Hak atas Tanah di IKN ”Diobral” 190 Tahun, Bisa Jadi Bumerang Investasi
”Karpet merah” yang diberikan pemerintah kepada investor untuk menggunakan tanah milik negara di Ibu Kota Nusantara (IKN) sampai nyaris dua abad berpotensi menghambat realisasi investasi dan memperkeruh konflik agraria.
Oleh
AGNES THEODORA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aturan baru dalam revisi Undang-Undang Ibu Kota Negara Baru atau UU IKN mengizinkan investor untuk memiliki hak guna usaha lahan di lokasi IKN hingga nyaris dua abad atau selama 190 tahun. Kebijakan itu dikhawatirkan bisa menjadi bumerang yang berbalik menghambat realisasi investasi dan memperkeruh ketimpangan penguasaan lahan.
”Karpet merah” pengelolaan lahan bagi investor itu tertuang dalam Undang-Undang IKN yang baru saja resmi disahkan pekan lalu oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 16A salinan revisi UU IKN mengatur bahwa investor diberikan hak atas tanah milik negara di lokasi IKN dalam jangka waktu yang sangat panjang hingga nyaris menyentuh dua abad.
Hak atas tanah itu mencakup hak guna usaha (HGU) yang diberikan hingga 190 tahun dan terdiri atas dua siklus. Siklus pertama diberikan dengan jangka waktu paling lama 95 tahun. Setelah siklus pertama selesai, investor bisa memperpanjangnya untuk siklus kedua paling lama 95 tahun.
Ada pula hak guna bangunan (HGB) yang diberikan hingga 160 tahun. Sama seperti ketentuan HGU, HGB juga diberikan dalam dua siklus. Siklus pertama paling lama 80 tahun dan dapat dilakukan pemberian kembali melalui siklus kedua dengan jangka waktu paling lama 80 tahun.
Selain HGU dan HGB, revisi UU IKN juga mengatur mengenai hak pakai hingga 160 tahun yang diberikan dalam dua siklus dengan jangka waktu paling lama 80 tahun per tiap-tiap siklus.
Peneliti Center of Trade, Investment and Industry di Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, Minggu (8/10/2023), menilai, kebijakan tersebut bisa menjadi bumerang yang berbalik memperlambat realisasi investasi. Apalagi jika tidak diiringi dengan skema evaluasi bertahap yang jangka waktunya terukur.
”Kalau hak atas tanah diberikan dalam jangka waktu yang terlalu lama, investor bisa menganggurkan lahannya selama bertahun-tahun. Investasi tidak cepat dieksekusi dan tidak berdampak apa-apa ke masyarakat dan negara, ujung-ujungnya malah jadi mubazir,” ujarnya.
Padahal, idealnya, setiap tahapan realisasi investasi diharapkan bisa membantu menggerakkan perekonomian setempat. ”Tahapan konstruksi pembangunan pabrik saja, misalnya, itu, kan, sudah bisa menyerap tenaga kerja. Ada juga perputaran bahan baku dan barang modal yang dibeli dan digunakan yang bisa memberi dampak ke ekonomi,” katanya.
Heri menyoroti ketentuan evaluasi jangka waktu HGU yang dilakukan dalam tiga tahapan di siklus pertama, yaitu tahap pemberian hak paling lama 35 tahun, tahap perpanjangan hak paling lama 25 tahun, dan tahap pembaruan hak paling lama 35 tahun.
Ketentuan ini diatur dalam bagian penjelasan di UU IKN. Dengan aturan itu, evaluasi pertama terhadap investor pengguna lahan berarti baru akan dilakukan setelah tahap 35 tahun pertama dilewati.
Menurut dia, jangka waktu yang diatur per tahapan itu terlalu lama. ”Tiga puluh lima tahun itu terlalu lama. Idealnya hak investor atas tanah sudah bisa dievaluasi dalam 5-10 tahun. Kalau sudah dikasih lahan dan 5 tahun tidak ada apa-apa, cabut haknya. Jangan sampai investor berpikir mentang-mentang masih lama, lalu investasi tidak cepat dieksekusi,” kata Heri.
Selain bisa membuat investasi berjalan lambat, jangka waktu pemberian hak atas tanah milik negara yang terlalu lama juga bisa memunculkan investor-investor spekulan yang menyalahgunakan hak mereka. Selama ini saja, dengan aturan jangka waktu hak pengelolaan tanah yang tidak terlalu lama, praktik seperti ini sudah sering ditemukan.
”Ini bisa membuka peluang spekulan lahan. Setelah investor punya hak, lahan itu tidak mereka manfaatkan untuk merealisasikan komitmen investasi, tetapi justru disewakan ke pihak lain dengan harga yang lebih tinggi,” kata Heri.
Aturan pemberian hak pengelolaan yang terlalu lama juga dinilai bisa memperkeruh konflik agraria dan ketimpangan penguasaan lahan di lokasi IKN di Kalimantan Timur.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan, nuansa pembangunan IKN sangat kental dengan narasi menggaet investor sebanyak-banyaknya hingga mengabaikan berbagai aspek fundamental, seperti potensi krisis dan konflik agraria yang bisa terpantik akibat aturan pembangunan yang terlalu berpihak kepada investor.
Ia mengatakan, aturan pemberian HGU hingga 190 tahun dengan dua siklus itu juga sebenarnya bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21-22/PUU-V/2007 tentang Pengujian Materiil UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Putusan MK saat itu menyatakan bahwa HGU 75 tahun yang diberikan di muka sekaligus tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan konstitusi. Konsep ”di muka sekaligus” yang dinyatakan inkonstitusional itu, menurut Dewi, pada prinsipnya sama dengan ketentuan ”siklus” untuk pemberian jangka waktu HGU dan HGB yang diatur di UU IKN.
Dewi mengatakan, ”obral tanah” bagi investor ini juga seolah-olah mengabaikan kenyataan bahwa masih banyak problem struktural terkait reforma agraria yang belum selesai di lokasi IKN. Hal ini bisa menjadi pedang bermata dua yang dapat merugikan masyarakat adat setempat, sekaligus ”menjerumuskan” investor dalam konflik dengan warga.
”Narasi yang dibawa seolah-olah lahan yang tersedia ini sudah bebas konflik, sudah clean and clear, bebas risiko, tidak ada problem struktural. Padahal, aturan baru ini bisa memperkeruh konflik yang sudah ada di IKN dan memperparah ketimpangan penguasaan lahan,” katanya.
Sebelumnya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa mengatakan, pemberian HGU dan hak atas tanah lainnya kepada investor akan diberikan secara bertahap, tidak otomatis sekaligus diberikan untuk 190 tahun. Ada tahapan evaluasi di 35 tahun pertama, 25 tahun kedua, dan 35 tahun terakhir, sebelum dilanjutkan ke siklus kedua.
Evaluasi itu juga dilakukan dengan kriteria yang terukur. Pertama, investor harus bisa membuktikan bahwa tanah yang dikelolanya masih dimanfaatkan dengan baik sesuai tujuan. Kedua, investor masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak. Ketiga, pemanfaatan tanah bersangkutan masih sesuai dengan rencana tata ruang, dan tanah tidak terindikasi telantar.
”Jadi ini tidak kita berikan secara otomatis sekaligus, tetapi bertahap,” kata Suharso dalam konferensi pers seusai rapat paripurna pengesahan hasil revisi UU IKN di Kompleks Parlemen, pekan lalu.
Editor:
MUHAMMAD FAJAR MARTA
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.