Sebanyak 13 juta orang hidup dengan gangguan penglihatan akibat pekerjaan dan diperkirakan 3,5 juta cedera mata terjadi di tempat kerja setiap tahun.
Oleh
MEDIANA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pekerja dengan gangguan penglihatan memiliki kemungkinan 30 persen lebih rendah untuk memperoleh pekerjaan dibandingkan dengan mereka yang tidak mempunyai gangguan. Wilayah negara berpendapatan rendah dan menengah mengalami empat kali lebih banyak kasus gangguan penglihatan dibandingkan dengan wilayah berpendapatan tinggi.
Demikian benang merah laporan riset ”Eye Health and the World of Work” yang dirilis Organisasi Buruh Internasional (ILO) dan Badan Internasional untuk Pencegahan Kebutaan (IAPB) (September 2023). Dalam laporan ini disebutkan, 13 juta orang hidup dengan gangguan penglihatan akibat pekerjaan dan diperkirakan 3,5 juta cedera mata terjadi di tempat kerja setiap tahun. Angka ini merupakan 1 persen dari seluruh cedera yang tidak fatal akibat kerja.
Tempat kerja dapat menimbulkan risiko serius terhadap kesehatan mata. Tanpa investasi besar dalam tindakan pencegahan, jumlah penderita diperkirakan akan meningkat, terutama di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Selain dampak buruk yang ditimbulkan terhadap individu dan keluarga, beban yang ditanggung masyarakat juga masih besar. Pasalnya, di pasar kerja global, kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas penglihatan masih rendah.
”Sebenarnya, lebih dari 90 persen kasus gangguan penglihatan dapat dicegah atau diobati melalui intervensi. Masyarakat pun sebenarnya menyadari bahwa gangguan penglihatan bisa memengaruhi aktivitas kerja, tetapi belum melihatnya sebagai isu yang urgen,” ujar Programme Officer ILO Country Office for Indonesia and Timor Leste Abdul Hakim saat dikonfirmasi, Jumat (22/9/2023), di Jakarta.
Menurut dia, beberapa faktor kondisi kerja bisa menimbulkan gangguan penglihatan. Sebagai contoh, situasi tempat kerja konstruksi tanpa memakai alat pelindung mata, tingkat pencahayaan di tempat kerja yang kurang, atau bekerja terlalu lama di depan layar komputer.
Di tingkat perusahaan, laporan ILO dan IAPB itu menekankan, program keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang efektif dapat melindungi kesehatan mata. Program ini harus mencakup penilaian risiko, rencana pengendalian, pengadaan, dan komunikasi risiko.
Program lainnya adalah pemantauan medis kesehatan mata mencakup pekerja yang mengalami kehilangan penglihatan terkait usia, seperti presbiopia dan degenerasi makula. Sejauh ini, sejumlah perusahaan menerapkan program kompensasi pekerja yang diperuntukkan bagi cedera akibat kerja dan penyakit mata.
”Tidak semua perusahaan, termasuk di Indonesia, memiliki program mengganti biaya kesehatan mata bagi karyawan. Kalaupun ada, pengajuan penggantian biaya biasanya ada batas kapasitas jumlah ataupun nilai pengajuan,” kata Abdul.
Kewajiban pengusaha
Koordinator BPJS Watch, Indra Munaswar, secara terpisah, mengatakan, sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, pengusaha wajib memeriksakan kesehatan badan, kondisi mental, dan kemampuan fisik dari tenaga kerja yang akan diterimanya. Pengusaha juga diwajibkan memfasilitasi pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh (general check-up) terhadap semua tenaga kerja yang berada di bawah pimpinannya secara berkala kepada dokter yang ditunjuk pengusaha.
Berdasarkan UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU No 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, imbuh Indra, mata merupakan bagian yang dijamin sepanjang penyakit itu timbul akibat kecelakaan atau hubungan kerja.
”Tantangannya sekarang, belum semua pekerja formal dan informal menjadi peserta jaminan sosial ketenagakerjaan,” kata Indra.