Pemerintah mendalami identitas peserta arisan Rp 2,5 miliar di Makassar dan kepatuhan mereka membayar pajak. Tren ”flexing” di media sosial kerap membantu pemerintah dalam mengidentifikasi wajib pajak yang mangkir.
Oleh
agnes theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Direktorat Jenderal PajakKementerian Keuangan tengah memantau arisan ibu-ibu bernilai fantastis di Makassar, Sulawesi Selatan. Kementerian Keuangan akan mendalami identitas para peserta arisan serta kepatuhan mereka dalam membayar pajak selama ini. Namun, pemerintah menegaskan bahwa arisan bukan obyek Pajak Penghasilan.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) Dwi Astuti, Selasa (23/5/2023), mengatakan, arisan pada dasarnya bukan obyek Pajak Penghasilan (PPh). Berdasarkan definisi, penghasilan adalah tambahan kemampuan ekonomis yang didapat seseorang dalam nama dan bentuk apa pun.
Publik pun diharapkan tidak salah memahami kedudukan arisan sebagai obyek perpajakan. ”Jadi, kembali lagi saja pada filosofi penghasilan. Kalau dari definisi, arisan memang bukan obyek PPh. Itu, kan, sama saja sebenarnya dengan menabung tanpa bunga,” kata Dwi di gedung DJP Kemenkeu, Jakarta Selatan.
Dwi menjelaskan, yang sedang dipantau oleh Kantor Wilayah (Kanwil) Sulawesi Selatan, Barat, dan Tenggara (Sulselbarta) serta DJP Kemenkeu saat ini adalah identitas para peserta arisan di Makassar serta kepatuhan mereka dalam membayar dan melaporkan pajak selama ini.
Ia mengatakan, jika kepatuhan pajak para peserta arisan itu selama ini terbukti sudah baik dan besaran arisan itu sudah sesuai profil pekerjaan dan kemampuan ekonominya, fenomena arisan sebesar Rp 100 juta per bulan itu bukan masalah.
”Jadi, nanti kita lihat saja datanya. Siapa mereka, apakah kepatuhan pajaknya selama ini sudah baik? Kalau, misalnya, memang ibu-ibu itu pengusaha dan sesuai dengan profilnya, kalau memang sudah patuh (membayar pajak), tidak apa-apa. Namun, kalau tidak sesuai profilnya dan tidak patuh, pasti akan ditindaklanjuti sesuai ketentuan yang berlaku,” tutur Dwi.
Menurut dia, proses pemantauan tersebut sampai sekarang masih berlangsung. Oleh karena itu, belum diketahui identitas dari para peserta pengusaha itu serta ada tidaknya indikasi ketidakpatuhan dalam membayar dan melaporkan pajak.
Sebelumnya, linimasa media sosial diramaikan dengan video arisan sekelompok ibu-ibu di Makassar, Sulawesi Selatan, dengan nilai setoran Rp 100 juta per bulan atau Rp 2,5 miliar sekali tarik. Video arisan berjumlah fantastis itu sudah berulang kali dibagikan di media sosial dan menangkap perhatian netizen.
Dalam video itu, tampak setumpuk uang yang ditengarai berjumlah Rp 2,5 miliar hasil setoran arisan yang diikuti oleh 25 orang. Kanwil DJP Sulselbarta sebelumnya menduga salah satu peserta arisan itu adalah seorang pengusaha kosmetik di Makassar. Ada banyak pengusaha yang berdagang di media sosial yang diduga tidak patuh membayar dan melapor pajak.
Memantau kepatuhan
Pemerintah sedang berupaya memperkuat pelaksanaan pengawasan kepatuhan pajak. Berdasarkan Surat Edaran Nomor SE-05/PJ/2022 Tahun 2022 tentang Pengawasan Kepatuhan Pajak, Komite Kepatuhan Pajak itu dibentuk untuk merencanakan, memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan peningkatan kepatuhan wajib pajak pada tingkat kantor pelayanan pajak (KPP).
Komite Kepatuhan Pajak bertugas menyusun daftar prioritas pengawasan berdasarkan status compliance risk management (CRM) atau pemetaan risiko ketidakpatuhan wajib pajak. Tindak lanjut terhadap wajib pajak bersangkutan akan disesuaikan dengan skala risikonya.
”Nanti ada sistem dan mesin yang menentukan status wajib pajak berdasarkan analisis CRM-nya, wajib pajak bersangkutan itu ada di risiko tinggi, menengah, atau bawah. Kalau risiko bawah, cukup diawasi. Kalau menengah, diberi sosialisasi. Kalau risiko tinggi, mungkin perlu diperiksa,” ujar Dwi.
Berdasarkan data DJP Kemenkeu, sampai 10 Mei 2023 pukul 23.45 WIB, kinerja pelaporan surat pemberitahuan tahunan pajak (SPT) secara umum tumbuh tipis 2,84 persen, dengan total 13,36 juta wajib pajak sudah melaporkan SPT. Meski jumlah wajib pajak yang melapor bertambah, tingkat pertumbuhan tahun ini lebih kecil dibandingkan dengan tahun lalu yang sebesar 6,12 persen.
Menurut pengamat pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, fenomena flexing atau pamer di media sosial, seperti dalam fenomena arisan Makassar tersebut, di satu sisi menjadi berkah bagi DJP dalam mengidentifikasi wajib pajak yang selama ini sering menghindar dari kewajiban pajak. Pemantauan arus tren dan percakapan di media sosial sudah kerap dimanfaatkan oleh DJP.
Namun, untuk melakukan pengawasan dengan lebih akurat, dibutuhkan dukungan data yang kuat dari pihak ketiga. Namun, dalam praktiknya, kerap ada ego sektoral yang menyebabkan DJP sulit mendapatkan data dari pihak ketiga tersebut. Selain itu, ada pula celah lain, seperti modus pencucian uang, yang bisa menyulitkan DJP dalam mendeteksi kepemilikan aset.
Sistem CRM yang akan diterapkan DJP diharapkan bisa membantu pengawasan secara lebih detail dan akurat. ”Di sini tantangannya. Tanpa data dari pihak ketiga yang kuat, misalnya data perbankan, kepemilikan properti, dan kepemilikan kendaraan bermotor tidak mungkin bisa melakukan pengecekan dengan detail apakah wajib pajak sudah patuh atau tidak,” katanya.