Halal kini bukan hanya milik umat Muslim semata. Halal telah menjelma menjadi suatu standar produk yang bisa dipenuhi oleh siapa pun tanpa memandang latar belakang agama dan keyakinan pelaku usahanya.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
Setiap hari masyarakat Indonesia berinteraksi dengan produk berlabel halal. Jumlah dan ragam produk berlabel halal pun terus bertambah seiring waktu. Tak hanya di pasar domestik, berbagai produsen produk halal di dalam negeri juga tengah berupaya menembus pasar mancanegara.
Saat ini, Indonesia juga tengah berusaha meningkatkan cakupan produk dan pelaku usaha yang bersertifikat halal. Hal ini selaras dengan pemberlakuan kewajiban bersertifikat halal mulai dari 17 Oktober 2024.
Kewajiban sertifikat halal tersebut akan berlaku untuk produk makanan, minuman, hasil sembelihan, dan jasa penyembelihan, bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman. Selanjutnya, barang yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat juga wajib memiliki sertifikat halal.
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag) mencatat, terdapat lebih dari 2,1 juta produk bersertifikat halal per Juli 2023. Jumlah itu ditargetkan mampu mencapai 10 juta pada 2024.
”Targetnya memang ambisius. Namun, kami optimis (target itu) mampu dicapai,” ujar Kepala BPJPH Kemenag M Aqil Irham saat berbincang dengan wartawan di Jakarta, pekan lalu.
Di antara produk halal yang telah terdaftar, masih sedikit yang merupakan hasil produksi usaha mikro dan kecil atau produk yang banyak didistribusikan di warung makan serta pedagang keliling. Daftar produk halal tampaknya didominasi barang makanan dan minuman kemasan yang lebih kerap ditemui di gerai atau ritel.
Produk halal dalam negeri cenderung dianggap ’pasti halal’ oleh konsumen pasar domestik. Hal itu membuat para pelaku usaha, khususnya mikro dan kecil, jarang muncul keinginan untuk mendaftarkan produknya untuk sertifikasi halal.
Menurut Aqil, banyak pelaku usaha mikro dan kecil yang beranggapan bahwa produknya telah halal dan tidak memerlukan pembuktian berupa sertifikat. Pedagang minuman keliling, misalnya, berpendapat, tanpa sertifikat halal pun konsumen telah mengetahui bahwa produk yang dijualnya halal.
Menyikapi situasi tersebut, edukasi dan sosialisasi yang lebih luas tentang sertifikasi halal dipandang penting. Sertifikat halal akan membuka peluang pasar baru, membuktikan jaminan mutu, dan memberikan rasa aman bagi konsumen. ”Ini juga berlaku untuk produk selain makanan. Terlebih, saat ini sudah banyak yang menjadikan produk halal sebagai gaya hidup,” ujar Aqil.
Staf Khusus Menteri Agama Wibowo Prasetyo menjelaskan, terdapat dua skema sertifikasi produk halal. Pertama, melalui pernyataan pelaku usaha atau self-declare yang tidak dipungut biaya. Skema ini berlaku bagi produk yang tidak berisiko serta menggunakan bahan dan proses produksi yang sudah dipastikan kehalalannya.
Berikutnya adalah skema reguler. Skema ini ditujukan bagi pelaku usaha yang memerlukan pengujian produk. Pengajuan dapat dilakukan melalui ptsp.halal.go.idatau aplikasi Pusaka Kementerian Agama. Untuk layanan ini, pelaku usaha mikro dan kecil dikenai biaya Rp 300.000 dan usaha menengah Rp 5 juta. Adapun pelaku usaha besar dan dari luar negeri dikenai biaya Rp 12,5 juta.
Global
Terminologi halal saat ini juga bukan hanya milik umat Muslim semata. Halal telah menjelma menjadi suatu standar produk yang bisa dipenuhi oleh siapa pun tanpa memandang latar belakang agama atau keyakinan pelaku usahanya. Fenomena ini juga berkembang secara global.
Sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia merupakan pasar yang besar dan cocok untuk produk halal. Meski sempat dicap sebagai hambatan dagang, negara-negara di dunia pun kini membangun lembaga sertifikasi halal masing-masing.
Sebagai contoh, daging sapi impor asal Australia untuk bisa masuk pasar Indonesia juga harus dapat dipastikan kehalalannya. ”Contoh lainnya, pengusaha yang menjual daging sapi wagyu tentu akan lebih mudah diterima produknya oleh masyarakat Indonesia apabila berlabel halal,” tutur Aqil.
The State of the Global Islamic Economy Report 2022 mencatat, Indonesia merupakan salah satu negara konsumen produk halal terbesar di dunia. Konsumsi produk halal di Indonesia mencakup 11,34 persen dari pengeluaran halal global. Dengan besarnya potensi demografi, masyarakat perlu didorong untuk menggunakan sekaligus bangga terhadap produk halal dalam negeri.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengingatkan, prospek pasar produk halal juga sangat besar di luar negeri, khususnya di kawasan Timur Tengah yang mayoritas berpenduduk Muslim. Indonesia bisa mengambil ceruk tersebut untuk mengekspor produk halalnya.
Di sisi lain, produk halal dalam negeri cenderung dianggap ”pasti halal” oleh konsumen pasar domestik. Hal itu membuat para produsen, khususnya yang berskala mikro dan kecil, tidak cukup memiliki keinginan untuk mendaftarkan produknya agar mendapat sertifikasi halal.
”Meski masih sedikit pelaku usaha mikro dan kecil (yang mendaftarkan), tetap harus didorong untuk sertifikasi halal produknya. Bisa melalui tarif yang lebih murah, menjemput bola, dan lainnya,” kata Tauhid.
Terkait sertifikasi pada produk kecantikan, Ketua Perhimpunan Perusahaan dan Asosiasi Kosmetika Indonesia (PPAK) Solihin Sofian menyebutkan, Indonesia kini bertujuan untuk menguasai pasar kosmetik halal. Kiblat kosmetik halal dunia diharapkan bertumpu pada Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar.
Karena itu, kearifan lokal yang ada perlu digali dan dimanfaatkan sesuai dengan kaidah-kaidah halal. Pada saat bersamaan, sebagai negara dengan megabiodiversitas kedua terbesar di dunia, Indonesia memiliki posisi strategis untuk diversifikasi bahan baku kosmetik. Sebagai contoh, melalui olahan minyak asiri dan rumput laut.
Berdasarkan Indonesia Halal Economic Report, industri kosmetik halal nasional memiliki nilai pasar sebesar 4,19 miliar dollar AS pada 2022 dan diproyeksikan bertumbuh hingga 8 persen per tahun pada 2023. Penetrasi produk kosmetik lokal terus didorong di negara-negara potensial untuk produk kosmetik halal seperti negara-negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika, dan negara Muslim lainnya.