Gantikan Pertalite, Pertamina Ingin Impor Etanol untuk Campuran Pertamax
Hal tersebut diyakini dapat menekan emisi karbon, ketergantungan pada impor BBM, dan memenuhi ”mandatory” bioenergi. Namun, kalangan pengamat menilai rencana itu bersifat reaktif dan tidak tepat.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — PT Pertamina (Persero) ingin mengganti produk bahan bakar minyak jenis pertalite dengan pertamax green 92 dengan cara mencampur pertalite dengan etanol pada 2024. Namun, lantaran pasokan etanol dalam negeri belum memadai, ethanol fuel grade diharapkan bisa dipenuhi impor. Rencana itu merupakan kajian Pertamina yang akan diusulkan kepada pemerintah.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (30/8/2023), mengatakan, pihaknya ingin melanjutkan program Langit Biru ke tahap II. Pada 2024, Pertamina berencana menaikkan RON 90 (pertalite) ke RON 92 (pertamax).
”Sebab, aturan KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) itu menyatakan octan number (RON) yang dibolehkan di Indonesia minimum 91. Ini sangat pas. Dari aspek lingkungan bisa menurunkan emisi karbon, lalu mandatory bioenergi bisa kami penuhi, dan bisa menurunkan impor gasoline (bensin),” kata Nicke.
Nicke pun meminta dukungan kepada Komisi VII DPR RI dan pemerintah untuk meluncurkan pertamax green 92. Produk BBM itu akan dihasilkan dari pencampuran pertalite dengan etanol sehingga nilai oktan akan meningkat menjadi 92.
”Karena itu, tahun depan (2024) hanya akan ada tiga produk. Pertama ialah pertamax green 92 dengan mencampur RON 90 dengan 7 persen etanol (E7). Kedua, pertamax green 95 dengan mencampur pertamax dengan 8 persen etanol (E8). Ketiga, pertamax turbo (RON 98),” ujar Nicke.
Nicke menekankan, hal tersebut merupakan hasil kajian internal Pertamina dan belum ada keputusan apa pun dari pemerintah. Pihaknya pun akan segera mengusulkan untuk dibahas lebih lanjut. Kalaupun akhirnya menjadi program pemerintah, harganya akan regulated (disubsidi/kompensasi) dan tak mungkin diserahkan ke mekanisme pasar.
”Kami mengusulkan ini karena lebih baik. Dengan harga sama, masyarakat mendapatkan (kualitas BBM) lebih baik, octan number yang lebih baik. Juga membuat mesin (kendaraan) lebih baik sekaligus menurunkan emisi. Tapi, kembali lagi, ini hasil kajian internal. Implementasinya menjadi ranah pemerintah untuk memutuskan,” ucap Nicke.
Sebelumnya, Pertamina melakukan soft launching pertamax green 95 pada Senin (24/7/2023). Untuk sementara penjualannya baru dilakukan di 17 stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Jakarta dan Surabaya. Saat ini, pasokan etanol masih terbatas, tetapi lewat Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati, akan terus ditingkatkan.
Dukungan yang dibutuhkan Pertamina, kata Nicke, salah satunya pembebasan bea dan cukai. ”(Lalu) sampai investasi dari bioetanol ini terjadi di dalam negeri, maka kita impor dulu. Itu tidak masalah karena kita pun impor gasoline (bensin). Kita hanya mengganti impor gasoline dengan etanol. Secara emisi itu akan lebih baik,” kata Nicke.
Saat ini, pertalite ialah jenis BBM yang dikompensasi oleh pemerintah. Beberapa waktu lalu, seiring polusi udara yang menyelimuti langit Jakarta dan sekitarnya, mengemuka wacana agar pertamax, dengan nilai oktan yang lebih tinggi (RON 92), disubsidi pemerintah.
Meski demikian, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Tutuka Ariadji, di Jakarta, Selasa (29/8/2023), menuturkan, belum ada pembahasan ke arah sana. Begitu juga terkait dukungan regulasi. Saat ini, pemerintah hanya bisa mengimbau masyarakat untuk menggunakan BBM dengan oktan tinggi.
Tidak tepat
Pengamat ekonomi energi yang juga dosen Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Fahmy Radhi, saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (30/8/2023), berpendapat, jika memang bertujuan untuk mengurangi polusi, peralihan dari RON 90 ke RON 92 tidak tepat. Guna memenuhi (standar emisi) euro 4 setidaknya mesti RON 95.
Apalagi, menghapus pertalite dan menggantinya dengan pertamax atau pertamax green 92 bukan perkara mudah. ”Kita tahu peralihan dari premium ke pertalite itu membutuhkan waktu dan proses. Jika pertalite diganti ke pertamax, akan timbul resistensi bagi para konsumen pertalite. Ini tidak bisa dilakukan seketika,” kata Fahmy.
Terlebih, jika jalan yang ditempuh ialah mengimpor etanol saat pasokan dalam negeri belum siap. Menurut Fahmy, hal itu bisa menimbulkan ketergantungan dan yang terjadi akan impor seterusnya. Kondisi seperti itu (ketergantungan pada impor) yang selama ini menjadi penyakit dalam memenuhi kebutuhan berbagai komoditas di sejumlah sektor.
Senada, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, menggeser RON 90 ke RON 92 juga bukan satu kebijakan yang tepat. Menaikkan dua tingkat oktan dianggap bukan solusi yang akan berdampak signifikan. Lebih jauh, ia menilai, yang perlu dilakukan saat ini ialah identifikasi lebih dulu penyebab-penyebab polusi udara.
”Semua pihak perlu fair mengenai akar masalahnya. Apabila sudah ditemukan, lalu selesaikan masalahnya. Apabila misalnya ingin menggeser RON 90 ke RON 92, perlu kajian mendalam karena risikonya juga tidak sederhana, terlebih berkaitan dengan anggaran negara. Akan ada dampak secara langsung pada APBN,” kata Komaidi.