Dorong Kredit Berkelanjutan, Bank Pangkas Pembiayaan Batubara
PT Bank Central Asia Tbk dan Bank Citibank, N A, Indonesia mulai mengarahkan penyaluran kreditnya untuk transisi pada energi hijau. Meski masih membiayai sektor batubara, nilainya berkurang secara perlahan.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sektor perbankan secara perlahan mendorong portofolio kredit keuangan berkelanjutan guna mewujudkan ekonomi hijau dan mewujudkan industri rendah karbon. Pelaku usaha batubara yang mulai terdampak berharap agar pemerintah membantu melalui kebijakan fiskal.
Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia, pendanaan yang makin sulit bagi perusahaan batubara telah dirasakan sejak 10 tahun lalu. Investasi untuk mengembangkan perusahaan batubara makin sulit, termasuk mengonversi komoditasnya.
”Kami dituntut untuk investasi energi bersih atau hilirisasi, konversi batubara. Biayanya memang besar (untuk dukungan teknologi),” ujar Hendra saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (24/9/2023).
Selain teknologi konversi yang memakan biaya hingga miliaran dollar AS, faktor keekonomian belum dianggap ekonomis. Sejauh ini, perusahaan perlu memaksimalkan pendanaan secara mandiri untuk memenuhi kewajiban transisi.
Hal serupa diutarakan Direktur Eksekutif Asosiasi Tambang Indonesia (IMA) Djoko Widajatno. Saat ini, pendanaan perbankan difokuskan untuk tambang hijau, minim produksi polutan. Industri-industri ekstraktif yang masih dalam transisi energi sulit menerima pendanaan dari bank asing dan lokal.
Tantangan lainnya, keadaan ekonomi dunia masih melambat. Investor dinilai mengurangi investasi ke Indonesia.
Dari sisi perbankan, Executive Vice President PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Hera F Haryn mengatakan, komposisi kredit perseroan untuk sektor batubara lebih rendah dibandingkan dengan sektor berkelanjutan (sustainable). Proporsi kredit batubara hanya sebesar 0,4 persen dari total kredit yang disalurkan, serta tak mengalami kenaikan yang berarti.
”Pembiayaan ini dilakukan dalam rangka mendukung penyediaan pasokan listrik bagi masyarakat,” ujar Hera.
Sebaliknya, penyaluran kredit perbankan untuk sektor berkelanjutan (sustainable finance)meningkat. Hampir seperempat dari total portofolio berasal disalurkan pada sektor tersebut.
Penyaluran kredit ke sektor-sektor berkelanjutan naik 6,9 persen secara tahunan (YoY) hingga Rp 181 triliun pada Juni 2023. Nominal itu setara 24,3 persen dari total portofolio pembiayaan BCA.
Sektor-sektor terbarukan yang dibiayai BCA memiliki kapasitas energi 210 megawatt (MW) dari sejumlah pembangkit listrik. Beberapa di antaranya pembangkit listrik bertenaga air, biomassa, biogas, dan surya.
Hera menambahkan, BCA terus membuka peluang untuk prospek kredit pada sektor-sektor berkelanjutan.
Bank Citibank, N A, Indonesia atau Citi Indonesia turut mengarahkan penyaluran kredit untuk sektor keberlanjutan. Namun, bukan berarti pembiayaan terhadap sektor batubara akan dilepas secara langsung, hanya saja mulai dikurangi perlahan.
”Saya pikir, arahnya itu, kalau dibilang, lebih ke arah green resources. Jadi, mungkin kalau batubara ini, ya, pelan-pelan (pengurangannya). Saya enggak bilang langsung, tetapi agak dikurangi (pembiayaannya),” ujar Head of Integrated Corporate Citi Indonesia Anthonius Sehonamin.
Ia optimistis, kredit pada sektor tambang akan meningkat, tetapi dengan pergeseran komoditas, bukan lagi batubara, melainkan produk lain, seperti nikel, bauksit, serta alumina. Hal ini sesuai dengan strategi Presiden Joko Widodo untuk mendorong ekosistem hilirisasi tambang, khususnya pengembangan kendaraan listrik.
Citibank menargetkan pembiayaan berkelanjutan secara global hingga 2030 sebesar 1 triliun dollar AS atau Rp 15.397 triliun dengan kurs Rp 15.397 per dollar AS. Berdasarkan data per Desember 2022, Citibank telah mengalokasikan 348 miliar dollar AS atau Rp 5.365 triliun (Kompas.id, 22/9/2023).
Memangkas kredit
Sektor batubara menjadi salah satu sasaran perbankan yang akan dipangkas pembiayaannya. Hal ini sesuai dengan regulasi pemerintah, termasuk taksonomi hijau yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2022. Dalam aturan itu, bank-bank diharapkan membiayai sektor-sektor ekonomi atau lapangan usaha yang ramah lingkungan.
”Sepengetahuan saya, OJK akan keluarkan aturan, yaitu bank diperbolehkan membiayai sektor batubara yang sudah diolah, sudah dimurnikan, sehingga kandungan polusinya rendah,” ujar ekonom senior dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Ryan Kiryanto.
Rancangan OJK yang tengah disusun ini mengantisipasi kebutuhan batubara yang masih tinggi, tetapi sudah berupa olahan. Namun, ia menegaskan, apa pun jenis komoditas tambangnya, termasuk nikel dan litium, tetap harus diproses atau hilirisasi.
Hendra berharap agar pemerintah mempertimbangkan kebijakan fiskal yang tepat. Tujuannya, perusahaan-perusahaan batubara dapat bertahan untuk melakukan transisi. Proses tersebut membutuhkan biaya yang tak sedikit sehingga bantuan pembiayaan masih dibutuhkan.
”Pemerintah perlu mengkaji lagi, khususnya secara fiskal untuk mendorong perusahaan-perusahaan tetap bisa berkontribusi bagi perekonomian negara. Tapi, di sisi lain, perusahaan-perusahaan tersebut bisa berinvestasi ke depan untuk transisi,” katanya.
Dalam laporan Institute for Essential Services Reform (IESR) berjudul ”Indonesia Sustainable Finance Outlook 2023”, setidaknya 179 institusi keuangan secara global mengumumkan pencabutan investasi dari tambang batubara serta pembangkit listrik bertenaga batubara. Walau begitu, masih ada 29 institusi keuangan Indonesia yang membiayai proyek batubara melalui peminjaman serta investasi.