Kalangan Muda Melepas Jerat Pinjaman Daring
Masih saja ada pola pikir keliru bahwa pinjaman daring atau pinjol dan paylater seolah-olah uang gratis, hadiah, atau pendapatan mendadak. Padahal, pinjol atau paylater adalah utang dengan konsekuensi yang harus dibayar.
Di balik kemudahan mengakses, pinjaman daring menyimpan sederet kisah kalangan muda yang terjerat belitan utang. Padahal, masa depan mereka masih panjang dan seharusnya bukan tanpa perencanaan. Hal ini menjadi batu sandungan di tengah upaya memupuk asa generasi muda demi visi Indonesia Emas 2045.
Rio (25), mahasiswa tingkat akhir, mulai mengenal pinjaman daring pada awal tahun 2021. Pada masa sulit di tengah amukan pandemi Covid-19 itu, berbagai platform media sosial kerap menayangkan iklan pinjaman daring dengan tawaran menggiurkan dan berbagai kemudahannya.
”Terpaksa ambil pinjol (pinjaman daring) karena di masa pandemi itu benar-benar sulit. Kiriman dari orangtua tersendat, belum lagi harus bayar kuliah, makan sehari-hari, dan untuk biaya tempat tinggal,” katanya saat ditemui di Jakarta, Minggu (13/8/2023).
Sejak saat itu, Rio seakan bergantung pada platform pinjaman yang dapat diakses dengan mudah. Bagaimana tidak? Cukup dengan berswafoto dan menyerahkan data identitas pribadi, besaran uang mulai dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah akan langsung masuk ke rekening pribadi.
Pada masa sulit di tengah amukan pandemi Covid-19 itu, berbagai platform media sosial kerap menayangkan iklan pinjaman daring dengan tawaran menggiurkan dan berbagai kemudahannya.
Selain karena desakan kebutuhan sehari-hari, Rio juga mengajukan pinjaman lantaran dorongan impulsif. Alhasil, tanpa sadar, Rio telah mengambil pinjaman lebih dari Rp 20 juta di beberapa platform sekaligus, termasuk platform ilegal.
”Saat berhenti dari pekerjaan paruh waktu, pembayaran cicilan mulai tersendat. Teror pun berdatangan, dari chat maupun telepon dengan berbagai ancaman, seperti akan memberi tahu ke semua kontak, mendatangi rumah, bahkan pembunuhan,” tuturnya.
Harto (25), pegawai kantor swasta di Jakarta, juga terlilit utang di sejumlah platform pinjaman daring. Ia pun mulai aktif meminjam uang melalui platform daring saat pandemi Covid-19 melanda. Ketika itu, Harto hanya menerima separuh gaji bulanan, sedangkan kebutuhan sehari-hari tidak berkurang.
Selain tuntutan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Harto juga tergoda keinginan membeli barang-barang yang bersifat konsumtif. Hal ini membuatnya terjebak gali lubang-tutup lubang di berbagai platform pinjaman daring.
”Selama dua tahun ini, total sudah ambil Rp 12 juta dengan tenor setahun. Itu di platform legal semua dan sekarang sudah tidak mampu bayar," ujarnya.
Bagi segmen tertentu, masih terdapat pola pikir yang salah bahwa pinjol ataupun paylater adalah uang gratis, seperti hadiah ataupun pendapatan mendadak. Padahal, pinjol ataupun paylater ini adalah utang yang harus dibayar di kemudian hari.
Cerita Rio dan Harto adalah potret kecil dari jutaan generasi muda yang telah terjerat pinjaman daring. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan, outstanding atau pinjaman yang belum dibayar secara perseorangan melalui fintech lending per Juni 2023 mencapai Rp 47 triliun. Nilai ini berasal dari 18,16 juta rekening aktif. Dari jumlah tersebut, peminjam kalangan muda atau berusia 19-34 tahun tercatat 10,9 juta orang dengan outstanding mencapai Rp 26 triliun.
Lebih lanjut, 343.683 rekening peminjam berusia 19-34 tahun mengalami kredit macet terhitung lebih dari 90 hari (TWP90) dengan total pinjaman Rp 763,65 miliar. Secara keseluruhan, TWP90 pinjaman daring melalui fintech lending cenderung meningkat dari 2,75 persen pada Januari 2023 menjadi 3,29 persen pada Juni 2023.
Baca juga: Literasi Keuangan Generasi Muda Terus Diperkuat
Di sisi lain, penyaluran pinjaman daring mayoritas ke sektor konsumtif mencapai lebih dari 60 persen. Adapun jumlah penyaluran pinjaman ke sektor produktif per Juli 2023 mencapai Rp 6,9 triliun atau 35,8 persen dari total penyaluran senilai Rp 19,3 triliun.
Bukan uang gratis
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari Dewi menjelaskan, platform pinjaman daring memungkinkan penggunanya memperoleh uang/barang melalui administrasi yang sederhana dan fitur angsuran pembayaran yang dapat diatur sesuai kemampuan membayar. Namun, tak sedikit peminjam (lender) justru terjerat utang dalam platform pinjaman daringatau paylater karena menggunakannya dengan berlebihan dan di luar kemampuan.
”Bagi segmen tertentu, masih terdapat pola pikir yang salah bahwa pinjol ataupun paylater adalah uang gratis, seperti hadiah ataupun pendapatan mendadak. Padahal, pinjol ataupun paylater ini adalah utang yang harus dibayar di kemudian hari,” ujar Friderica.
Seiring perkembangan digitalisasi, kecepatan dan kemudahan pinjaman daring perlu dihadapi secara bijak dan hati-hati. Menurut Friderica, pinjaman daring dan fasilitas paylater memiliki risiko yang terkait dengan peningkatan gaya hidup konsumtif generasi muda. Hal itu tergambar dalam ujaran seperti fear of missing out (FOMO) yang menggambarkan untuk disebut ”ketinggalan” serta you only live once (YOLO) yang mendorong hasrat untuk menikmati hidup.
Pola hidup konsumtif yang tidak sesuai dengan kemampuan membayar akan berujung pada kredit macet atau gagal bayar.
Pola hidup konsumtif yang tidak sesuai dengan kemampuan membayar akan berujung pada kredit macet atau gagal bayar. Hal ini kemudian akan menjadi catatan hitam dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK atau sebelumnya dikenal dengan BI Checking.
Apabila seseorang memiliki catatan hitam dalam SLIK OJK, kemampuan keuangan dan kelayakan kreditnya akan diragukan oleh lembaga keuangan formal, seperti perbankan, perusahaan pembiayaan, dan perusahaan keuangan lain. Akibatnya, permintaan kredit, seperti kredit kendaraan bermotor (KKB) dan kredit pemilikan rumah (KPR), pun tidak dapat disetujui.
Baca juga: Perluas Struktur Kelembagaan OJK, Tantangan Keuangan Digital Menanti
Merdeka finansial
Ketimbang terjerat utang akibat menuruti pola hidup konsumtif, Friderica mengingatkan kalangan muda untuk mempersiapkan masa depan agar mereka merdeka secara finansial. Terlebih lagi, generasi muda akan menjadi penopang utama dalam mewujudkan Indonesia Emas pada tahun 2045.
Visi tersebut tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045 yang menggariskan agar Indonesia keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah melalui transformasi ekonomi, sosial, dan tata kelola. Generasi muda menjadi tulang punggung utama visi ini mengingat adanya bonus demografi atau jumlah penduduk usia produktif yang lebih banyak daripada penduduk usia nonproduktif.
”Merdeka secara finansial bagi generasi muda bukan berarti memiliki banyak uang. Kemerdekaan finansial diperoleh jika kita dapat hidup dengan layak dan berkecukupan, bebas dari masalah-masalah keuangan yang membebani pikiran,” papar Friderica.
Generasi muda merupakan salah satu sasaran prioritas edukasi keuangan dalam Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia tahun 2021-2025. Selain literasi keuangan yang memadai, dibutuhkan juga dukungan inklusi keuangan.
Literasi keuangan adalah pengetahuan, keterampilan, dan keyakinan, yang memengaruhi sikap dan perilaku untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan pengelolaan keuangan. Adapun inklusi keuangan adalah ketersediaan akses pada berbagai lembaga, produk dan layanan jasa keuangan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan dalam meningkatkan kesejahteraan.
Baca juga: Mahasiswa Jadi Sasaran Literasi Keuangan OJK
Saat ini masih terdapat kesenjangan antara literasi keuangan dan inklusi keuangan. Berdasarkan Hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2022, indeks inklusi keuangan masyarakat Indonesia mencapai 85,1 persen, sedangkan indeks literasi keuangan masyarakat mencapai 49,68 persen.
Oleh sebab itu, OJK merekomendasikan sejumlah langkah yang dapat dilakukan oleh generasi muda dalam mengelola keuangan. Prinsip dasarnya adalah memprioritaskan kebutuhan di atas keinginan dan memahami kemampuan membayar. Selain itu, kalangan muda perlu memahami kontrakpinjaman daring atau paylater dan melunasi tagihan tepat waktu agar tidak terjerat mengalami kredit macet serta masuk dalam catatan hitam.
”OJK telah menyediakan perangkat peraturan dan infrastruktur pendukung untuk melindungi kepentingan konsumen. Namun, semuanya kembali pada kesadaran konsumen sejak awal untuk bijak dalam menggunakan pinjol atau paylater serta juga waspada dalam menghadapi tawaran pinjolilegal,” tutur Friderica.
Community Lead PT Indo Premier Sekuritas (IPOT) Angga Septianus mengatakan, merdeka secara finansial merupakan hal yang hakiki dalam hidup. ”Frasa merdeka finansial dipahami sebagai keadaan bebas dari keterbatasan keuangan dan memiliki sumber daya serta memiliki cara yang mudah untuk mendukung gaya hidup yang diinginkan tanpa bergantung pada pekerjaan tetap atau sumber pendapatan eksternal,” katanya dalam keterangan tertulis, Kamis (17/8/2023).
Terdapat beberapa langkah sebagai upaya menyongsong merdeka secara finansial, yakni membuat anggaran dan rencana keuangan secara rutin, tidak membeli barang secara impulsif, menghindari utang konsumtif, dan mulai berinvestasi. Selain itu, generasi muda juga perlu meningkatkan literasi keuangannya, baik dengan membaca maupun mengikuti kursus.
Sebagai generasi yang akan bertanggung jawab dalam visi Indonesia Emas 2045, keputusan yang diambil kawula muda saat ini akan menentukan nasib diri sendiri, sekaligus nasib bangsa di masa mendatang.