Ketegasan Aturan Tol Laut Dibutuhkan untuk Tekan Disparitas Harga
Aturan yang tidak jelas terkait barang apa yang harus masuk ke tol laut, jadwal yang tidak tepat, hingga subsidi yang tidak pas membuat harga komoditas di timur masih belum sama dengan di barat.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·4 menit baca
SORONG, KOMPAS — Jasa pelayaran mengharapkan ketegasan aturan main tol laut agar masyarakat bisa mendapatkan harga komoditas yang sesuai. Sejauh ini disparitas harga komoditas kawasan Indonesia timur dan barat masih terjadi, terlepas daerah tersebut hanya sebagai tempat transit tol laut atau penerima manfaat program.
Kepala Cabang PT Pelni Wilayah Sorong, Papua Barat Daya, Nurul Azhar mengatakan, Sorong merupakan tempat transit bongkar muat barang tol laut sebelum disalurkan ke daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Sorong menjadi bagian trayek T-19 kapal Kendhaga Nusantara 8 yang memiliki rute Sorong-Orasbari-Waren-Sarmi-Jayapura-Biak-Kokas.
”(Untuk mengantar) Muatan, kami sudah bekerja sama dengan kapal Temas. Enggak ada (kapal utama) Pelni, tapi tol laut, (kapal pengumpan/feeder) Pelni menyambungkan ke daerah-daerah,” ujar Nurul di Sorong, Papua Barat Daya, Jumat (6/10/2023). PT Temas, Tbk merupakan jasa pelayaran yang ditunjuk pemerintah untuk bekerja sama menggarap tol laut di Papua Barat Daya
Dalam sekali sandar, kapal dapat membawa logistik bermuatan 100 persen. Namun, kapal kembali dengan muatan kosong.
Kepala PT Temas Cabang Sorong Fahrul Zaenal mengatakan, kapalnya membawa muatan dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur, langsung ke Terminal Peti Kemas Sorong, Papua Barat Daya. Komoditas yang dibawa didominasi bahan pokok, antara lain beras, minyak goreng, dan gula.
”Kami merasa pemerintah melibatkan kami sebagai perusahaan pelayaran skala nasional agar bisa bantu pemerintah sukseskan program tol laut. Kebanggaan untuk kami,” ujar Fahrul.
Jangan sampai ada tumpang tindih di situ karena untuk subsidi.
Meski mayoritas membawa logistik, Temas juga mengangkut alat-alat pendukung proyek dengan tol laut. Ia menyayangkan tak ada aturan serta pembagian yang jelas terkait barang apa yang harus masuk ke tol laut dan tidak.
”Jangan sampai ada tumpang tindih di situ karena untuk subsidi,” katanya.
Jadwal tak tepat
Dalam proses pemanfaatan tol laut, Temas menghadapi masalah terkait jadwal bertemunya kapal penghubung (connecting vessel)dengan kapal pengumpan yang dioperatori Pelni. Sesampainya mereka di pelabuhan, kapal-kapal pengumpan belum siap.
Fahrul menyebut, biasanya waktu yang dibutuhkan untuk memindahkan muatan empat hari. Idealnya, paling tidak dua hari sudah tuntas. Akan lebih baik jika ketika bongkar barang dilakukan, kapal pengumpan telah siap menerima muatan.
Ia mengatakan, program tol laut bertujuan menekan disparitas harga antarkomoditas. Semestinya realisasi harus sesuai kenyataan di lapangan. Sebab, sebagai anggota masyarakat pun, ia membutuhkan harga yang setara di Indonesia bagian timur guna memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Nurul mengiyakan bahwa idealnya kapal pengumpan Pelni juga sudah berjaga ketika kapal penghubung tiba. Namun, ia beranggapan terkadang persoalan eksternal, seperti cuaca dan mesin yang bermasalah, jadi hambatan.
”Kami juga pernah menunggu mereka (kapal Temas). Tapi, sebelum mereka datang, kami sudah kontak-kontakan dulu,” ujarnya.
Disparitas harga
Walau Sorong hanya dimanfaatkan sebagai tempat transit bongkar muat dalam perjalanan tol laut, disparitas harga di wilayah itu dibandingkan wilayah barat tetap terjadi. Menurut pedagang pangan di Pasar Remu, Sorong, Selfia (42), bawang merah dan bawang putih dikirimkan dari Surabaya. Harga beli bawang merah Rp 25.000 per kilogram (kg) saat dibeli dari agen, tetapi dijual kembali Rp 40.000 per kg.
Serupa dengan bawang merah, harga jual bawang putih kepada konsumen juga meningkat walau tak setinggi komoditas sebelumnya. Harga beli Rp 32.500 per kg, kemudian dijual Rp 40.000 per kg. Harga-harga tersebut masih tergolong normal.
”Di sini harga jauh dengan Jawa karena harus bayar ongkos kapal lagi,” ujar Selfia.
Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, rata-rata harga bawang merah di pasar tradisional Surabaya Rp 19.650 per kg. Sementara harga rata-rata nasional Rp 27.000 per kg. Untuk Sorong, harga bawang merah Rp 38.750 per kg.
Sementara itu, pedagang lain dari daerah Aimas, Kabupaten Sorong, Sutarno (65), mengatakan bahwa harga komoditas pangan tergolong mahal, apalagi yang didatangkan dari luar Papua. Harga telur ayam, misalnya, mencapai Rp 35.000 per kg. Itu serupa dengan data PIHPS Nasional untuk provinsi seharga Rp 34.400 per kg. Padahal, harga telur dari tempat penghasilnya, Jawa Timur, hanya Rp 25.150 per kg.
”Kalau harga beli, selisih rata-rata Rp 1.000. Untung yang diambil untuk pedagang kecil,” ujarnya.
Walau demikian, disparitas harga pada beras dapat ditekan. Untuk beras di Pulau Doom, Sorong, harganya sekitar Rp 15.000 per kg. Harga itu masih bersaing dengan harga beras di wilayah Jawa.
Kepala Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Sorong Jece Julita Piris menilai, tol laut telah berjalan efektif. Disparitas harga sudah dapat ditekan. Harga sejumlah komoditas sudah serupa dengan Indonesia bagian barat.
Namun, ia menyayangkan muatan kembali yang bobotnya rendah. Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten Sorong diharapkan dapat mendorong industri sehingga pengiriman barang lebih banyak. Industri-industri yang ada bisa memanfaatkan tol laut.
Hal itu berbeda dengan pendapat Kepala Cabang PT Salam Pacific Indonesia Lines Sorong Faizal Arifin. Ia menyampaikan, efektivitas penggunaan tol laut perlu didalami lagi.
Direktur The National Maritime Institute Siswanto Rusdi berpendapat, konsep awal tol laut kurang tepat. Sebab, selama ini kapal swasta, kapal pelayaran rakyat, dan kapal pemerintah di Indonesia telah memiliki jalur perairan masing-masing.
Ketika ada tol laut, pemerintah hanya memberikan subsidi kepada kapal-kapal di bawah naungannya yang dioperatori PT Pelayaran Nasional Indonesia (Persero) atau Pelni. Kapal swasta baru diberi subsidi belakangan ini.
”Orang (memilih) mengambil (jasa kapal) tol laut, tetapi menjualnya dengan (harga) komersial karena ada fasilitas itu,” ujarnya.
Guna menyiasati disparitas harga yang masih terjadi, Siswanto mengusulkan agar pemerintah membagi subsidi secara merata kepada semua kapal, baik yang tergabung maupun tak tergabung dengan tol laut. Selama ini, trayek antarkapal itu berimpitan sehingga perlakuan yang sama antarjasa pelayaran perlu diupayakan.
”Jadi, keberadaan tol laut itu disebut salah kaprah karena mengganggu keseimbangan bisnis yang sudah ada berpuluh-puluh tahun sebelumnya,” katanya.