Metode bekerja dari rumah atau ”work from home” menimbulkan dilema bagi pekerja. WFH dikhawatirkan bisa mengurangi hak pekerja. Pemerintah diharapkan membuat kajian khusus sebelum memberlakukan WFH.
Oleh
MEDIANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Wacana pemerintah untuk menerapkan metode bekerja dari rumah (work from home) sebagai salah satu solusi mengatasi masalah polusi udara dianggap dilematis bagi kelompok pekerja. Metode bekerja seperti itu dikhawatirkan bisa mengurangi hak pekerja. Mereka juga menilai, polusi udara merupakan masalah kompleks yang membutuhkan solusi menyeluruh lintas kementerian dan lembaga.
Koordinator Divisi Advokasi dan Pendampingan Hukum Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) Jabodetabek Setyo A Saputro, Sabtu (19/8/2023), di Jakarta, berpendapat, bekerja dari rumah(WFH) kurang tepat jika menjadi pilihan sementara untuk mengatasi masalah polusi udara atau kemacetan di Jabodetabek, dan Jakarta secara khusus. Sebab, masalah polusi udara atau kemacetan tidak sederhana.
”Bolehlah kalau WFH dimaksudkan sebagai upaya untuk melindungi pekerja dari paparan polusi udara. Akan tetapi, sesungguhnya, masalah polusi udara dan kemacetan di Jakarta itu sangat kompleks. Inilah yang semestinya jadi perhatian pemerintah,” ujar Setyo.
Dia memandang, persoalan polusi udara bisa berasal dari kemarau panjang, kendaraan bermotor, kebakaran hutan, dan abu pembakaran pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Oleh karena itu, solusi yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat adalah regulasi dari berbagai pemangku kepentingan lintas sektor dan lintas wilayah administrasi.
Sebagian besar pekerja yang bekerja di Jakarta datang dari kota-kota di sekitar Jakarta dan kebanyakan menggunakan transportasi publik ketika berangkat atau pulang kerja. Jadi, jika kebijakan WFH dimaksudkan untuk membatasi mobilitas kendaraan pribadi yang dianggap menyumbang buruknya kualitas udara, menurut dia, WFH sepertinya tidak akan berdampak banyak.
”Terkait banyaknya kendaraan pribadi yang menyumbang buruknya kualitas udara, pemerintah seharusnya bisa memperbaiki kualitas transportasi publik, mulai dari jumlah armada, waktu tunggu singkat, dan jalur yang menyasar titik-titik suburban. Pemerintah juga perlu menyediakan hunian murah dan terjangkau bagi pekerja untuk mengurangi biaya mobilitas yang tinggi,” tutur Setyo.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia Mirah Sumirat menyebutkan, inisiatif pemerintah untuk mendorong WFH sebagai salah satu solusi mengatasi permasalahan polusi udara akan berdampak buruk bagi kehidupan sosial masyarakat. Jika diberlakukan secara ketat sekalipun, WFH tidak akan pernah efektif untuk mengatasi masalah polusi udara secara jangka panjang.
Menurut dia, kebijakan seperti itu akan menghambat pergerakan warga dan berpotensi membuat banyak pekerja akan kehilangan pekerjaan. Perusahaan mungkin bisa berpikir bahwa akan tetap ada kegiatan operasional bisa dijalankan meskipun karyawan tidak datang ke kantor. Potensi cara berpikir seperti ini akan mendorong pemangkasan jumlah karyawan.
”Apalagi sejumlah perusahaan kini cenderung mengusung konsep no work no pay. Jika WFH dijalankan di tengah merebaknya konsep itu, potensi pekerja tidak mendapat upah layak semakin besar,” kata Mirah.
Dia menambahkan, pemerintah perlu mempertimbangkan masukan dari perwakilan pekerja dan pengusaha yang ada dalam Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit. Pemerintah harus memastikan tidak ada satu pun hak pekerja yang dikurangi jika WFH jadi diberlakukan.
Sekretaris Daerah Federasi Niaga, Bank, Jasa, dan Asuransi Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Niba KSPSI) Dedeh Farihah mempunyai pandangan senada. WFH belum tentu membawa dampak positif bagi pekerja di seluruh sektor industri.
”Hanya beberapa sektor tertentu yang dapat menerapkan WFH dan menghasilkan efektivitas cara kerja bekerja bagi karyawan. Hanya sejumlah perusahaan mau memberikan fasilitas yang mendukung WFH agar biaya yang dikeluarkan pekerja tetap lebih efisien,” ucap Dedeh.
Berdasarkan pengamatannya selama masa pandemi Covid-19, perusahaan di sektor niaga, bank, jasa, dan asuransi tidak menerapkan WFH secara menyeluruh.
Sama seperti Mirah, Dedeh juga berharap pemerintah menyiapkan kajian khusus dari berbagai aspek kehidupan pekerja. Misalnya, kajian mengenai sejauh mana WFH akan memengaruhi pemberian hak, stabilitas kehidupan, dan efektivitas waktu bekerja bagi pekerja.
Sebelumnya, pada awal Maret 2023, Boston Consulting Group, The Network, dan SEEK merilis laporan riset ”Apa yang Diharapkan Pekerja Diketahui oleh Perusahaan: Membuka Pintu Masa Depan Rekrutmen”. Riset menggunakan metode survei daring dan dikerjakan pada 2022. Secara global, riset ini menyasar 90.547 responden di 160 negara. Secara khusus, untuk Indonesia, Boston Consulting Group, The Network, dan SEEK menggunakan 68.591 responden.
Dalam laporan riset itu, 54 persen dari pekerja di Indonesia cenderung memilih untuk bekerja dengan sistem hibrida. Namun, angka ini lebih kecil jika dibandingan dengan hasil survei di Asia Tenggara yang menunjukkan rerata 62 persen responden memilih sistem kerja hibrida.
Pekerja Indonesia termasuk fleksibel menerima sistem kerja yang ditawarkan perusahaan. Hasil survei menunjukkan hanya 6 persen dari responden di Indonesia yang menjadikan ”lokasi dan/atau jadwal kerja yang fleksibel” sebagai deal breaker. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan rerata Asia Tenggara yang 12 persen dan global 14 persen.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Ketenagakerjaan Bob Azam, saat dihubungi terpisah, berpendapat, WFH bisa dilaksanakan sepanjang karyawan bekerja di perkantoran. WFH akan sulit diterapkan untuk karyawan yang bekerja di pabrik atau bekerja di sektor jasa.
”WFH bukan satu-satunya cara mengatasi permasalahan polusi udara. Membagikan masker dan mengoptimalkan angkutan bersama untuk karyawan adalah cara lain,” ujar Bob.
Mengoptimalkan angkutan bersama bagi karyawan, lanjut Bob, dinilai mampu mengurangi frekuensi penggunaan kendaraan pribadi. Namun, Apindo belum mengobservasi berapa banyak perusahaan anggota asosiasi yang mau menyediakan fasilitas itu.
”Pada waktu pandemi Covid-19, banyak perusahaan menyediakan angkutan bersama untuk karyawan,” ucap Bob.
Beberapa pekan terakhir, permasalahan polusi udara di Jabodetabek menjadi sorotan. Kualitas udara di Jakarta bahkan kerap dianggap terburuk di dunia. Persoalan ini menarik perhatian Presiden Joko Widodo. Dalam rapat terbatas, Senin (14/8/2023), Presiden ikut menyebut seluruh pihak untuk mencari solusi atas permasalahan tersebut. Salah satu solusi yang disebutkan oleh Presiden adalah WFH.
”Jika diperlukan, kita harus berani mendorong banyak kantor melaksanakan hybrid working. Saya enggak tahu nanti dari kesepakatan di rapat terbatas ini apakah 7-5, 2-5 atau angka yang lain,” kata Presiden.