Pelabuhan-pelabuhan di Papua Berlomba Jadi Hub Kawasan Timur Indonesia
Sejumlah pelabuhan di Papua tengah menjalani perbaikan tata kelola terminal peti kemas. Ini membuka peluang pelabuhan tersebut menjadi hub Indonesia timur. Namun lagi-lagi, risiko korupsi bisa menjadi ganjalannya.
Setelah penggabungan empat badan usaha milik negara layanan jasa pelabuhan, berbagai upaya untuk meningkatkan efisiensi bongkar muat barang terus dilakukan. Penggabungan yang dimaksud merupakan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2021 tentang tentang Penggabungan Perusahaan Perseroan (PERSERO) PT Pelabuhan Indonesia I, Perusahaan Perseroan (PERSERO) PT Pelabuhan Indonesia III, dan Perusahaan Perseroan (PERSERO) PT Pelabuhan Indonesia IV Ke Dalam Perusahaan Perseroan (PERSERO) PT Pelabuhan Indonesia II.
Upaya peningkatan efisiensi itu terlihat di antaranya pada dua terminal peti kemas (TPK) di Papua, yakni TPK Jayapura di Papua dan TPK Sorong di Papua Barat Daya yang dikelola PT Pelindo Terminal Petikemas (SPTP). Durasi kapal bersandar semakin singkat. Kuantitas kontainer yang mampu dibongkar-muat juga makin meningkat.
Data TPK Jayapura menunjukkan, jumlah kontainer yang dibongkar dan muat di TPK Jayapura dalam satu jam (box ship hour/BSH) naik lebih dari dua kali lipat setahun terakhir. Jika pada periode Januari-Agustus 2022, hanya 13 kontainer per jam, pada periode yang sama tahun ini naik menjadi 37 kontainer per jam.
Baca juga: Ketiadaan Industri Hambat Terminal Peti Kemas Jayapura
Sementara, jumlah kontainer yang dapat dibongkar/muat oleh mesin derek (crane) atau box crane hour atau BCHjuga naik. Pada periode Januari-Agustus 2022, BCH sebesar 25 kontainer per jam. Periode yang sama pada 2023, angkanya naik tipis menjadi 29 kontainer per jam.
Barang-barang yang dibongkar kemudian disalurkan ke 14 kabupaten dan 1 kota di empat provinsi, yakni Provinsi Papua, Papua Pegunungan, Papua Tengah, serta Papua Selatan. Jenis barang yang masuk berupa kebutuhan pokok, bahan material, dan kendaraan.
Kepala TPK Jayapura Welta Selfie pada Senin (2/10/2023) mengatakan, barang-barang masuk ke Provinsi Papua masih bersifat konsumtif. Alhasil, pertumbuhan jumlah penduduk akan diikuti pula oleh peningkatan tingkat konsumsi masyarakat.
Kondisi serupa terjadi di TPK Sorong. Sebelum penggabungan, angka BSH hanya 17 kontainer per jam. Namun kini, angkanya rata-rata 25 kontainer per jam. Durasi kapal bersandar (port stay) juga terpangkas, dari 29 jam menjadi 17 jam.
“Sebelumnya, memang belum ada perencanaan yang dilakukan. Hanya begitu kapal bersandar, kami kerja apa adanya. Belum ada sistem,” kata Kepala TPK Sorong, Herryanto.
Baca juga: Tanpa Industrialisasi, Papua Bergantung Pengiriman Barang Konsumsi
Sebelumnya, data bongkar-muat kontainer hingga penempatannya masih dilakukan secara manual. Pihak ekspedisi atau agen yang mengurus pengiriman dan penerimaan barang (freight forwarder) tak mendapat data secara langsung. Acapkali, agen harus mencari secara manual letak kontainernya berdasarkan titik koordinat lokasi yang diberikan. Namun, sesampainya di sana, kontainer yang dicari tak sesuai.
Kini, permasalahan-permasalahan teknis itu bisa ditekan. Rata-rata kapal menghabiskan waktu tambat untuk proses bongkar muat selama 15 jam dari sebelumnya mencapai 72 jam.
Perubahan besar-besaran telah dilakukan. Proses bisnis, fasilitas, dan sumber daya manusia diperbaiki. Digitalisasi serta peningkatan kompetensi petugas TPK dilakukan.
Berebut hub
Perbaikan-perbaikan yang dilakukan TPK itu menumbuhkan asa, pelabuhan dapat menjadi hub untuk kawasan Indonesia bagian timur. Proses bongkar-muat yang makin efisien dapat menjadi modal awal pembentukan hub.
Kepala Kantor Kesyahbandaran Otoritas Pelabuhan (KSOP) Sorong, Jece Julita Piris, Kamis (5/10/2023), mengatakan, TPK Sorong berpotensi jadi hub untuk kawasan Indonesia bagian timur. Sebab, setidaknya ada 16 kapal yang bersandar dalam sebulan yang makin cepat melakukan kegiatan bongkar-muatnya. Apabila pelabuhan itu menjadi hub, kapal-kapal akan terbantu karena aksesnya cepat ke berbagai tempat.
Hal serupa diutarakan KSOP Jayapura Samuel Yabes. Ia menuturkan, pemerintah melalui Kementerian Perhubungan tengah mempersiapkan pelabuhan di Distrik Depapre, Kabupaten Jayapura, Papua sebagai hub kawasan Indonesia bagian timur.
Baca juga: Program Tol Laut Masih Dibayangi Persoalan
Pelabuhan di bawah Kementerian Perhubungan (Kemenhub) itu telah dilewati rute tol laut yang menghubungkan Papua dan Papua Barat. Pelabuhan ini dibangun pada 2015-2020 dengan investasi bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) senilai Rp 175 miliar. Luas lahan yang dibutuhkan mencapai 74 hektar dengan pengerjaan reklamasi sebesar 15,7 hektar, seperti dikutip dari laman Kemenhub.
Berada di Teluk Tanah Merah yang berhadapan dengan Samudera Pasifik, pemerintah pun memilih Depapre menjadi hub Indonesia timur. Harapannya, pelabuhan ini bisa memperluas peluang perdagangan internasional di Asia Pasifik.
Alternatif
Selain itu, Depapre bisa jadi pilihan karena dapat mewadahi seluruh peran pelabuhan, baik untuk bongkar-muat barang maupun angkutan penumpang. Pelabuhan ini nantinya bisa menjadi alternatif Pelabuhan Jayapura lantaran masih banyak wilayah untuk perluasan dan pengembangan.
Meski demikian, proyek untuk sementara terhenti karena terganjal sejumlah persoalan. Salah satunya korupsi pengerjaan jalan di Depapre. Akibatnya, akses jalan masih terganggu sehingga pembangunan kawasan juga belum maksimal.
Baca juga: Masyarakat Berdaya, Manfaatkan Sampah Bernilai Ekonomi
Selain itu, Samuel menambahkan, kawasan industri di daerah Depapre belum terbentuk guna menopang pembangunan sekitarnya. Pemerintah daerah (pemda) harus ikut berpartisipasi untuk menciptakan kawasan itu agar mendukung muatan balik kontainer yang kosong, saat kembali ke pelabuhan awal.
Ketiadaan industri di Jayapura mengakibatkan ketimpangan antara barang yang datang (bongkar) dan barang keluar (muat). Mayoritas barang-barang yang dikirim hanya untuk konsumsi masyarakat, sehingga kontainer yang dibawa ke pelabuhan awal kosong. Biaya yang dikeluarkan pun makin tinggi untuk menutup pengeluaran tersebut.
Selama ini, kapal kembali dengan membawa kontainer-kontainer berisi bahan baku dan setengah jadi, antara lain minyak kelapa sawit (CPO), biji buah kelapa sawit (kernel), dan kayu. Dalam sekali operasi pengiriman (call), kontainer dari luar Jayapura dapat membawa hingga 100 persen logistik. Sebaliknya, hanya seperlima kontainer yang terisi ketika kembali ke pelabuhan semula (Kompas.id, 3/10/2023).
Menurut Samuel, Depapre menghubungkan beberapa kabupaten dan kota di kawasan Papua. Namun, pelabuhan tersebut perlu didukung dengan akses fasilitas, terutama jalan.
“Kalau akses jalan enggak baik, biaya logistik tinggi karena jalan rusak. Orang juga enggak mau. (Truk) kontainer juga enggak bisa lewat kalau elevasi tinggi. Ini butuh biaya, anggaran besar,” ujarnya.
Baca juga: Ketegasan Aturan Tol Laut Dibutuhkan untuk Tekan Disparitas Harga
Secara geografis, Depapre dan Jayapura berjarak sekitar 61 kilometer. Bandara Sentani ada di antara kedua wilayah ini. Dari bandara, jarak ke Depapre lebih-kurang 27 km. Namun, perjalanan darat menghabiskan waktu lebih dari 1,5 jam karena kondisi jalan yang rusak parah. Kondisi ini berbeda dengan TPK Jayapura yang posisinya dekat dengan pusat pemerintahan, sehingga akses logistik pun lebih mudah.
Ketika masalah-masalah itu diperbaiki, Pelabuhan Depapre diarahkan menjadi hub besar untuk kawasan Asia Pasifik, bukan hanya Indonesia bagian timur. Depapre bisa menjadi pintu belakang, jika dilihat dari arah barat. Sebaliknya, kawasan itu bisa menjadi gerbang depan di Asia Pasifik.
Arah pembangunan hub
Indonesia mampu membangun hub pelabuhan regional. Namun, beberapa tantangan perlu dituntaskan agar pelabuhan yang dibangun bisa berperan optimal.
Menurut pengamat kapal dan pelabuhan dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Raja Oloan Saut Gurning, persyaratan konektivitas dari seluruh terminal yang diikuti fasilitas, kinerja, serta permintaan kargo perlu terpenuhi.
Untuk Asia Pasifik, orientasi pengiriman akan mengarah ke Papua Nugini, Asia Pasifik, serta Filipina.
Untuk Asia Pasifik, ia memperkirakan, orientasi pengiriman akan mengarah ke Papua Nugini, Asia Pasifik, serta Filipina. Namun, kawasan Pasifik, seperti Vanuatu, Tonga, serta Papua Nugini memiliki permintaan barang yang masih rendah.
Ia memperkirakan, total permintaan peti kemas dari negara-negara tersebut hanya sebesar 200 ribu kontainer ukuran 20 kaki atau 6,1 meter (TEUs) per tahun. Apabila ditambah sejumlah daerah kawasan Papua, maka totalnya hanya sebesar 300 ribu TEUs per tahun. Padahal memasuki kawasan Eropa dan Asia Timur, jumlah peti kemas tahunan bisa tembus 5-10 juta TEUs.
“Dari sisi geografis, ya Sorong (sesuai jadi hub). Tapi untuk dapat kekuatan geografis itu harus comparable dengan Singapura. Jadi fasilitas, regulasi, kecepatan, dan keamanan harus usaha besar,” ujar Saut saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (10/10/2023).
Persoalan tanah adat masih jadi tantangan yang dihadapi untuk daerah-daerah Papua. Hal senada disampaikan Penjabat Walikota Jayapura Frans Pekey. Ujung-ujungnya, iklim investasi pun tak tumbuh optimal.
Ia meyakini Sorong berpeluang jadi hub regional sebab menghubungkan Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Papua bagian Selatan.
Meski demikian, ia meyakini Sorong berpeluang jadi hub regional sebab menghubungkan Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Papua bagian Selatan. Hal itu tak menutup kemungkinan, berkaitan pula dengan Australia serta Selandia Baru. Posisinya pas untuk menghubungkan rute dalam dan luar negeri.
“Jadi memang persoalan di Papua ini selalu urusan legalitas dari tanah tak mudah. Jadi ada hukum adat, sehingga punya pendekatan dan perspektif sendiri untuk menggerakan wilayah hinterland,” kata Saut yang juga pengajar bisnis maritim.
Nihil kapal kargo besar
Guna memenuhi standar sebagai hub, lokasi harus diperhatikan. Selain itu, fasilitas infrastruktur, konektivitas, platform bisnis yang baik dan benar, serta menguntungkan jasa pelayaran serta pelabuhan untuk pemilik kargo perlu dipertimbangkan. Dari sisi kebijakan perdagangan, hukum, perbankan, dan asuransi juga tak kalah penting.
Sementara itu, Indonesia belum memiliki kapal kargo yang besar dan memadahi. Maksimal hanya berkapasitas 10.000 TEUs. Padahal, kapal-kapal asing dapat mencapai sekitar 30 ribu TEUs. Alhasil, panjang dermaga serta kedalaman laut untuk bersandar masih perlu diperhatikan.
Baca juga: Kedepankan Dialog untuk Atasi Konflik di Papua
Untuk menjawab persoalan-persoalan ini, Saut mendorong Pelindo berinvestasi, serta berorientasi untuk memanfaatkan kargo-kargo internasional demi kepentingan Indonesia. Cara lain, pemerintah mendukung pula dengan memberi stimulus. Di antaranya, menurunkan beban pajak-pajak terkait seperti pajak bahan bakar kapal, terminal, pelayaran, dan galangan kapal.
Pemerintah tentu tak dapat bergerak sendiri. Pihak swasta, seperti jasa pelayaran PT Salam Pacific Indonesia Lines (Spil), Tanto Intim Line, serta PT Temas Tbk, berkepentingan agar iklim pelayaran naik kelas dari ukuran kapal short haul (jarak pendek) menjadi medium haul (jarak sedang).
“Upaya pemerintah (mengurangi pajak) kalau dikonsolidasikan memang ada pengorbanan (potensi penerimaan yang hilang), tapi imbal baliknya bisa dapat lapangan kerja dan investasi. Ini harus dikaji, harus ada kebijakan yang total. (Masalah) ini memang kompleks, sehingga (penanganan) harus seragam,” kata Saut.