Ekspor pada triwulan II-2023 tumbuh minus 2,75 persen secara tahunan. Hal itu merupakan imbas dari penurunan harga komoditas dan pelemahan negara tujuan utama ekspor. Tantangan itu akan berlanjut hingga akhir tahun ini.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan ekspor hingga akhir tahun ini bakal tersendat-sendat. Dua faktor penyebabnya adalah penurunan harga komoditas global dan pelemahan permintaan negara tujuan utama ekspor. Kontraksi ekspor pada triwulan II-2023 mengindikasikan gejala-gejala itu.
Vice President for Industry and Regional Research PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Dendi Ramdani, Senin (7/8/2023), mengatakan, tren harga komoditas global memang tengah turun. Namun, penurunan harga itu masih menguntungkan Indonesia karena masih lebih tinggi dibandingkan dengan 2019 atau sebelum pandemi Covid-19.
Ia mencontohkan, harga batubara dan minyak kelapa sawit mentah (CPO) global pada akhir 2022 masing-masing 404,15 dollar AS per ton dan 947,89 dollar AS per ton. Harga CPO bahkan pernah tembus 1.244 dollar AS per ton pada akhir 2021.
Namun, hingga penutupan perdagangan pada pekan lalu, harga batubara dan CPO masing-masing turun menjadi 136,85 dollar AS per ton dan 902,14 dollar AS per ton. Harga batubara dan CPO itu masih lebih tinggi ketimbang harga pada akhir 2019 yang masing-masing sebesar 67,7 dollar AS per ton dan 734,17 dollar AS per ton.
”Pada akhir 2023, harga batubara diperkirakan menjadi 168,8 dollar AS per ton dan harga CPO 891 dollar AS per ton. Harga kedua komoditas masih terus berproses membentuk keseimbangan baru, bahkan hingga tahun depan,” kata Dendi ketika dihubungi di Jakarta.
Tren harga komoditas global memang tengah turun. Namun, penurunan harga itu masih menguntungkan Indonesia karena masih lebih tinggi dibandingkan dengan 2019 atau sebelum pandemi Covid-19.
Dendi berpendapat, penurunan harga komoditas global itu wajar karena telah mengalami lonjakan yang tidak normal pada 2021 dan 2022. Penurunan harga itu juga bakal memengaruhi kinerja ekspor Indonesia sehingga perlu dikompensasi dengan meningkatkan volume ekspor.
Kendati begitu, tantangan meningkatkan volume ekspor hingga akhir tahun nanti tidak mudah. Permintaan negara-negara tujuan utama ekspor Indonesia, seperti Amerika Serikat, China, dan kawasan Uni Eropa (UE), masih lemah meski ekonominya mulai membaik.
Permintaan yang melemah tidak hanya terjadi pada komoditas hasil tambang dan perkebunan, tetapi juga dialami sejumlah industri berorientasi ekspor, seperti garmen, furnitur, dan kayu olahan. Meski mulai tumbuh pada Mei 2023 setelah terkontraksi pada Agustus 2022-April 2023, permintaannya masih belum benar-benar pulih.
Sejumlah tantangan itu, lanjut Dendi, tecermin dalam pertumbuhan ekonomi triwulan II-2023 di mana pertumbuhan ekspor justru terkontraksi. Hingga akhir tahun, sejumlah tantangan itu diperkirakan masih berlanjut sehingga kinerja ekspor Indonesia bisa tersendat-sendat.
”Tantangan itu semakin bertambah lantaran kenaikan biaya produksi dan logistik yang ditanggung pelaku industri, termasuk yang berbasis ekspor, masih tinggi akibat imbas kenaikan harga bahan bakar minyak dan bahan baku industri,” katanya.
S&P Global Market Intelligence menyebutkan, Indeks Manajer Pembelian (PMI) manufaktur Indonesia pada Juli 2023 sebesar 53,3. PMI itu berada di level ekspansif dan tertinggi sejak September 2022 atau 10 bulan terakhir. Namun, persoalan inflasi membuat harga input produksi tetap naik kendati pasokan sudah membaik.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis, ekonomi Indonesia pada triwulan I-2023 tumbuh 5,17 persen secara tahunan. Ekspor yang berkontribusi 20,25 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) itu justru terkontraksi atau tumbuh minus 2,75 persen secara tahunan. Pertumbuhan itu jauh dari pertumbuhan ekspor pada triwulan I-2023 dan triwulan II-2022 masing-masing sebesar 12,17 persen dan 16,4 persen secara tahunan.
Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS Moh Edy Mahmud menyatakan, sejak tumbuh negatif sebesar 1,57 persen pada triwulan IV-2020, ekspor Indonesia baru terkontraksi pada triwulan II-2023. Faktor utamanya adalah penurunan harga komoditas pertambangan dan perkebunan, terutama batubara dan minyak sawit mentah (CPO) beserta turunannya.
Ia mencontohkan, pada triwulan II-2023, nilai ekspor CPO turun 26,72 persen karena harganya terkontraksi cukup dalam mencapai 43,76 persen secara tahunan. Namun, volume ekspornya justru naik 5,16 persen secara tahunan.
Hal itu terjadi saat ekonomi negara tujuan utama ekspor Indonesia tetap tumbuh. BPS mencatat, ekonomi China dan Amerika Serikat pada triwulan II-2023 masing-masing tumbuh 6,3 persen dan 2,6 persen.
Sejak tumbuh negatif sebesar 1,57 persen pada triwulan IV-2020, ekspor Indonesia baru terkontraksi pada triwulan II-2023.
Moody’s Analytics menyebutkan, ekonomi China memang mulai tumbuh. Namun, pemulihan ekonomi domestik negara tersebut masih tersendat-sendat sehingga berada di ambang deflasi. Hal itu terjadi lantaran rumah tangga di China lebih memilih menabung ketimbang berbelanja.
”Situasi itu menyebabkan pelaku industri ragu-ragu meningkatkan produksi atau investasi. Di sisi lain, pengurangan produksi itu juga disebabkan pelemahan permintaan global yang diindikasikan dari penurunan ekspor selama enam bulan berturut-turut,” kata ekonom senior Moody’s Analytics Katrina Ell melalui siaran pers.
Disebutkan pula, selama empat bulan terakhir Indeks Manajer Pembelian Manufaktur (PMI) China terkontraksi. Meskipun mulai naik tipis dari 49 pada Juni 2023 menjadi 49,3 pada 2023, PMI itu masih di bawah ambang batas normal ekspansi, yakni 50.
Sementara itu, Amerika Serikat diperkirakan bakal lepas dari potensi resesi pada tahun ini. Gubernur Bank Sentral AS Jerome Powell menyebutkan, pertumbuhan ekonomi AS pada 2023 akan soft landing atau melambat, tetapi tidak terjadi resesi. The Federal Reserve memperkirakan ekonomi AS pada tahun ini tumbuh 1,3 persen.
JPMorgan juga merevisi perkiraan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat pada 2023 dari 0,5 persen menjadi 2,5 persen. Adapun Bank of America mengubah proyeksi pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat pada tahun ini dari 1,5 persen menjadi 2,5 persen.
Hal itu terjadi lantaran serapan tenaga kerja, belanja konsumen, dan ekspansi bisnis mulai tumbuh. Kendati begitu, PMI manufaktur Amerika Serikat pada Juli 2023 masih di bawah level ekspansi, yakni 49. Risiko keuangan di negara tersebut, baik pemerintah, perusahaan swasta, maupun perbankan, juga masih cukup tinggi.