Mutiara ada di dalam perusahaan dan mutiara itu akan muncul bergantung pada pimpinan mereka.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·4 menit baca
Sebuah kompetisi sepakbola antar bagian digelar oleh sebuah perusahaan. Ada beberapa bagian yang dikenal sebagai tim yang sering main sepakbola. Beberapa pemainnya boleh dibilang lihai bermain sepakbola. Sebaliknya ada tim yang terkesan santai saat kompetisi itu dibuka. Mereka memang tak memiliki pemain unggulan. Akan tetapi kenyataan berkata lain. Tim ini memenangkan kompetisi.
Perebutan sumber daya hebat masih terus berlangsung di pasar tenaga kerja. Perusahaan saling bajak dan mencari sumber daya unggul demi meningkatkan kinerja perusahaan mereka. Situasi berbeda dialami oleh perusahaan-perusahaan dengan modal cekak atau mereka yang tengah terdisrupsi. Untuk membeli sumber daya yang bagus tentu mereka terhalang oleh ketersediaan dana. Apa yang bisa mereka lakukan?
Kenyataan seperti di atas muncul dalam obrolan MIT Sloan Management Review dengan Executive Director the Fuqua dan Coach K Center on Leadership & Ethics (COLE) di Universitas Duke Sanyin Siang beberapa waktu lalu. Sanyin mengatakan, sangat mudah bagi seorang pemimpin untuk mengalah pada mentalitas takut akan kelangkaan sumber daya yang hebat di dalam sebuah tim. Mereka percaya pada omongan dan cara pandang bahwa orang-orang mereka yang saat ini ada di dalam perusahaan tidak cukup baik untuk melakukan tugas atau menyelesaikan masalah tertentu.
Sebenarnya, ketika kita mencermati masalah ini, seringkali kita menemukan kenyataan bahwa potensi tim yang ada belum sepenuhnya muncul dan berwujud. Oleh karena itu, membangun tim yang hebat hampir selalu merupakan masalah untuk mengaktifkan potensi yang belum dimanfaatkan. Pemimpin yang baik tidak mudah untuk langsung berpikir “membeli” sumber daya yang dianggap bagus dari luar. Kadang upaya ini malah memunculkan masalah baru seperti karyawan lama terabaikan. Di sinilah pemimpin harus memahami potensi yang ada di perusahaan dibanding keluyuran di pasar tenaga kerja.
Kehadiran orang yang hebat atau dianggap hebat kadang juga memerangkap seorang pemimpin. Kehadiran mereka kadang dianggap secara berlebihan sehingga mirip dewa penyelamat perusahaan. Film dokumenter “The Last Dance” di HBO tentang tim bola basket Chicago Bulls memberi tahu kita banyak hal tentang pentingnya kerja sama tim dibanding sekadar kehadiran orang hebat. Anggota Forbes Council Mark Samuel dalam tulisannya mengatakan, ketika Michael Jordan pertama kali bergabung dengan Bulls, dia adalah bintang tim. Dia sangat ahli dalam bermain dan mereka bisa memenangkan lebih banyak pertandingan. Akan tetapi mereka tidak pernah memenangkan kejuaraan NBA.
Semua berubah ketika Phil Jackson menjadi pelatihnya. Phil berhenti memusatkan permainan di sekitar Michael Jordan. Ia mulai bekerja dengan menyatukan para pemain sebagai tim dan tidak membiarkan pemain terbaik itu sebagai fokus di dalam tim hingga diposisikan sebagai pahlawan. Michael Jordan berada di dalam tim tetapi bukan pusat segalanya di dalam tim. Chicago Bulls kemudian memenangkan Kejuaraan NBA tiga tahun berturut-turut dan enam kali secara bersamaan. Ada pelajaran kerja yang berharga di sini untuk organisasi dan pemimpin lain yaitu memosisikan seseorang sebagai yang terbaik atau pahlawan malah bakal membuat tim menjadi buruk.
Lalu bagaimanakah perusahaan bisa mengatasi masalah kebuntuan kelangkaan sumber daya hebat? Ignasius Jonan saat menjadi direktur utama PT Kereta Api Indonesia tidak serta merta memboyong orang dari luar untuk memperbaiki kinerja perusahaan itu. Ia lebih banyak membangun sumber daya internal yang sekarang kita bisa melihat kehebatan mereka. Ada yang dulu adalah pegawai rendah kini menjadi pimpinan perusahaan itu. Mereka ada di perusahaan yang sekalipun sudah mendapat cap buruk. Mutiara ada di dalam perusahaan dan mutiara itu akan muncul bergantung pada pimpinan mereka.
Di sisi lain sering ada kasus unik di perusahaan. Executive Sales and Marketing Leadership di Ingram Micro Andrea Short di dalam sebuah tulisan di The Entrepreneur mengatakan, jika Anda pernah merasa kurang dihargai, bahkan saat Anda bekerja lebih keras, ada kemungkinan besar Anda termasuk dalam kategori karyawan yang jarang masuk radar pemimpin meskipun sangat berbakat. Anda mungkin termasuk di dalam “bintang pendiam”. Para pahlawan seperti ini sering membuat kesuksesan untuk tim namun mereka tak terlihat mencari pengakuan. Meskipun mereka sangat berharga dan kurang dihargai, “bintang pendiam” sering kali memulai sendiri, bersedia melakukan tugas yang kurang terlihat, atau bahkan tanpa pamrih. Namun, itu tidak berarti mereka bersenang-senang dalam anonimitas mereka.
Anda mungkin salah satu dari mereka dan berada di tengah jalan untuk keluar dari perusahaan. Anda mungkin masih bingung dengan bagaimana Anda berhasil tetap tidak terlihat. Anda tidak sendirian. Banyak dari karyawan yang baru saja berhenti bekerja percaya bahwa kesempatan mereka untuk maju terbatas (63 persen) atau merasa kurang dihargai di tempat kerja (57 persen). Organisasi di mana pun berada di ambang kehilangan “bintang pendiam” yaitu anggota tim yang telah lama lebih mementingkan melakukan pekerjaan yang baik daripada mengadvokasi kepentingan mereka.
Kembali ke tim sepakbola yang disepelekan di atas. Mereka memiliki kekompakan yang kuat dan anggota saling mendukung. Kekuatan inilah yang kemudian menghasilkan pemain-pemain yang mau bekerja keras di lapangan dibanding tim lain yang terlanjur dicap memiliki banyak bintang. Seorang pemimpin tidak selalu dapat memilih tim Anda. Sebuah tim apa adanya sudah cukup. Pemimpin mereka yang harus membantu tim agar percaya bahwa memang begitu adanya namun bisa memanfaatkan yang dimiliki dari pada terpaku pada kekurangan mereka.