Penipuan keuangan dan investasi bodong masih terus menghantui masyarakat. Modusnya berubah seiring perkembangan teknologi digital. Kenali berbagai macam modusnya agar bisa terhindar dari jeratannya.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
Andreas Agung (31) nyaris menjadi korban kejahatan keuangan digital. Pertengahan Juni 2023, di tengah rapat bersama rekannya, karyawan swasta di bidang otomotif itu menerima pesan masuk di ponselnya. Pesan itu dikirimkan dari nomor tak dikenal. Si pengirim menyertakan sebuah tautan.
Karena jenuh dengan rapat dan diliputi penasaran, Andreas langsung menekan tautan itu. Tiba-tiba ponselnya secara otomatis mengunduh sebuah aplikasi. Sejak itulah dia merasa ada yang tidak beres.
”Saya khawatir ini mau mengambil data ponsel. Langsung saya batalkan dan matikan secara paksa ponsel saya,” ujar Andreas saat ditemui di Tangerang Selatan, Banten, Minggu (6/8/2023).
Andreas lega, aplikasi misterius itu gagal terpasang. Sebab, setelah file aplikasi berformat .apk itu terpasang di ponsel, aplikasi itu akan meminta akses untuk mengambil data pribadi, seperti foto, video, SMS, dan akses akun perbankan digital miliknya.
Andai saja aplikasi itu terpasang dengan sempurna, penjahat bisa mengakses layanan perbankan digital milik Andreas dan dapat langsung menguras habis isinya. ”Nyaris jadi korban kejahatan,” ujarnya.
Dalam webinar bertajuk ”Waspada Modus Penipuan Gaya Baru” yang diselenggarakan Otoritas Jasa Keuangan, Kamis (3/8/2023), Kepala Departemen Perlindungan Konsumen OJK Rudy Agus P Raharjo menjelaskan, modus kejahatan dan penipuan keuangan terus berkembang sejalan berkembangnya teknologi komunikasi dan digitalisasi.
Modus kejahatan keuangan teranyar yang belakangan banyak meresahkan masyarakat adalah social engineering-sniffing. Ini adalah modus kejahatan yang dijalankan untuk merekayasa korban agar menuruti pelaku. Caranya, pelaku memberikan iming-iming yang menyentuh emosi korban, entah itu rasa penasaran, senang, atau takut sehingga korban terjerumus dalam jebakan.
Executive Vice President Center of Digital BCA Wani Sabu menyampaikan, berdasarkan data Oxford University, 88 persen kasus perbankan era digital berasal dari modus social engineering. Adapun di Indonesia angkanya lebih besar lagi, yakni 99 persen.
Selain itu, masih marak penipuan investasi ilegal dengan memberikan iming-iming imbal hasil besar dan menggunakan teknologi digital. Penipuan itu mulai dari perdagangan opsi biner (binary option), robot trading, dan perdagangan aset kripto ilegal.
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari Dewi menjelaskan, salah satu penyebab masih maraknya penipuan keuangan dan investasi bodong adalah tingkat literasi keuangan masyarakat yang masih rendah.
Mengutip Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2022, literasi keuangan masyarakat Indonesia di level 49,68 persen, naik dari 2019 yang pada posisi 38,03 persen. Artinya, baru 49,68 persen dari penduduk Indonesia yang melek keuangan atau secara sadar dan paham sepenuhnya mengenai cara kerja, mekanisme, risiko, dan aspek legalitas suatu layanan jasa keuangan.
Agar terhindar dari penipuan, konsumen harus mengingat konsep 2L sebelum memutuskan berinvestasi. ”2L ini adalah legalitas dan logis,” ujar Friderica.
Menurut dia, pastikan legalitas perusahaan atau entitas itu, apakah sudah terdaftar secara resmi di OJK. Apabila tidak ada nama entitas terkait di situs OJK, bisa dipastikan itu adalah penipuan.
Selain itu, pastikan nilai yang ditawarkan masuk akal (logis). Penawaran yang menjanjikan keuntungan terlalu besar memang menggiurkan, tetapi tidak masuk akal. Ini adalah cara penipu untuk menjerumuskan konsumen.
Tak hanya mencegah dengan edukasi, upaya pemberantasan juga terus dilakukan. Pemberantasan aktivitas keuangan ilegal diperkuat dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. Dalam UU itu, dilarang secara tegas untuk menghimpun dana masyarakat, mengelolanya, dan disalurkan kembali ke masyarakat tanpa seizin OJK.
Berdasarkan data Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal, sejak 2017 hingga 2022, kerugian masyarakat akibat kehadiran entitas investasi ilegal diperkirakan Rp 137,84 triliun.
Sementara itu, dari aspek penindakan, sejak 2017 hingga 31 Juli 2023, satgas telah menghentikan operasional 6.894 entitas keuangan ilegal yang terdiri dari 1.193 entitas investasi ilegal, 5.450 entitas pinjaman daring ilegal, dan 251 entitas gadai ilegal.