh sendiri-sendiri, tidak terhubung dengan rantai pasok industri nasional dan BUMN, maka sulit untuk bisa naik kelas, apalagi mau masuk ke dalam pasar global,” kata Riza, saat dihubungi, Selasa (23/5/2023), di Jakarta.
Secara terpisah, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) M Afif Hasbullah merilis, hasil pengawasan KPPU terhadap kemitraan UMKM menunjukkan bahwa kesiapan UMKM untuk kemitraan memang masih rendah. Persoalan itu, antara lain, dipicu rendahnya pemahaman pelaku usaha terkait kesetaraan dalam hubungan kemitraan, serta regulasi pelaksanaan kemitraan yang belum komprehensif.
Afif menilai, pengawasan dan evaluasi yang berkesinambungan terhadap pelaksanaan kemitraan oleh regulator sektor terkait dinilai masih kurang, serta minimnya koordinasi dan sinergi atarinstansi pemerintah. ”Dibutuhkan koordinasi dan sinergi antar-instrumen pemerintah yang memiliki mandat terkait kemitraan dan UMKM untuk dapat menyelesaikan permasalahan tersebut,” ujarnya.
Riza menambahkan, penguatan kemitraan UMKM dengan usaha besar agar lebih adil, saling menguatkan dan menguntungkan, telah menjadi perhatian utama pemerintah. Kementerian Koperasi dan UKM sedang mengembangkan model kemitraan UMKM berbasis ekosistem dengan menggandeng badan usaha milik negara (BUMN) dan perusahaan swasta.
Penguatan kemitraan telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan Berusaha UMKM dan Koperasi. Dalam Pasal 102 disebutkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah memberikan insentif kepada UMKM, serta usaha besar agar kemitraan usaha dapat berjalan baik dan mudah.
Kemitraan UMKM dengan BUMN telah diperluas dari awalnya enam BUMN yang terlibat menjadi 17 BUMN. Salah satu strategi yang diterapkan, yakni fokus pada kemitraan di sektor unggulan lokal, termasuk pertanian, perikanan, peternakan dan perkebunan. UMKM didorong berhimpun dalam koperasi untuk selanjutnya masuk dalam kemitraan berbasis ekosistem dan terhubung dengan rantai pasok industri nasional. Kemitraan UMKM masuk dalam target 500 koperasi modern tahun 2024.