Jebakan ”Pilot” Digitalisasi dan Keberlanjutan Menuju Indonesia Emas
Indonesia Emas 2045 mulai coba diwujudkan. Dengan modal bonus demografi, Indonesia bercita-cita menjadi negara dengan pandapatan per kapita yang setara dengan negara maju. Seperti apa peluang dan tantangannya?
Pesatnya perkembangan inovasi teknologi dan digitalisasi lebih dari satu dekade terakhir membuat perusahaan-perusahaan di dunia, termasuk Indonesia, berlomba untuk mencebur kan diri ke ranah digital. Namun, kerap kali perusahaan tidak fokus atau sekadar terjun sehingga nilai tambah yang diharapkan dari digitalisasi tak tercapai.
Senior Partner and Managing Partner of McKinsey & Company Indonesia, Khoon Tee Tan, mengatakan, digitalisasi ialah satu dari tiga megatren yang sedang dialami dunia saat ini. Dua lainnya ialah keberlanjutan (sustainability) dan, pertumbuhan (growth)yang cepat. Hal-hal itu menjadi tantangan bagi perusahaan untuk dipacu bersama di era saat ini.
Di sisi lain, Indonesia Emas 2045 atau tepat seabad usia negara mulai coba diwujudkan. Dengan modal bonus demografi, Indonesia bercita-cita menjadi negara dengan pandapatan per kapita yang setara dengan negara maju. Dengan demikian, Indonesia bisa keluar dari middle income trap atau jebakan pendapatan menengah.
Dalam mewujudkan itu, digitalisasi, keberlanjutan, dan pertumbuhan yang cepat akan selalu mengiringi. Di sisi lain, Indonesia memiliki potensi besar untuk mengubah tantangan menjadi peluang. Misalnya, dengan menjadi hub pasar karbon di kawasan karena memiliki kekayaan hutan tropis hingga sumur-sumur minyak dan gas tak produktif untuk penyimpanan karbon (carbon storage).
Sebesar apa peluang Indonesia untuk memanfaatkan potensi yang ada demi terwujudnya visi Indonesia Emas 2045? Berikut petikan wawancara Kompas dengan Khoon Tee Tan di kantornya di Jakarta, Rabu (4/10/2023).
Dari tiga megatren global itu, bagaimana kaitannya dengan Indonesia?
Mengenai digitalisasi, dari survei kami, 90 persen perusahan di dunia, termasuk Indonesia, sudah memulai digitalisasi dan biaya yang dikeluarkan juga sudah cukup besar. Namun, hanya seperempat yang merasakan pemangkasan biaya tercapai atau kurang dari sepertiga yang mengatakan pendapatannya bertambah sesuai target. Sementara tiga perempat di antaranya stuck hanya melakukan pilot (percontohan). Kita menyebutnya pilot trap.
Di Indonesia, satu penolokukuran kami adalah Global Lighthouse World Economic Forum, yakni penghargaan kepada perusahaan-perusahaan unggul yang melakukan digitalisasi dan meciptakan nilai (value). Standarnya sangat tinggi. Hingga kini, dari 132 perusahaan yang mendapat penghargaan itu, dari Indonesia baru dua, yakni Petrosea dan Schneider Indonesia.
Artinya, statistik yang dialami global dan Indonesia sepertinya sama, yakni terperangkap di pilot trap atau tak mendapat nilai tambah sesuai yang diharapkan. Sejumlah faktor kunci bagi perusahaan untuk menjadi digital champion dan lepas dari pilot trap antara lain peran penting pemimpin, fokus, fondasi data serta infrastruktur teknologi, optimalisasi SDM, serta manajemen perubahan.
Baca juga: Perkuat Pendidikan Nilai untuk Raih Indonesia Emas 2045
Bagaimana posisi Indonesia dalam inovasi teknologi dan digitalisasi di dunia?
Adanya dua perusahaan dari Indonesia di Global Lighthouse sebenarnya satu hal baik, tetapi bagaimana ke depan agar lebih banyak.
Di negara-negara lain (maju), dengan tingkat perekonomian lebih besar, biaya tenaga kerja (labor cost) akan jauh lebih tinggi dan itu yang terus mendorong mereka untuk meningkatkan produktivitas.
Baca juga: McKinsey: 2030, 23 Juta Pekerjaan Hilang, tetapi Akan Muncul 46 Juta Pekerjaan Baru
Untuk menjadi negara berpendapatan tinggi, Indonesia harus mulai meningkatkan produktivitas dan inovasi. Sementara di negara-negara lain, di Eropa misalnya, karena level perekonomian serta biaya tenaga kerjanya tinggi sehingga terus dipikirkan bagaimana caranya melakukan automasi. Sementara perekonomian Indonesia ”tidak masuk” untuk automasi.
(Dalam digitalisasi), Indonesia masih awal dan perlu membangun banyak pusat data dan infrastruktur. Penetrasi fiber optik, misalnya, juga masih cukup rendah. Jadi, harus ada pengembangan untuk mengejarnya sehingga nanti diharapkan bisa mendukung digitalisasi di perusahaan-perusahaan.
Ini penting untuk Indonesia Emas 2045?
Kalau ingin menjadi negara berpendapatan tinggi, maka global champions ini harus diciptakan, baik dalam digitalisasi, keberlanjutan (sustainability), maupun pertumbuhan yang cepat.
Bagaimana dari sisi keberlanjutan dan pertumbuhan yang cepat?
Keberlanjutan ini untuk memastikan bahwa apa yang kita lakukan itu ramah lingkungan untuk masa depan. Namun, itu bukan sekadar untuk mitigasi risiko, tetapi menjadi peluang besar untuk meningkatkan produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Ada sejumlah area potensial di Indonesia dalam menciptakan bisnis dari ekonomi hijau, bahkan berkelas dunia, di antaranya nature based solution (NBS), pasar karbon, energi terbarukan, hidrogen, CCS/CCUS (penangkapan, utilisasi, dan penyimpanan karbon), manufaktur hijau, ekosistem kendaraan listrik, dan bahan bakar nabati (biofuel). Untuk mencapai Indonesia Emas 2045, itu harus dilihat sebagai potensi bisnis.
Sementara pertumbuhan akan menjadi satu tantangan agar perusahaan-perusahaan terus berinovasi. Sebanyak 60 perusahaan di Asia mengatakan bahwa pertumbuhan itu masih tiga besar dalam prioritas bisnis mereka, tetapi hanya seperlima yang mampu mambangun bisnis dengan cepat. Indonesia punya banyak cerita sukses dari perusahaan unicorn, tetapi perlu diperbanyak serta ditingkatkan (scale up) lagi.
Sejumlah faktor kunci bagi perusahaan untuk menjadi digital championdan lepas daripilot trap antara lain peran penting pemimpin, fokus, fondasi data dan infrastruktur teknologi, optimalisasi SDM, serta manajemen perubahan. (Khoon Tee Tan)
Mengenai keberlanjutan, dengan sumber daya melimpah, Indonesia bisa menjadi solusi dunia?
Indonesia ialah negara penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar kedelapan di dunia, sekitar 1,6 gigaton CO2 (setahun). Namun, di sisi lain, Indonesia memiliki solusi-solusinya. Bukan hanya untuk Indonesia, melainkan seluruh dunia. Misalnya, Indonesia memiliki cadangan nikel dan panas bumi terbesar di dunia. Juga potensi NBS kedua terbesar di dunia dan penyimpanan karbon terbesar ketiga di Asia.
Jadi, potensi bisnis ekonomi hijau ini bukan hanya untuk perusahaan-perusahaan penyumbang emisi karbon saja, melainkan untuk seluruh perekonomian di Indonesia. Banyak perusahaan yang bisa ambil bagian untuk ciptakan bisnis baru. Tentunya itu akan menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia karena tren keberlanjutan ini juga menciptakan peluang pekerjaan.
Baca juga: Tinggal 22 Tahun Menuju Indonesia Emas 2045
Bagaimana posisi perusahaan-perusahaan di Indonesia mengenai lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG)?
Ada pergeseran yang signifikan dibandingkan 3-4 tahun lalu. Saat itu, di Indonesia mungkin belum banyak membicarakan hal-hal terkais keberlanjutan, dekarbonisasi, dan ESG. Paradigma 3-4 tahun lalu mungkin ESG semacam tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) atau bukan inti. Namun, hal itu kini sudah bergeser.
Itu perkembangan yang sangat baik karena perusahaan-perusahaan di Indonesia juga melihatnya sebagai mitigasi risiko bisnis. Sekiranya dunia berubah ke arah derkarbonisasi, apa yang akan terjadi dengan sumber alam yang berbasis energi fosil? (Situasi) Itu bagus karena perusahaan menjadi berpikir ke depan. Bukan cuma mengharapkan dunia akan beradaptasi terhadap kita, melainkan kita juga mencoba beradaptasi dengan tren di dunia.
Yang harus disyukuri adalah Indonesia memiliki sumber dayanya. Indonesia kaya akan batubara, tetapi juga kaya akan tempat penyimpanan karbon (sumur-sumur migas yang tak berproduksi), serta kaya sumber energi-energi terbarukan. Itu menguntungkan karena yang dilakukan adalah bergeser dan sumber daya (fosil)-nya masih ada. Berbeda dengan beberapa negara lain yang bertransisi tetapi bisnis inti (awalnya) sudah tidak ada.
Bursa Karbon Indonesia baru diluncurkan. Butuh berapa lama agar ekosistemnya terbangun?
Ini bagian dari upaya menuju nationally setermined contribution (NDC) 2030. Saya pikir, tidak lebih dari lima tahun ke depan, seharusnya sudah terbangun pasar karbon yang paling besar di ASEAN. Sebab, itu bagian dari komitmen dan mandat bagi Idonesia. Mandat itu akan tercapai hanya dengan karbon market yang besar itu.
Apa tantangan terbesar yang dihadapi Indonesia dalam keberlanjutan ini?
Ada dua dukungan yang dibutuhkan Indonesia dari seluruh dunia, yakni teknologi dan pendanaan.
Untuk teknologi, sebenarnya tidak perlu penemuan baru, tinggal bagaimana transfer teknologi dari teknologi-teknologi canggih yang ada di dunia.
Terkait pendanaan, dukungan pendanaan yang diperlukan jumlahnya tidak kecil. Dibutuhkan sekitar 170 miliar dollar AS jika kita ingin berubah menjadi ekonomi yang mayoritas dipenuhi oleh energi terbarukan. Saat ini kan baru akan dimulai berbagai mekanisme pendanaan, termasuk melalui country platform, dan lainnya. Itu perlu diwujudkan secepatnya, sehingga ada satu platform untuk mendanai segala proyek terkait dengan keberlanjutan.
Apa saja potensi yang bisa dikerjasamakan di ASEAN?
Pertama adalah menciptakan pasar karbon untuk seluruh ASEAN. Standar-standarnya dapat diselaraskan bersama.
Kedua, dari sisi logistik. Ini penting untuk mewujudkan ekonomi yang lebih terintegrasi. Kalau tidak salah, dari total perdagangan antarnegara di ASEAN, yang ada saat ini baru seperempat dari total volume perdagangan (negara-negara ASEAN). Itu berarti tidak banyak perdagangan antara satu dan lainnya. Ini bisa ditingkatkan dengan mengurangi biaya logistik yang selama ini bisa menjadi halangan.
Ketiga, infrastruktur digital. Negara-negara anggota ASEAN bisa saling mendukung, misalnya, terkait standar-standar untuk pusat data. Ini perlu diwujudkan untuk kolaborasi. Pada akhirnya, ini bukan hanya membantu secara kawasan, melainkan juga untuk capaian Indonesia Emas 2045.
Baca juga: RI Perlu Setahap Lebih Maju dari Hilirisasi
Termasuk juga peluang penangkapan dan penyimpanan karbon lintas batas?
Karbon sifatnya global. Satu ton karbon yang diemisikan di Singapura, Indonesia, atau wilayah lain, dampaknya sama bagi dunia. Jadi, kenapa kita tidak melihat itu sebagai potensi ekonomi yang bisa berkembang di Indonesia. Tinggal bagaimana (regulasi) dari pemerintah serta standar-standar teknologi yang dipastikan. Misalnya, untuk memastikan bahwa CO2 yang diinjeksikan benar-benar tetap di sana. Namun, secara teknis, itu sudah bisa dilakukan dan dibuktikan.
Mengenai hilirisasi mineral untuk kendaraan listrik, apakah jalurnya sudah tepat?
Kendaraan listrik telah menjadi tren di seluruh dunia dan telah didukung penurunan biaya dari sisi baterai. Itu mengingat separuh dari biaya mobil atau sepeda motor ialah pada baterai.
Di banyak negara, seperti India dan China, awalnya (penjualan) lambat, tetapi kemudian perlahan naik. Di Indonesia, sudah ada insentif yang diberikan pemerintah untuk masyarakat. Saya pikir seharusnya 5-10 tahun ke depan, kendaraan listrik di Indonesia sudah terakselerasi.
Selain itu, jika semakin banyak pemain (industri) mobil listrik di Indonesia, akan bagus untuk perekonomian Indonesia karena menciptakan kesempatan kerja. Juga menciptakan industri hilir nikel, yakni pada baterai. Sebab, kalau pasarnya lebih besar, pengusaha juga akan membangun pabrik baterainya. Pada akhirnya juga akan menciptakan peluang transformasi lebih besar dari bahan bakar minyak ke listrik. Menjadi lebih seimbang (dengan kendaraan BBM).
Baca juga: Menjadikan Indonesia sebagai ”Benchmark” Transisi Energi di Asia Tenggara