DPR Pilih Agusman dan Hasan Fawzi sebagai Anggota Baru Dewan Komisioner
Komisi XI DPR memilih Agusman dan Hasan Fawzi untuk menduduki dua posisi Dewan Komisioner OJK yang baru. Dua posisi itu merupakan amanat Undang-Undang No 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi XI DPR memilih dua nama untuk menduduki posisi Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan yang baru. Keduanya adalah Agusman untuk posisi Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lain serta Hasan Fawzi untuk posisi Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital, dan Aset Kripto.
”Telah disepakati bersama setelah musyawarah dengan panjang dan lebar memilih Agusman dan Hasan Fawzi sebagai unsur pimpinan baru OJK,” kata Ketua Komisi XI DPR Kahar Muzakir seusai uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) calon anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Gedung DPR, Jakarta, Senin (10/7/2023).
Pada kesempatan itu, DPR menguji empat calon Dewan Komisioner OJK yang baru yang terdiri dari dua calon untuk Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya; dan dua calon untuk Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital, dan Aset Kripto.
Agusman terpilih menyisihkan Adi Budiarso, sedangkan Hasan Fawzi terpilih menyisihkan Erwin Haryono. Keduanya terpilih dari total 45 calon yang lolos pada seleksi tahap pertama yang mulai dilakukan pada April 2023. Agusman sebelumnya menjabat Kepala Departemen Audit Intern Bank Indonesia, sementara Hasan Fawzi sebelumnya menjabat Komisaris Utama PT Pefindo Biro Kredit.
Dua posisi kepala eksekutif sekaligus Dewan Komisioner OJK yang baru itu merupakan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK). Dengan demikian, kini unsur pimpinan Dewan Komisioner OJK berjumlah 11 orang.
Mereka adalah Ketua Dewan Komisioner OJK; Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK; Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota; seorang Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon merangkap anggota; seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun merangkap anggota; seorang Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya merangkap anggota; seorang Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto merangkap anggota.
Dengan demikian, kini unsur pimpinan Dewan Komisioner OJK berjumlah 11 orang.
Selain itu, juga ada Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen merangkap anggota; Ketua Dewan Audit merangkap anggota; anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia; dan seorang anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat setingkat Eselon I Kementerian Keuangan.
Saat dihubungi secara terpisah, ekonom yang juga Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, dua Dewan Komisioner OJK yang baru itu langsung dihadapkan sejumlah tantangan dan pekerjaan rumah.
Dari industri teknologi finansial (tekfin), Dewan Komisioner OJK yang baru perlu meningkatkan pengawasan tekfin pinjaman antarpihak (peer to peer lending/P2P lending) lebih optimal. Sebab, saat ini masih banyak kredit macet di industri ini yang bisa merugikan kredibilitas industri ini.
Selain itu, menurut dia, OJK perlu membatasi jumlah pelaku industri tekfin. Bahkan, mereka perlu dikonsolidasikan agar persaingan kian sehat, perusahaan yang ada lebih kuat secara finansial, dan pengawasan dari OJK bisa lebih efektif.
Era digital ini, lanjut Bhima, memang melahirkan inovasi keuangan yang memudahkan konsumen. Namun, situasi itu sekaligus memunculkan sejumlah persoalan, seperti menjamurnya investasi bodong berkedok jual beli aset kripto dan non-fungible token (NFT). Ini yang perlu terus diperkuat pengawasannya agar lebih optimal. ”Pengawasan inovasi digital ini masih lemah,” ujar Bhima.
Sementara di sisi industri perusahaan pembiayaan, ada fenomena perusahaan di industri ini mengalami kesulitan permodalan sehingga dijual ke investor asing. Jumlah investor asing yang terlalu dominan di sektor pembiayaan dikhawatirkan menciptakan risiko keuangan yang lebih besar.