Rentetan masalah menerpa komoditas karet nasional. Harga karet yang murah memaksa petani beralih. Kekurangan pasokan membuat pabrik tutup. Kini, komoditas karet juga perlu menghadapi EUDR yang rumit.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 45 pabrik karet remah tutup lima tahun terakhir. Jumlah itu diprediksi bertambah seiring menurunnya pasokan bahan baku. Situasinya dikhawatirkan semakin rumit seiring dengan pemberlakuan Undang-Undang Produk Bebas Deforestasi Uni Eropa atau EUDR.
Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) mencatat jumlah pabrik karet remah mencapai 152 unit pada tahun 2017. Namun, jumlahnya terus menurun hingga menyisakan 107 unit pada tahun 2022. Sebanyak 45 pabrik yang tutup itu berkapasitas total 1,4 juta ton per tahun, sementara pabrik karet yang beroperasi saat ini memiliki kapasitas total 4,2 juta ton per tahun.
Direktur Eksekutif Gapkindo Erwin Tunas mengatakan, penyebab utama tutupnya pabrik-pabrik karet remah tersebut adalah penurunan pasokan bahan baku. Apabila kondisi ini terus berlanjut, jumlah pabrik karet yang tutup terancam bertambah.
”Industri karet yang masih bertahan terpaksa mengimpor bahan baku karena persediaan (bahan baku) lokal tidak mencukupi,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Jumat (7/7/2023).
Sementara itu, penurunan pasokan bahan baku dipicu oleh petani karet yang beralih menjadi petani kelapa sawit. Peralihan jenis komoditas yang ditanam petani, kata Erwin, terjadi bukan tanpa alasan. Para petani beralih karena dalam lima tahun terakhir harga karet sangat rendah sehingga tidak memenuhi skala ekonomi.
Harga karet di tingkat petani saat ini berkisar Rp 8.000 per kilogram (kg). Harga itu relatif membaik dibandingkan dengan situasi awal pandemi Covid-19 yang sempat menyentuh Rp 5.500 per kg. Namun, harga karet saat ini masih belum tergolong rasional atau menarik, yakni berkisar Rp 10.000 per kg (Kompas.id, 4/7/2023).
Indonesia dapat tertinggal dari negara lain. Lebih jauh, Indonesia dapat tergeser dari posisi penghasil karet terbesar kedua di dunia setelah Thailand. Hal ini mengingat negara lain terus gencar melakukan ekspansi kebun karet saat industri karet Indonesia terpuruk.
Ketua Dewan Karet Indonesia A Aziz Pane mengungkapkan, kondisi komoditas karet saat ini kian mengkhawatirkan. Selain karena pasokan bahan baku menurun, produktivitas tanaman karet nasional cenderung lebih rendah ketimbang negara produsen lain. ”Perkebunan karet di Indonesia sudah berusia puluhan tahun, ada yang 20 tahun dan 30 tahun. Semakin tua usia tanaman, otomatis produktivitasnya ikut menurun,” ujarnya.
Rata-rata tingkat produktivitas perkebunan karet Indonesia sekitar 1,04 ton per hektar. Sementara negara penghasil karet lainnya, seperti Vietnam, Laos, Kamboja, dan Pantai Gading, tingkat produktivitas perkebunan karetnya bisa mencapai 1,9 ton per hektar.
Melihat komoditas karet saat ini, lanjut Aziz, Indonesia bisa tertinggal dari negara lain. Lebih jauh, Indonesia bisa tergeser dari posisi penghasil karet terbesar kedua di dunia setelah Thailand. Hal ini mengingat negara lain terus gencar melakukan ekspansi kebun karet saat industri karet Indonesia semakin terpuruk.
Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Kementerian Perindustrian Merrijantij Punguan Pintaria menuturkan, fokus masalah terletak pada sektor hulu, yakni produksi bahan baku karet, terutama pada bagian alih fungsi lahan perkebunan karet menjadi sawit.
”Karena itu, intervensi pemerintah dibutuhkan. Sebab, yang menjadi masalah adalah terpuruknya perkebunan karet rakyat untuk memasok industri dalam negeri,” ujarnya.
Sebelumnya, kata Merrijantij, Kementerian Perindustrian telah berkoordinasi dengan pelaku industri karet nasional untuk memetakan masalah. Hasilnya, hulu industri karet kekurangan pasokan bahan baku yang memaksa mereka impor.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produksi karet alam nasional mencapai 3,14 juta ton pada 2022, sebanyak 97 persen di antaranya berupa karet remah dan 3 persen lainnya berupa karet lembaran asap bergaris (ribbed smoked sheet/RSS) dan lateks pekat.
Kapasitas industri karet hulu–yang mengolah karet remah, RSS, dan lateks pekat–saat ini sebesar 6,06 juta ton. Sementara bahan baku yang tersedia hanya 3 juta ton. BPS mencatat impor bahan olahan karet (bokar) sebanyak 76.000 ton pada tahun 2022.
”Dampak lain kekurangan bahan baku ini adalah penghentian produksi dari pabrik,” kata Merrijantij.
Semakin parah
Menurut Erwin, kebijakan European Union Deforestation Regulation (EUDR) memperparah permasalahan perkaretan Indonesia. Hal ini mengingat 92 persen produksi karet Indonesia berasal dari perkebunan rakyat.
Penerapan EUDR mensyaratkan data lokasi sumber karet yang diekspor ke Uni Eropa. Luas total lahan karet Indonesia sebesar 3,5 juta hektar dan 3,2 juta hektar di antaranya merupakan perkebunan rakyat. Dengan asumsi kepemilikan rata-rata 1,5 hektar per pemilik, maka Indonesia perlu memetakan dua juta data petani beserta lokasi kebunnya.
”Dalam hal ini, pemerintah perlu turun tangan menyediakan data kebun karet rakyat, mulai dari luas hingga titik koordinatnya untuk dilampirkan pada transaksi ekspor,” ungkap Erwin.
Secara keseluruhan, pemerintah perlu mendorong upaya diplomasi antarnegara penghasil karet untuk memperbaiki harga karet. Pada saat bersamaan, produktivitas perkebunan karet dalam negeri juga harus ditingkatkan.