Pertumbuhan Industri Kecantikan Ditopang Impor Bahan Baku
Pertumbuhan industri kecantikan nasional diprediksi mencapai puncaknya 3-5 tahun lagi. Walakin, bahan baku impor masih dominan. Oleh karena itu, pemerintah mendorong industri kosmetik menggunakan bahan baku dalam negeri.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Industri kecantikan dan perawatan kulit nasional akan terus bertumbuh di tengah pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19. Puncaknya diperkirakan dapat dicapai dalam tiga hingga lima tahun mendatang. Namun, pertumbuhan industri tersebut masih ditopang oleh bahan baku impor.
Portal data pasar dan konsumen internasional, Statista, memproyeksikan, pertumbuhan pasar industri kosmetik Indonesia sebesar 4,59 persen per tahun dari 2023-2028. Hal ini juga mencakup produk perawatan kulit (skincare) dan diri (personal care). Selain itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mencatat, jumlah pelaku industri kosmetik meningkat dari 819 unit usaha pada 2021 menjadi 913 unit usaha pada 2022 atau bertambah 20,6 persen.
Kepala Pusat Inovasi dan Ekonomi Digital Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan, permintaan produk kecantikan mengalami peningkatan sejak pandemi Covid-19. Dukungan platform dagang digital seperti lokapasar hingga pemengaruh (influencer) kian mempercepat peredaran informasi, pangsa pasar, dan pengiriman produk.
”Dengan begitu, tidak heran banyak perusahaan yang masuk ke industri kecantikan, terutama yang jenamanya diikuti glow-glow-an. Kondisi ini mungkin akan mencapai puncaknya dalam 3-5 tahun lagi,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Minggu (23/7/2023).
Meskipun demikian, tak sedikit perusahaan yang mengimpor bahan baku, khususnya untuk membuat produk kosmetik. Hal ini dapat berbahaya apabila perusahaan eksportir di negara asal membuat produk kecantikan secara mandiri dan memilih ekspor produk olahan. Pada ujungnya, industri kecantikan dalam negeri perlu mencari bahan baku alternatif.
Di tengah sengitnya persaingan, terutama periode puncak pertumbuhan industri kecantikan, kata Nailul, akan banyak perusahaan yang tutup. Sebab, mereka yang mampu bertahan hanya perusahaan berdaya saing tinggi dan efisien. Fenomena ini biasanya dimulai dengan banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK).
Saat ini, kebutuhan kosmetik dan personal care sudah meluas dan tak hanya digunakan oleh wanita, tetapi juga pria dan anak-anak.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Industri Kimia Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Ignatius Warsito membenarkan bahwa industri kecantikan nasional masih bertumpu pada bahan baku yang sebagian besar impor. Oleh karena itu, pemerintah terus mendorong penguatan produksi bahan baku yang berasal dari alam, seperti minyak atsiri, rumput laut, dan tanaman lainnya.
Merujuk data Kemenperin, nilai impor kosmetik nasional kerap lebih tinggi ketimbang nilai ekspornya. Misalnya, nilai ekspor produk kosmetik jadi pada 2021 sebesar 435,51 juta dollar AS dan pada 2022 sebesar 428,34 juta dollar AS. Sementara itu, nilai impornya 637,33 juta dollar AS pada 2021 dan 626,03 juta dollar AS pada 2022.
Menurut Ignatius, pasar kosmetik nasional cenderung bersaing di tingkat domestik dan memiliki jalan yang panjang untuk menjadi pemain utama global. Apalagi, Indonesia diprediksi menjadi pasar kosmetik kelima terbesar di dunia dalam 10-15 tahun mendatang. Dalam konteks ini, jumlah penduduk yang sebesar 275,77 juta orang berandil besar dalam penetrasi industri kosmetik.
”Saat ini, kebutuhan kosmetik dan personal care sudah meluas dan tak hanya digunakan oleh wanita, tetapi juga pria dan anak-anak. Tren berbelanja terus meningkat seiring dengan perkembangan teknologi. Pada 2020, misalnya, telah terjual lebih dari 60,67 juta produk kosmetik secara daring,” ungkapnya.
Pada saat bersamaan, sebagai negara dengan mega-biodiversitas nomor dua di dunia, Indonesia memiliki posisi yang strategis untuk diversifikasi bahan baku kosmetik. Dalam hal ini, pemerintah telah mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) tentang skema pemberian insentif berupa keringanan pajak 200 persen untuk industri yang berinvestasi untuk kegiatan vokasi dan 300 persen untuk kegiatan penelitian dan pengembangan.
Dengan adanya insentif, industri kosmetik dalam negeri diharapkan terpacu untuk membuat bahan baku di dalam negeri yang lebih beragam dan kompetitif di kancah global. Selain itu, pasar Asia Tenggara juga membuka peluang ekspor produk kosmetik asal Indonesia. Hal ini mengingat faktor kesamaan iklim, sosial budaya, dan daya beli sehingga ada kesamaan preferensi konsumen.
Kepala BPOM Penny K Lukito berpandangan, pertumbuhan bisnis kosmetik baik secara global maupun nasional cukup pesat. Sebagian besar pelaku usaha kosmetik yang ”naik daun” berawal dari perusahaan rintisan (startup) atau usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
”Lebih dari 50 persen nomor izin edar (NIE) produk yang disetujui BPOM lima tahun terakhir adalah produk-produk kosmetik. Hal ini mengindikasikan besarnya pertumbuhan usaha kosmetik,” ujarnya dalam Forum Pertemuan Nasional Pelaku Usaha Kontrak Produksi Kosmetik, di Jakarta, Senin (10/7/2023).
Saat ini, sejumlah perusahaan farmasi juga turut mengembangkan produk-produk kosmetik. Misalnya, PT Phapros Tbk meluncurkan produk untuk menunda penuaan (anti aging) dari metabolit stem-cell. Selain itu, PT Kalbe Farma Tbk mengembangkan mesotherapy treatment untuk perawatan kulit.
Pada prinsipnya pemerintah, termasuk BPOM, mendukung penuh pengembangan industri farmasi untuk mendorong kemandirian industri dalam negeri termasuk di bidang kosmetik. BPOM mengimbau agar industri farmasi yang bergerak di sektor kecantikan, baik yang mengembangkan maupun memproduksi produk kosmetik, untuk mengetahui dan mematuhi peraturan yang terkait dengan kosmetik.
Aturan itu mencakup persyaratan teknis bahan kosmetik dan cara pembuatan kosmetik yang baik. Kemudian, produk kosmetik yang diproduksi dan diedarkan di Indonesia harus memenuhi semua persyaratan keamanan, manfaat, dan mutu serta memiliki izin edar atau nomor notifikasi kosmetik.