Sejak akhir 2022, arus ”friend-shoring” atau alih mitra perdagangan makin menguat. Ketergantungan AS terhadap China, misalnya, telah turun. Begitu juga sebaliknya. RI diharapkan dapat menangkap peluang dari kondisi itu.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dunia tengah bergerak dalam arus friend-shoring atau alih mitra perdagangan antarnegara yang memiliki kesamaan kepentingan politik dan ekonomi. Hal itu berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mengganggu rantai pasok dunia. Perlambatan ekonomi dunia bakal berdampak pada kinerja ekspor Indonesia. Namun, Indonesia yang berada dalam posisi netral berpeluang memetik keuntungan atas situasi itu.
Lembaga Konferensi Perdagangan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCTAD) melihat, sejak akhir 2022, arus friend-shoring perdagangan semakin menguat. Perdagangan sesuai kedekatan pertemanan atau aliansi itu ditandai dengan reorientasi perdagangan bilateral yang memprioritaskan negara-negara yang memiliki kesamaan pandangan politik.
Diversifikasi mitra dagang telah terjadi dan terkonsentrasi pada aliansi dan blok tertentu. Perang Rusia-Ukraina, perang dagang Amerika Serikat (AS)-China, dan konsekuensi keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit), berperan penting membentuk tren perdagangan tersebut.
Hal itu mengemuka dalam Global Trade Update yang dirilis UNCTAD pada 21 Juni 2023. Laporan itu juga menunjukkan data pergeseran ketergantungan perdagangan sejumlah negara pada periode triwulan II-2022 hingga triwulan I-2023 dibandingkan triwulan II-2021 hingga triwulan I-2022.
Sejak akhir 2022, arus friend-shoring perdagangan semakin menguat. Perdagangan sesuai kedekatan pertemanan atau aliansi itu ditandai dengan reorientasi perdagangan bilateral yang memprioritaskan negara-negara yang memiliki kesamaan pandangan politik.
Misalnya, ketergantungan perdagangan China dengan AS telah turun 0,9 persen. Ketergantungan AS terhadap China juga turun 2 persen. Begitu juga ketergantungan perdagangan Rusia dengan Uni Eropa (UE) yang turun 5,6 persen.
Di sisi lain, ketergantungan Rusia terhadap China dan Ukraina terhadap UE masing-masing meningkat 3,7 persen dan 20,5 persen. Ketergantungan AS dengan UE dan Taiwan dengan AS juga meningkat masing-masing 0,8 persen dan 1,1 persen.
”Semakin terkonsentrasinya perdagangan itu akan berpengaruh pada perdagangan global tahun ini. Pada triwulan I-2023, perdagangan barang dunia masih tumbuh 1,9 persen dibandingkan triwulan IV-2022. Namun, pada triwulan II-2023 hingga akhir 2023, UNCTAD memperkirakan perdagangan barang dunia akan melambat,” sebut laporan itu.
Sebulan lalu, dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat ke-23, Menteri Keuangan Sri Indrawati mengungkap tentang tantangan dunia tersebut. Perang di Ukraina yang terjadi sejak awal 2022 semakin mempertajam polarisasi dan fragmentasi geopolitik global. Kerja sama ekonomi dan kemitraan strategis semakin terfragmentasi atau terkotak-kotak sesuai kedekatan aliansi.
Hal itu menyebabkan perdagangan dan aliran investasi global melambat. Negara-negara berkembang yang banyak bergantung pada ekspor dan aliran modal luar negeri, termasuk Indonesia, bakal terdampak signifikan.
Merujuk kajian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, dalam skenario dasar, ekspor pada tahun ini hanya akan tumbuh 12,8 persen. Pertumbuhan ekspor itu turun separuhnya dibandingkan ekspor tahun lalu yang tumbuh 26,07 persen. Sementara dalam skenario terburuk, ekspor diperkirakan terkontraksi atau tumbuh minus 14,97 persen (Kompas, 22/6/2023).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan Indonesia pada Mei 2023 surplus 436,5 juta dollar AS. Capaian itu membuat Indonesia membukukan surplus neraca perdagangan selama 37 bulan berturut-turut sejak Mei 2020. Namun, surplus pada Mei 2023 itu merupakan surplus terendah dalam 37 bulan terakhir.
Peluang Indonesia
Ekonom dari Universitas Indonesia dan juga Direktur Eksekutif Next Policy Fithra Faisal Hastiadi, Kamis (22/6/2023), berpendapat perlambatan perdagangan dunia akan berpengaruh juga pada penurunan kinerja ekspor Indonesia. Namun, faktor utama yang mempengaruhi penurunan kinerja ekspor itu lebih pada pelemahan permintaan dari sejumlah negara dan penurunan harga komoditas global.
Di tengah menguatnya arus friend-shoring, Indonesia yang berada di posisi netral justru dapat memetik peluang perdagangan sekaligus investasi. Friend-shoring ini tidak hanya terkait pengalihan mitra dagang tetapi juga investasi.
Friend-shoring ini bertujuan mengamankan perdagangan sekaligus industri ke negara yang lebih bersahabat atau memiliki kepentingan politik yang sama. Terbentuknya aliansi atau blok akibat konflik geopolitik saat ini tidak hanya menguntungkan negara-negara aliansi.
”Negara-negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia, juga menjadi sasaran pengalihan perdagangan dan investasi bagi negara-negara yang tengah berkonflik, seperti AS, China, Rusia, dan sejumlah negara anggota UE,” ujar Fithra.
Di tengah menguatnya arus friend-shoring, Indonesia yang berada di posisi netral justru dapat memetik peluang perdagangan sekaligus investasi. Friend-shoring ini tidak hanya terkait pengalihan mitra dagang tetapi juga investasi.
Menurut Fithra, Indonesia dapat belajar dari pengalaman menangkap peluang tersebut saat awal perang dagang AS-China dan selama pandemi Covid-19. Pada awal perang dagang, baik AS maupun China memindahkan perdagangan dan investasi ke sejumlah negara di kawasan ASEAN. Namun, Indonesia tidak optimal menangkap peluang itu, karena alih mitra justru banyak mengarah ke Vietnam.
Baru pada masa pandemi Indonesia berhasil menangkap peluang itu. China, misalnya, berinvestasi di sektor hilirisasi tambang nikel pada 2020. Di tahun yang sama, perusahaan lampu tenaga surya Alpan Lightning (AS) merelokasi pabriknya dari China ke Indonesia.
Saat ini, lanjut Fithra, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Cipta Kerja yang merupakan modal dasar membuka peluang investasi untuk menciptakan lapangan kerja. Indonesia juga terus membuka perdagangan melalui sejumlah perjanjian dagang.
”Upaya-upaya itu perlu lebih dioptimalkan untuk menangkap alih mitra perdagangan dan investasi, termasuk dari negara-negara yang teraliansi blok barat dan timur,” ujarnya.
Dalam Gambir Trade Talk #10, Rabu (21/6/2023), Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Muhammad Nawir Messi mengingatkan, struktur ekspor Indonesia saat ini masih banyak bergantung pada tiga komoditas utama, yakni minyak kelapa sawit mentah, batubara, dan besi baja. Struktur ekspor tersebut harus dibenahi dengan mendorong produk-produk manufaktur lain sebagai andalan ekspor.
Untuk itu, Indonesia memang membutuhkan investasi. Namun, investasi itu harus yang mengarah pada peningkatan nilai tambah yang dapat menopang ekspor Indonesia. ”Jangan sampai Indonesia justru menjadi sasaran investasi yang hanya mengincar pasar domestik Indonesia yang sangat besar,” kata Nawir.