Penyiapan Pelabuhan Depapre Jadi Hub Indonesia Timur Masih Terganjal Lahan
Pelabuhan Depapre, Jayapura, Papua, diharapkan bisa menjadi hub di kawasan Indonesia bagian timur. Namun, kondisi jalan yang rusak serta isu lahan adat menjadi tantangan pengembangan kawasan.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana Kementerian Perhubungan terhadap Pelabuhan Depapre di Jayapura, Papua, menjadi hub di kawasan Indonesia timur masih terganjal persoalan lahan, akses masuk, hingga pengelolaan. Meskipun pelabuhan ini sudah bisa digunakan, setiap bulan hanya 1-2 kapal yang bersandar.
Berdasarkan Rencana Induk Pelabuhan Nasional Nomor KP 432 Tahun 2017, Pelabuhan Depapre merupakan pelabuhan pengumpul. Kapal eksisting terbesar yang dapat bersandar di pelabuhan tersebut adalah KM Logistik Nusantara dengan bobot 3.050 gros ton (GT). Pelabuhan direncanakan dapat menampung kapal hingga seberat 10.000 tonase bobot mati (DWT) atau berapa besar kapal terbenam di air saat muatan penuh.
Direktur Kepelabuhanan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan (Kemenhub) M Mashyud, saat dihubungi pada Kamis (12/10/2023), mengatakan, saat ini aset tanah Pelabuhan Depapre telah bersertifikat atas nama hak pakai Pemda Kabupaten Jayapura. Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Kelas II Jayapura akan berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Jayapura terkait proses hibah lahan itu ke Kemenhub.
Luas aset itu mencapai 24 hektar. Sementara total kebutuhan lahan sekitar 30 hektar dengan tambahan lahan reklamasi. Sejauh ini lahan yang tercatat sebagai aset Kemenhub baru 3,96 hektar.
Selain masalah lahan, akses menuju pelabuhan juga masih sulit. Mashyud mengakui, jalan yang menghubungkan Pelabuhan Depapre dengan Sentani rusak cukup parah. Jarak kedua wilayah tersebut 27 kilometer, tetapi waktu tempuhnya lebih dari 1,5 jam.
Sejauh ini, lanjut Mashyud, rapat koordinasi antara Kemenhub, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) terkait hal itu telah dilakukan. Namun, di lapangan, perbaikan jalan belum terjadi.
Jarak kedua wilayah tersebut 27 kilometer, tetapi waktu tempuhnya lebih dari 1,5 jam.
Perwakilan Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Jayapura, Samuel Yabes, mengatakan, Pelabuhan Depapre belum berjalan optimal karena akses jalan yang rusak. Kondisi topografi wilayah Depapre yang bertebing makin mempersulit akses menuju pelabuhan. Meski demikian, Depapre diuntungkan karena posisinya dekat dengan Bandara Sentani, Jayapura.
Samul mengatakan, pihaknya sudah membangun infratruktur penunjang kepelabuhanan dalam beberapa tahap. Namun, sejauh ini fasilitas bongkar muat memang belum ada.
Kawasan sekitar pelabuhan yang direncanakan untuk kawasan industri juga belum terbangun. Samuel berharap Pemerintah Kabupaten Jayapura ikut berpartisipasi mendorong pembangunan industri di sekitar kawasan Depapre. Sebab, keterbatasan industri akan berakibat pada minimnya produk-produk yang dapat dikirimkan ke luar Papua. Selama ini pengiriman hanya berisi bahan baku atau barang setengah jadi.
”Pelabuhan Depapre harus dihubungkan dengan jalan utama. Kalau akses jalan tidak baik, biaya logistik tinggi karena jalan rusak. Orang juga tidak mau (lewat),” katanya.
Pelabuhan alternatif
Pelabuhan Depapre dipersiapkan menjadi pelabuhan alternatif karena Pelabuhan Jayapura yang saat ini beroperasi memiliki lokasi yang terbatas untuk dikembangkan. Posisi Pelabuhan Jayapura yang berada di tengah kota membuat pelabuhan sulit diperluas karena keterbatasan tempat.
Raja Oloan Saut Gurning, pengamat kapal dan pelabuhan dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, mengatakan, Pelabuhan Depapre sudah mulai digunakan, hanya pemanfaatannya kurang optimal. Lalu lintas kapal masih kurang. Ia memperkirakan hanya ada 1-2 kapal dalam sebulan yang berlabuh di sana karena fasilitas yang belum memadahi akibat dari beberapa persoalan.
Pertama, isu lahan adat kerap dipermasalahkan masyarakat setempat. Jika seseorang memiliki lahan, tetapi tak diikuti status legal yang konkret, ini akan menimbulkan risiko.
”Kalau enggak disetujui masyarakat, lahan bisa dipalang. Aktivitas bisnis bisa berhenti karena tak ada kepastian. Investor juga pikir-pikir ulang kalau seperti itu,” kata Saut.
Situasi ini menghambat potensi investasi.
Adapun problem kedua adalah konektivitas jalan yang masih rusak. Selain itu, manajemen pengelolaan pelabuhan juga masih perlu perbaikan. Selama ini, Dinas Perhubungan Kabupaten Jayapura sebagai operator belum fokus menjadi pemilik jaringan pelayaran kargo. Mereka masih berperan sebagai pengelola aset.
Selain menyelesaikan masalah-masalah itu, pemerintah pusat dan daerah juga perlu bekerja sama untuk mengoptimalkan kargo-kargo besar yang bisa dimanfaatkan untuk merangsang aktivitas di sana. Kargo pertanian, perikanan, dan pariwisata bisa dikembangkan di Depapre. Kendaraan yang memungkinkan diangkut melalui laut pun bisa memanfaatkan pelabuhan ini.