Pelaku Industri Tekstil Mengusulkan Badan dan Regulasi Khusus
Sebanyak sembilan kementerian/lembaga mengatur sektor industri tekstil dan produk tekstil atau TPT. Pelaku industri meminta adanya satu badan dan regulasi khusus yang mengatur sektor TPT.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Urgensi pembentukan badan dan peraturan perundang-undangan khusus sandang dikumandangkan oleh pelaku industri tekstil dan produk tekstil atau TPT. Mereka berpandangan gagasan itu akan mampu mengatasi kompleksitas masalah daya saing TPT nasional.
Anggota Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Iwan Lukminto, mengatakan, selama ini regulasi sektor TPT diatur oleh sembilan kementerian/lembaga yang meliputi, antara lain, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Sementara di negara lain yang juga pengekspor TPT, seperti China, India, dan Pakistan, terdapat satu regulasi dan badan khusus terkait TPT, baik regulasi maupun badan khusus, bekerja secara sistematis.
Ekosistem industri TPT terhitung kompleks mulai dari bahan baku di hulu hingga konfeksi di hilir, masing-masing punya permasalahan dan perkembangan kemajuan inovasi sendiri. Di Indonesia, sektor ini menyerap tenaga kerja langsung hampir 4 juta orang dan menyerap secara tidak langsung sekitar 7 juta orang.
”Tahun ini, pelaku TPT nasional kewalahan menghadapi gempuran impor, termasuk pakaian bekas. Negara pengekspor lain justru mengembangkan regulasi yang lebih berat, seperti India yang mewajibkan ekspor benang ke negaranya bersertifikat. Indonesia harus mempunyai regulasi dan badan khusus sandang yang bekerja secara holistik supaya TPT nasional terselamatkan,” kata Iwan, saat menghadiri rapat dengar pendapat umum (RDPU) peninjauan undang-undang terkait sandang bersama Baleg DPR, Rabu (21/6/2023), di Jakarta. Acara ini berlangsung secara hibrida.
Saat ini utilisasi hulu TPT mencapai 50 persen. Sejumlah pabrik yang berkecimpung di hulu TPT telah berhenti beroperasi.
Ketua Umum API Jemmy Kartiwa Sastraatmaja menyampaikan, saat ini, utilisasi hulu TPT mencapai 50 persen. Sejumlah pabrik yang berkecimpung di hulu TPT telah berhenti beroperasi.
Menurut dia, ekosistem TPT di Indonesia sudah ada, mulai dari serat hingga pakaian jadi. Industri serat, khususnya, telah berkembang sejak lama dan memproduksi poliester. Industri serat rayon pun telah berkembang dan lebih maju dibandingkan China. Bahan baku serat rayon yang berasal dari akasia mudah ditemukan.
Namun, pasca-pembatasan sosial karena pandemi Covid-19 ditiadakan, Jemmy menyebut bahwa Indonesia dijadikan sasaran pasar oleh negara-negara pengekspor TPT. Ekosistem industri TPT seharusnya sarat perlindungan regulasi, tetapi realitanya tidak demikian.
”Memang, ada kebijakan larangan impor terbatas, tetapi pelaksanaannya tidak optimal. Potensi switch HS Code masih terjadi,” kata Jemmy yang juga turut hadir.
Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kementerian Perindustrian Elis Masitoh membenarkan adanya permasalahan yang dihadapi oleh pelaku industri TPT nasional. Dari sisi internal industri TPT, dia ikut menambahkan contoh berupa masalah sejumlah mesin yang dipakai berusia lebih dari 20 tahun sehingga boros energi. Terkait masalah itu, program restrukturisasi mesin dari pemerintah berhadapan dengan tantangan anggaran.
”Sektor TPT bisa dikatakan ’jaring pengaman’ karena menyerap banyak tenaga kerja yang tidak mengenal latar belakang pendidikan secara spesifik. Namun, ini sekaligus menjadi masalah bagi industri TPT nasional. Riset dan pengembangan TPT menjadi kalah dari negara lain,” ujar Elis.
Elis mengatakan, pihaknya mendukung adanya satu aturan khusus TPT yang dikumandangkan oleh pelaku industri. Beberapa aturan yang ada sekarang, dia nilai, cenderung masih bersifat universal.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Johan Budi, berpendapat pentingnya mendudukkan akar persoalan dari regulasi-regulasi mengenai TPT yang sudah ada. Pembuatan UU baru, terutama khusus sandang, semestinya bertujuan menguntungkan banyak elemen pendukung TPT dan bukan hanya pabrik tekstil.
Menanggapi usulan pelaku industri dan pemerintah terkait badan khusus, dia memandang, di Indonesia sudah terlalu banyak badan ataupun komisi. Kecenderungannya, badan ataupun komisi itu punya kewenangan yang saling tumpang tindih dan butuh anggaran besar.
”Apakah badan sandang yang diusulkan menjadi solusi atas kompleksitas problem yang dihadapi sektor industri TPT?” kata Johan.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Golongan Karya, Ferdiansyah, berpendapat senada. Menurut dia, sebelum lanjut membahas urgensi UU khusus sandang, substansi dari UU sampai peraturan menteri mengenai TPT perlu ditelaah mana yang menyebabkan masalah bagi industri.