Selama ini, struktur ekonomi Indonesia masih bergantung pada komoditas primer atau yang diambil langsung dari alam. Selain itu, ketergantungan Indonesia terhadap investor asing masih sangat besar.
Oleh
Hendriyo Widi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah perlu mewaspadai kambuhnya ”penyakit” lama struktur ekonomi Indonesia. Untuk mengurangi tekanan ”penyakit” lama itu, pemerintah perlu menggulirkan sejumlah langkah strategis yang tidak hanya berfokus pada hilirisasi.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara, Senin (28/8/2023), mengatakan, selama ini, struktur ekonomi Indonesia masih bergantung pada komoditas primer atau yang diambil langsung dari alam. Selain itu, ketergantungan Indonesia terhadap investor asing masih sangat besar.
Maka tidak mengherankan jika harga komoditas ekspor utama turun, pendapatan dari ekspor pasti turut turun. Begitu juga ketika banyak arus modal asing yang keluar dan waktu pembayaran imbal hasil investasi atau deviden perusahaan asing tiba, kondisi finansial bakal goyang.
”Kelemahan struktur ekonomi Indonesia itu mulai terlihat kembali dalam Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pasca Covid-19,” ujarnya ketika dihubungi di Jakarta.
Selama ini, struktur ekonomi Indonesia masih bergantung pada komoditas primer atau yang diambil langsung dari alam. Selain itu, ketergantungan Indonesia terhadap investor asing masih sangat besar.
Berdasarkan data NPI yang dirilis Bank Indonesia (BI), neraca transaksi berjalan Indonesia pada triwulan II-2023 defisit 1,9 miliar dollar AS atau sebesar 0,5 persen dari produk domestik bruto (PDB). Pada triwulan I-2023, neraca transaksi berjalan tersebut masih surplus sebesar 3 miliar dollar AS atau 0,9 persen dari PDB.
Neraca transaksi berjalan itu mulai berbalik arah ke defisit sejak membukukan surplus pada 2021 dan 2022. Total surplus neraca transaksi berjalan pada 2021 sebesar 3,51 miliar dollar AS dan pada 2022 sebesar 12,67 dollar AS miliar dollar AS.
Disebutkan pula, defisit neraca pendapatan primer pada triwulan II-2023 sebesar 9,14 miliar dollar AS, lebih tinggi dari defisit pada triwulan I-2023 yang sebesar 8,6 miliar dollar AS. Hal itu tidak terlepas dari kenaikan pembayaran pendapatan investasi langsung dan imbal hasil investasi portofolio.
Pembayaran pendapatan investasi langsung meningkat dari 6,2 miliar dollar AS pada triwulan I-2023 menjadi 6,3 miliar dollar AS pada triwulan II-2023. Dalam periode perbandingan yang sama, pembayaran imbal hasil invesasi portofolio juga naik dari 2,9 miliar dollar AS menjadi 3,6 miliar dollar AS.
Bhima berpendapat, hal itu menunjukkan pemerintah tidak bisa menangkap ”durian runtuh” (windfall) secara optimal. Banyak perusahaan asing yang berinvestasi di sektor pertambangan dan perkebunan di Indonesia mengirimkan sebagian besar dividen ke perusahaan induknya di luar negeri. Di sisi lain, banyak investor asing yang memetik keuntungan besar atas imbal hasil portofolio pemerintah atau swasta akibat kenaikan suku bunga acuan BI.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal juga berpendapat senada. Tren penurunan harga komoditas global telah menyebabkan surplus neraca perdagangan Indonesia semakin turun. Hal itu telah menyebabkan neraca transasksi berjalan pada triwulan II-2023 defisit.
Ekspor dan impor Indonesia juga masih bergantung pada kapal-kapal peti kemas negara lain. Hal ini justru menyebabkan neraca transaski jasa transportasi barang selalu defisit, bahkan di saat neraca transaksi berjalan surplus pada 2021, 2022, dan triwulan I-2023.
BI mencatat, neraca transaksi jasa transportasi barang pada 2021 dan 2022 masing-masing sebesar 6,24 miliar dollar AS dan 7,32 miliar dollar AS. Begitu juga pada triwulan I-2023 dan triwulan II-2023, defisitnya masing-masing sebesar 2,35 miliar dollar AS dan 2,04 miliar dollar AS.
Pemerintah diharapkan tidak lengah dan mewaspadai ”penyakit” lama struktur ekonomi Indonesia. Hilirisasi dan sektor unggulan peredam defisit transaksi berjalan perlu digarap. Bersamaan dengan itu, langkah-langkah strategis dan konkret lainnya juga perlu digulirkan.
Menurut Faisal, hilirisasi yang sudah berjalan saat ini perlu terus dikembangkan tidak hanya pada sektor pertambangan, tetapi juga sektor lain, seperti perkebunan. Selain itu, pemerintah juga perlu mengembangkan sektor unggulan sebagai peredam defisit transaksi berjalan dan pelan-pelan menggarap sektor jasa angkutan laut ekspor-impor.
Pemerintah juga perlu mengembangkan sektor unggulan sebagai peredam defisit transaksi berjalan dan pelan-pelan menggarap sektor jasa angkutan laut ekspor-impor.
Sementara itu, Bhima berpendapat, belakangan ini, BI dan pemerintah mendorong transaksi perdagangan RI dengan sejumlah negara menggunakan mata uang lokal (LCT). Meski masih terbatas, transaksi tersebut memang dapat sedikit menekan penggunaan dollar AS.
Namun, hal itu belum berlaku pada transaksi pengiriman barang ekspor-impor. Biaya angkutan peti kemas ke atau dari negara lain masih menggunakan dollar AS. Persoalan itu juga perlu dicarikan solusinya.
Terkait dengan dividen, Bhima meminta pemerintah mengoptimalkan pungutan pajak penghasilan (PPh) atas dividen. Selain itu, pemerintah bisa juga mengatur dividen perusahaan asing agar tidak langsung disetor besar-besaran ke perusahaan induknya di luar negeri dengan memberikan insentif tertentu. Hal itu bisa dilakukan terutama bagi perusahaan-perusahaan asing yang memiliki hak guna usaha di Indonesia.