Pekerja dan Perusahaan Perlu Siapkan Mitigasi Suhu Panas
Menurut ILO, dengan asumsi kenaikan suhu global sebesar 1,5 °C pada akhir abad ke-21, diperkirakan pada tahun 2030, sekitar 2,2 persen dari total jam kerja akan hilang karena tekanan panas akibat kerja secara global.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tekanan suhu panas akibat perubahan iklim yang masih berlangsung sampai sekarang dikhawatirkan akan berefek ke produktivitas pekerja dan ekonomi. Kendati masyarakat Indonesia relatif terbiasa dengan cuaca panas, panas tetap harus diwaspadai sejak dini sebagai risiko kerja. Langkah mengendalikan dampak suhu panas perlu disiapkan oleh individu pekerja dan perusahaan pemberi kerja.
Programme Officer International Labour Organization (ILO) Country Office for Indonesia and Timor Leste, Abdul Hakim mengatakan, bagi warga yang hidup di wilayah nontropis, mereka cenderung membutuhkan adaptasi yang lebih sulit saat menghadapi suhu panas seperti yang tengah terjadi saat ini. Sementara warga Indonesia relatif terbiasa dengan cuaca panas sehingga adaptasi yang dibutuhkan lebih mudah.
”Namun, terlepas dari sulit atau mudah beradaptasi, panas adalah bahaya. Risiko panas yang dihadapi dunia kerja akan lebih besar jika kemampuan beradaptasi lemah dan upaya untuk mengurangi risiko tidak dilakukan sejak dini,” ujar dia, saat dihubungi Selasa (10/10/2023), di Jakarta.
Sejak pertengahan tahun 2023, beberapa media internasional merilis tulisan mengenai efek tekanan suhu panas ekstrem kepada pekerja. The New York Times, pada Juni 2023, menulis mengenai pekerja pingsan dan meninggal di Italia karena cuaca panas, pekerja informal di India menderita akibat paparan sinar matahari tiada henti, dan pekerja parkir di Dubai tidak bisa lagi bekerja pada tengah hari.
Menurut Abdul, suhu panas sebenarnya telah lama dipahami sebagai salah satu risiko kerja oleh ILO. ILO telah merilis laporan riset keterkaitan suhu panas bumi dengan produktivitas kerja dan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2019. Laporan riset itu diberi tajuk ”Working on a Warmer Planet: The Impact of Heat Stress on Labour Productivity and Decent Work”.
Sesuai laporan itu, diperkirakan 1,4 persen dari total jam kerja hilang di seluruh dunia pada tahun 1995 akibat tingkat panas yang tinggi atau setara dengan sekitar 35 juta pekerjaan penuh waktu. Kerugian PDB saat itu diperkirakan mencapai sekitar 280 miliar dollar AS berdasarkan paritas daya beli (PPP). Perkiraan yang diperoleh dengan menggabungkan kenaikan suhu global sebesar 1,5°C pada akhir abad ke-21 dengan tren angkatan kerja menunjukkan bahwa, pada tahun 2030, ketika suhu global diperkirakan akan meningkat sekitar 1,3°C, maka hilangnya jam kerja akan meningkat menjadi 2,2 persen atau setara hilangnya produktivitas yang setara dengan 80 juta pekerjaan penuh waktu. Kerugian dalam hal moneter berdasarkan PPP diperkirakan berjumlah 2.400 miliar dollar AS.
Negara-negara berpendapatan menengah ke bawah dan rendah akan terkena dampak paling parah, masing-masing kehilangan 4 dan 1,5 persen PDB mereka pada 2030.
Asia dan Pasifik memiliki beberapa wilayah yang berisiko tinggi terkena paparan panas. Wilayah ini juga memiliki populasi yang besar dan tengah mengalami transformasi struktural yang mengubah komposisi lapangan kerja. Jumlah pekerja konstruksi dan jasa diperkirakan akan meningkat secara signifikan. Meskipun proporsi penduduk yang bekerja di sektor pertanian diperkirakan jauh lebih kecil pada 2030 dibandingkan dengan tahun 2015, sejumlah besar pekerja akan terkena dampaknya. Dengan meningkatnya suhu panas akibat perubahan iklim.
Analisis ILO menunjukkan bahwa sekitar 2 persen dari total jam kerja di Asia dan Pasifik hilang karena tekanan panas pada tahun 1995 atau setara dengan lebih dari 30 juta pekerjaan penuh waktu. Secara signifikan, 83 persen hilangnya produktivitas terkonsentrasi di sektor pertanian. Ke depan, proyeksi ILO menunjukkan bahwa hingga 3,1 persen dari total jam kerja akan hilang akibat tekanan panas pada tahun 2030 atau setara dengan sekitar 62 juta pekerjaan penuh waktu.
Di Indonesia, perkiraan persentase hilangnya jam kerja pada tahun 1995 adalah 2,1 persen. Angka ini diperkirakan akan mencapai 3 persen pada tahun 2030, yang karena besarnya jumlah penduduk di negara ini, berarti hilangnya produktivitas yang setara dengan 4 juta pekerjaan penuh waktu.
Guru Besar Tetap Ilmu Keselamatan dan Kesehatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Doni Hikmat Ramdhan, mengatakan, pajanan tekanan panas bisa menurunkan konsentrasi dan fungsi kognitif. Oleh karena itu, pekerja punya potensi mengalami kecelakaan kerja,” ujarnya. Pengendalian bisa dilakukan secara teknis (engineering)dan administratif yang di antaranya berupa modifikasi jam kerja.
Dewan Penasihat Indonesian Network of Occupational Health and Safety Professionals (Inosphro) Tan Malaka memandang, dari sisi individu ataupun perusahaan pemberi kerja mulai sekarang perlu bekerja sama mengendalikan tekanan suhu panas. Sebagai contoh, individu pekerja perlu menyesuaikan pakaian dan rutin minum air putih supaya terhindar dari dehidrasi. Perusahaan juga harus memberikan lingkungan tempat bekerja yang nyaman dengan ventilasi cukup.
”Pekerja sektor jasa yang terutama informal akan terkena dampak paling signifikan. Misalnya, ojek daring. Pemerintah semestinya ikut membantu pengendalian dampak yang mereka akan rasakan, seperti fasilitas publik tempat berteduh istirahat dan air minum gratis,” kata Tan.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi menceritakan, di kalangan pekerja anggota serikat yang bekerja di pabrik, seperti tekstil, sudah banyak yang mengaku mudah lelah karena suhu panas yang terjadi belakangan. Namun, belum ada anggota yang mengeluh stres (heatstress).
KSPN lantas menyarankan kepada perusahaan untuk melakukan tindakan-tindakan antisipasi dengan menyediakan fasilitas dan pengamanan pelindung pekerja yang lebih ekstra. Misalnya, mengurangi pekerjaan-pekerjaan yang bersifat di luar ruangan, penambahan ventilasi ruangan, fasilitas air minum yang dekat dengan posisi pekerja bekerja, dan jeda istirahat yang cukup.
”Pekerja di pabrik biasanya diminta mengerjakan target berdasarkan pesanan dari pembeli. Jika tenggat penyelesaian target digeser karena untuk antisipasi suhu panas, itu akan menimbulkan pinalti denda,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Profesi Keselamatan Pertambangan Indonesia (APKPI) Ade Kurdiman mengatakan, secara lembaga, APKPI belum menyusun rekomendasi mengantisipasi dampak suhu panas terhadap anggota profesi pertambangan. Sejauh ini, kelelahan pekerja akibat suhu panas masih diintervensi melalui sistem manajemen istirahat.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Forum Quality Health Safety and Enviromental BUMN Konstruksi Agni Syah Sutoyo Putro menjelaskan bahwa di kalangan industri konstruksi tengah membuat standar formulasi penghitungan emisi karbon. Ini sebagai upaya mendukung mengurangi pemanasan global. Dari sisi perlindungan pekerja dari dampak suhu panas, sejauh ini pihaknya baru menerapkan mekanisme pengecekan dehidrasi dan rutin istirahat 10–15 menit di luar jadwal istirahat utama.
Direktur Bina Pemeriksaan Norma Ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Yuli Adiratna, saat dikonfirmasi, mengatakan, secara khusus, kementerian belum mengeluarkan imbauan khusus kepada perusahaan untuk mengantisipasi dampak suhu panas bumi ke tempat kerja. Kemenaker juga belum mendapat laporan dari pengawas mengenai kasus pekerja yang terdampak.
”Kendati demikian, pengawasan K3 (kesehatan dan keselamatan kerja) yang khususnya terkait kerentanan kebakaran, kelelahan, dan dehidrasi pekerja, itu penting ditingkatkan,” ujarnya.