Ekosistem Pesisir Punya Potensi Besar dalam Perdagangan Karbon
Menurut rencana, bursa karbon nasional akan diluncurkan pada September 2023. Potensi sektor yang dapat terlibat masih sangat luas. Termasuk ekosistem pesisir yang dinilai dapat menguntungkan perekonomian nasional.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ekosistem pesisir yang meliputi hutan mangrove, rumput laut, dan lainnya dinilai menyimpan potensi besar untuk dimanfaatkan dalam perdagangan karbon. Kendati demikian, metode penghitungan atau formulasi integrasi ekosistem pesisir dalam perdagangan karbon masih perlu dirumuskan.
Merujuk data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2021, total luas ekosistem mangrove Indonesia mencapai 3,36 juta hektar atau setara dengan 20,37 persen dari total luas mangrove dunia. Penelitian Murdiyarso dan kawan-kawan pada tahun 2015 menemukan, mangrove Indonesia mampu menyimpan 3,14 miliar ton karbon atau sepertiga dari stok karbon pesisir global. Jumlah itu belum termasuk ekosistem padang lamun, makroalga, hingga mikroalga.
Direktur Program Kelautan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) Muhammad Ilman mengatakan, sebagai negara maritim, ekosistem pesisir Indonesia berpotensi untuk berkontribusi besar dalam mencapai emisi nol bersih. Hal ini, salah satunya, dapat ditempuh melalui perdagangan karbon.
”Hutan mangrove, misalnya, sudah sangat memadai dari segi penelitian dan pemanfaatan untuk diintegrasikan dalam sistem perdagangan karbon. Apalagi, hutan mangrove mampu menyimpan karbon 3-5 kali lebih besar ketimbang hutan tropis,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Minggu (16/7/2023).
Selain itu, ekosistem padang lamun, makroalga, dan mikroalga juga menyimpan potensi untuk berperan dalam perdagangan karbon. Namun, tak seperti mangrove, ekosistem pesisir lainnya masih butuh waktu untuk menghitung potensi dan memetakan luas lahannya.
Salah satu jenis makroalga, seperti rumput laut, kata Ilman, cukup masif pemanfaatannya di Indonesia tetapi sebagai bahan olahan pangan. Apabila rumput laut juga dimanfaatkan dalam penurunan emisi, potensinya sangat menjanjikan. ”Pada saat bersamaan, penelitian dan inovasi selain mangrove harus masif. Untuk mencapai level mangrove, butuh waktu 3-5 tahun lagi,” ujarnya.
Di Asia Tenggara, potensi makroalga sangatlah besar dengan kemampuan menyerap 50 ton karbon dioksida per hektar. Tentu saja akan membawa keuntungan ekonomi bagi petani apabila diperdagangkan melalui bursa karbon.
Deputi Bidang Kebijakan Pembangunan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Mego Pinandito dalam diskusi terkait energi terbarukan menyebutkan, Indonesia belum memanfaatkan secara maksimal ekosistem pesisir dan laut. Padahal, potensinya yang besar juga mampu berkontribusi besar sebagai nilai tambah perdagangan karbon.
Hal tersebut dapat dimulai dari ekosistem pesisir seperti hutan bakau atau mangrove. Sebab, hutan mangrove sudah masif dari segi penelitian dan bisa dihitung kontribusi daya serap emisinya. BRIN, katanya, sudah memiliki pengukuran terkini terkait hutan mangrove melalui remote sensing.
Setelah mangrove, Indonesia bisa mulai menyentuh ekosistem laut seperti makroalga dan mikroalga. Dalam konteks ini, sejumlah penelitian, penghitungan masih dibutuhkan untuk memetakan nilai tambah ketika diintegrasi dengan sistem perdagangan karbon.
”Di Asia Tenggara, potensi makroalga sangatlah besar dengan kemampuan menyerap 50 ton karbon dioksida per hektar. Tentu saja akan membawa keuntungan ekonomi bagi petani apabila diperdagangkan melalui bursa karbon,” tuturnya.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (Core) Indonesia Mohammad Faisal menyebutkan, selain mangrove, masih banyak sektor lain yang bisa diperdagangkan daya serap karbonnya. Hal ini di antaranya perkebunan sawit, kopi, kakao, kelapa, dan karet.
Oleh karena itu, rehabilitasi dan peremajaan perkebunan perlu terus didorong untuk mempertahankan kemampuan daya serap karbon. Pada saat bersamaan, lahan perkebunan dan hutan yang sudah ada tidak boleh dikurangi.
Koordinator Perlindungan Lingkungan Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Bayu Nugroho menyampaikan, semua sektor tengah menuju perdagangan karbon. Saat ini, pihaknya dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sedang menyiapkan aturan perdagangan karbon ke luar negeri.
”Perdagangan karbon dimulai dari subsektor ketenagalistrikan terlebih dahulu. Namun, sektor-sektor lainnya juga sedang menuju perdagangan karbon. Ada banyak yang perlu dipersiapkan,” ungkapnya.
Menurut rencana, peluncuran pasar karbon nasional akan dilakukan pada September 2023. Langkah Indonesia untuk merumuskan pasar karbon dimulai sejak peluncuran Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon yang berorientasi pada target nationally determined contribution (NDC), yaitu pengurangan emisi karbon hingga 41 persen pada 2030.
Dalam subsektor ketenagalistrikan, perdagangan karbon berlangsung dalam tiga fase yang dimulai tahun 2023. Fase pertama tahun 2023 akan dilakukan oleh pembangkit listrik tenaga uap batubara dengan kapasitas di atas 100 megawatt, kemudian pada 2024 dilanjutkan untuk PLTU batubara dengan kapasitas di atas 25 MW.
Selanjutnya, fase kedua berlangsung dari tahun 2025-2027 dengan agenda percepatan pelibatan PLTU yang mengikuti perdagangan karbon. Pada tahun 2028-2030 atau fase ketiga, diharapkan seluruh pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar fosil sudah masuk dalam sistem perdagangan karbon.