Perbankan Berkomitmen Terlibat dalam Mitigasi Perubahan Iklim
Pembangunan ekonomi berkelanjutan memerlukan dukungan sejumlah pihak, tak terkecuali industri perbankan. Selain menyalurkan pembiayaan, perbankan berperan mencari solusi atas tantangan ekonomi berkelanjutan.
Oleh
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Industri perbankan berkomitmen untuk terlibat dalam aksi mitigasi perubahan iklim melalui program dan pembiayaan yang mendukung ekonomi berkelanjutan. Di sisi lain, saat ini pemerintah tengah menyusun revisi taksonomi hijau Indonesia di sektor keuangan sebagai bentuk mitigasi perubahan iklim.
Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja mengatakan, ekonomi berkelanjutan dapat tercapai apabila para pemangku kepentingan memiliki pemahaman yang sama tentang dampak dari perubahan iklim. Oleh sebab itu, pihaknya kembali menyelenggarakan acara Indonesia Knowledge Forum (IKF) XII 2023 sebagai wadah pertemuan antarpemangku kepentingan yang membahas mengenai aspek keberlanjutan dan upaya menjaga stabilitas ekonomi jangka panjang.
”Melalui IKF XII 2023, kami bertekad untuk menggali potensi kolaborasi lintas sektor dan inovasi berbasis teknologi digital dalam menghasilkan solusi ramah lingkungan untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan. Selain itu, IKF XII 2023 diharapkan tidak hanya akan membawa perubahan positif bagi pertumbuhan ekonomi, tetapi juga mendukung pelestarian lingkungan,” katanya saat membuka acara IKF XII 2023 di Jakarta, Selasa (10/10/2023).
Dengan mengangkat tema ”Eco-Creation: Empower Sustainability through Partnerships and Digitalization”, acara IKF tersebut diadakan pada 10-11 Oktober 2023 di The Ritz-Carlton Hotel Pacific Place, Jakarta. Selama dua hari, acara tersebut akan menghadirkan sejumlah narasumber, antara lain dari pihak pemerintah, akademisi, dan pelaku bisnis.
Selain program yang berorientasi pada keberlanjutan lingkungan, BCA turut menyalurkan pembiayaan hijau Rp 76 triliun pada triwulan I-2023 atau meningkat 4,9 persen secara secara tahunan. Adapun penyaluran pinjaman paling besar pada sektor sumber daya alam dan penggunaan lahan berkelanjutan sebesar Rp 60,4 triliun, sektor transportasi berkelanjutan mencapai Rp 7 triliun, dan untuk pembiayaan energi terbarukan senilai Rp 2,9 triliun.
Sebagai perbandingan, penyaluran pembiayaan hijau juga dilakukan oleh PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI yang tercatat telah menyalurkan kredit berkelanjutan mencapai Rp 732,3 triliun selama semester I-2023 atau naik 11,3 persen secara tahunan. Dari jumlah tersebut, Rp 652,9 triliun dialokasikan untuk portofolio sosial dan Rp 79,4 triliun merupakan portofolio hijau.
Direktur Kepatuhan BRI A Solichin Lutfiyanto mengatakan, tren peningkatan pembiayaan berkelanjutan ini sejalan dengan komitmen korporasi untuk mengurangi pendanaan sektor yang menghasilkan emisi. Kendati kini penyaluran kredit berkelanjutan masih didominasi oleh aspek sosial, BRI berkomitmen untuk memperbesar portofolio hijau.
Kami bertekad untuk menggali potensi kolaborasi lintas sektor dan inovasi berbasis teknologi digital dalam menghasilkan solusi ramah lingkungan untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan.
”Untuk komitmen, kami siap jangka menengah dan jangka panjang. Saat ini potensi untuk negara seperti Indonesia, profilnya masih dominan di pembiayaan UMKM sehingga BRI akan tetap komit dan fokus pada pembiayaan segmen ini. Saat bersamaan, ke depan kami akan terus memperbesar green portofolio,” ujar Solichin dalam keterangan resminya, Jumat (6/10/2023).
Pengembangan ekosistem keuangan berkelanjutan turut membutuhkan payung hukum dan dukungan infrastruktur. Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan (PKSK) Kementerian Keuangan Adi Budiarso menjelaskan, pengembangan ekosistem tersebut membutuhkan dukungan regulasi yang salah satunya melalui taksonomi hijau.
”Taksonomi dapat memberikan payung hukum terhadap berbagai aktivitas yang mendukung adaptasi perubahan iklim dan pembiayaan dari perubahan iklim. Dengan demikian, intermediasi diharapkan benar-benar bisa secara kredibel dan penggunaan keuangan berkelanjutan akan mendorong inisiatif yang akan bisa digunakan untuk membangun kapasitas nasional supaya bisa lebih hijau,” ujarnya.
Taksonomi hijau merupakan klasifikasi aktivitas ekonomi yang mendukung upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Ketentuan mengenai taksonomi hijau sebagai bentuk keuangan berkelanjutan diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan atau UU P2SK.
Pasal 223 Ayat (1) Poin (d) UU P2SK menyebutkan, Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Bank Indonesia (BI) melakukan koordinasi dalam menyusun taksonomi berkelanjutan yang kemudian akan diatur dalam peraturan pemerintah. Lalu, Pasal 224 Ayat (5) menyebut, ketiga lembaga tersebut akan bersinergi dan membentuk Komite Keuangan Berkelanjutan.
Adi menambahkan, ada tiga hal penting dalam taksonomi hijau sebagaimana diatur dalam UU P2SK tersebut, yakni mendorong para pelaku usaha jasa keuangan untuk menerapkan keuangan berkelanjutan, bentuk dukungan pemerintah dalam keuangan berkelanjutan, serta memperkuat kerja sama antarpemangku kepentingan.
Sebelumnya, Kepala Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menyebut, saat ini pihaknya masih melakukan diskusi dan dialog dengan para pemangku kepentingan sebagai langkah pemutakhiran taksonomi hijau. Pemutakhiran tersebut merupakan tindak lanjut perkembangan gagasan di tingkat nasional, kawasan, dan global, termasuk mengenai transisi energi.
”Di tingkat nasional, disebutkan mengenai perluasan dari definisi keuangan berkelanjutan yang mencakup pembiayaan transisi untuk proyek yang melakukan transformasi dari kegiatan yang menghasilkan emisi karbon tinggi menuju kegiatan yang ramah lingkungan. Sementara di tingkat kawasan, ASEAN baru saja merevisi dan menerbitkan ASEAN Taxonomy on Sustainable Finance versi II,” ujarnya saat menyampaikan Hasil Rapat Dewan Komisioner Bulanan OJK September 2023, Senin (9/10/2023).
Perkembangan terkini mengenai taksonomi hijau dan transisi energi di berbagai tingkatan tersebut kemudian menjadi pertimbangan untuk merevisi taksonomi hijau Indonesia. Sebelumnya, pemerintah telah menerbitkan Taksonomi Hijau Indonesia 1.0 pada tahun 2022.
Mahendra menambahkan, transisi energi perlu mempertimbangkan aspek kepastian dan kestabilan pasokan energi serta kesanggupan masyarakat dalam mengakses energi dan ketersediaan jaringan atau disebut transisi berkeadilan (fair and just transition).
”Dalam konteks itu, tentu masukan dan tanggapan dari para pemangku kepentingan akan sangat membantu dalam pemutakhiran taksonomi tersebut. Sesuai dengan amanat UU P2SK dan berbagai kajian di berbagai kawasan, namanya (taksonomi hijau) akan diganti menjadi taksonomi berkelanjutan Indonesia,” ujarnya.