Jam Belajar Siswa yang Hilang Selama Pandemi Berdampak pada Produktivitas Ekonomi
Akibat penutupan sekolah untuk mencegah penyebaran Covid-19, siswa mengalami keterlambatan belajar kemampuan matematika dan bahasa. Dampaknya menurunnya capaian produktivitas dari potensi yang ada.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jam belajar siswa yang hilang selama periode pandemi Covid-19 pada 2020-2022 akibat penutupan sekolah berpotensi menghambat produktivitas ekonomi. Akibat jam belajar yang hilang itu, kemampuan siswa untuk mata pelajaran matematika dan bahasa melambat. Kelak, berkurangnya kemampuan terhadap dua mata pelajaran tersebut akan berpengaruh pada pendapatan siswa yang bersangkutan ketika masuk pasar kerja.
Hal tersebut menjadi salah satu temuan Bank Dunia lewat penelitian bertajuk ”Indonesia Economic Prospect June 2023: The Invisible Toll of Covid-19 on Learning” yang dirilis pada Senin (26/6/2023) di Jakarta. Peluncuran hasil penelitian itu turut dihadiri Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim.
Berdasarkan temuan Bank Dunia itu, akibat pandemi, Pemerintah Indonesia terpaksa menutup lembaga pendidikan selama 650 hari atau lebih dari 21 bulan. Akibatnya, terjadi keterlambatan peningkatan kemampuan matematika dan bahasa. Pada tingkat nasional, siswa kelas 4 pada 2023 kehilangan keterampilan matematika setara 11,2 bulan dan keterampilan bahasa setara 10,8 bulan dibandingkan para siswa kelas 4 pada 2019 atau prapandemi.
Para siswa yang berasal dari keluarga miskin memiliki tantangan lebih berat karena kehilangan 18,1 bulan pelajaran matematika dan 27,2 bulan pelajaran bahasa. Berbeda dengan keluarga miskin yang lebih sulit mengakses pelajaran secara daring, keluarga kaya yang lebih mudah mengakses jaringan internet hanya kehilangan 3,5 bulan pelajaran matematika dan 5,6 bulan pelajaran bahasa.
Hilangnya jam belajar akibat pandemi ini memiliki dampak jangka panjang bagi siswa. Perhitungan Bank Dunia, siswa laki-laki yang kelak akan masuk pasar tenaga kerja kemungkinan akan kehilangan 31 persen dari total pendapatan yang semestinya bisa diraih sepanjang hidupnya. Adapun siswa perempuan yang kelak akan masuk pasar tenaga kerja kemungkinan akan kehilangan 39 persen dari total pendapatan yang semestinya bisa diraih sepanjang hidupnya.
Ekonom Senior Bank Dunia, Shinsaku Nomura, menyampaikan, dampak jangka panjang hilangnya jam belajar ini bagi perekonomian Indonesia adalah menurunnya produktivitas yang bisa dicapai dari sumber daya manusia. Teorinya, semakin tinggi kemampuan matematika dan bahasa seseorang, maka makin besar juga peluang mereka menciptakan produktivitas yang tinggi. Mereka pun bisa memperoleh pendapatan yang tinggi.
”Namun, dengan tertinggalnya kemampuan matematika dan bahasa, maka kemampuan yang dicapai lebih rendah dari potensinya. Akibatnya, produktivitas lebih rendah juga dari potensinya. Begitu juga dengan pendapatannya,” ujar Nomura.
Berangkat dari hasil riset itu, kata Nomura, pihaknya menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah untuk menambah waktu belajar bagi siswa yang tertinggal, juga memberikan pelajaran pada tingkatan yang tepat bagi siswa. Pemerintah juga perlu mengatasi ketidaksetaraan pembelajaran dengan menawarkan bantuan tepat sasaran bagi siswa kurang mampu dan yang tertinggal.
Lead Economist Bank Dunia, Habib Rab, menambahkan, peningkatan kualitas sumber daya manusia jadi salah satu prasyarat yang mesti terpenuhi agar bisa mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan sumber daya manusia yang berkualitas, produktivitas negara juga berpotensi meningkat sehingga pada akhirnya mempercepat laju pertumbuhan ekonomi. Apalagi dalam jangka panjang, Indonesia diperkirakan akan menjadi negara berpendapatan tinggi.
Menurut dia, di tengah ketidakpastian global yang berturut mendera selama 2-3 tahun terakhir, perekonomian Indonesia sejatinya dalam kondisi baik. Pertumbuhan ekonomi masih terjaga di atas 5 persen di mana negara lain masih banyak yang alami kontraksi. Di sisi lain, inflasi pun terkendali di kisaran 4-5 persen, lebih rendah dari banyak negara dunia.
”Indonesia sudah cukup berhasil. Namun, ada hal lain yang masih bisa dikerjakan dan dibenahi untuk bisa betul-betul memenuhi potensinya,” ujar Habib.
Hal senada dikemukakan oleh Direktur Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste Satu Kahkonen. Ia mengatakan, perekonomian Indonesia bisa dipacu lebih cepat dengan meneruskan reformasi ekonomi. Salah satunya adalah mempercepat penerapan Undang-Undang Cipta Kerja yang dinilai bisa mendorong investasi sehingga memperluas lapangan kerja dan produktivitas.
Selain itu juga dengan mempercepat penerapan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK). Dengan penguatan sektor keuangan, harapannya fungsi intermediasi lembaga jasa keuangan bisa makin optimal dan pasar keuangan bisa mendalam untuk menopang laju perekonomian.
”Indonesia tetap berada di sisi terang perekonomian dunia. Terlebih lagi bila sudah bisa meneruskan reformasi ekonomi yang bisa kian mempercepat pertumbuhan ekonomi,” tutur Satu.