Tahan Guncangan Global, APBN Perkuat Peran sebagai Peredam
Pemerintah memberikan sinyal akan menyalurkan berbagai insentif guna menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi. Ini juga jadi langkah memperkuat peran APBN sebagai ”shock absorber” di tengah guncangan ekonomi global.
JAKARTA, KOMPAS — Peran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai peredam guncangan atau shock absorber diperkuat untuk menahan efek guncangan ekonomi global. Sejumlah insentif fiskal digelontorkan untuk memacu konsumsi dalam negeri yang masih menjadi penopang pertumbuhan ekonomi domestik.
Presiden memberi sinyal bahwa pemerintah akan menelurkan insentif untuk sektor properti, termasuk pembelian rumah murah masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Insentif ditujukan untuk mendongkrak daya beli masyarakat di tengah tren suku bunga tinggi dalam negeri.
”Dalam menjaga momentum ekonomi, kita akan putuskan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan ditanggung pemerintah,” ujar Presiden.
Solusi fiskal diperlukan untuk menjaga konsumsi masyarakat di tengah ketidakpastian perekonomian global.
”Untuk perumahan yang MBR (masyarakat berpenghasilan rendah), masyarakat ekonomi di bawah ini juga akan diberikan bantuan uang administrasi Rp 4 juta ditanggung pemerintah sehingga akan men-trigger ekonomi kita,” lanjutnya.
Presiden menambahkan, solusi fiskal untuk menjaga konsumsi masyarakat diperlukan di tengah ketidakpastian perekonomian global. Terlebih kebijakan suku bunga acuan Bank Sentral AS diperkirakan akan menyebabkan keluarnya aliran modal asing dan dapat memengaruhi perekonomian nasional.
Pemerintah juga dipastikan akan terus bergerak mengantisipasi tantangan ekonomi global yang kian bertambah seiring perubahan iklim, kebijakan ekonomi makro global, hingga kondisi geopolitik yang bisa memicu inflasi global.
”Perang yang satu, Rusia-Ukraina belum jelas kapan selesai. Muncul lagi (konflik) Hamas-Israel. Peristiwa itu membuat khawatir semua negara. Kalau perang meluas ke Lebanon, ke Suriah, ke Iran, itu akan semakin merumitkan masalah ekonomi semua negara karena harga minyak akan naik,” tutur Presiden.
Di tempat yang sama, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, penggunaan APBN sebagai shock absorber diprioritaskan untuk mempertahankan daya beli masyarakat supaya kemiskinan tidak meningkat.
APBN masih memiliki ruang untuk menjaga daya beli masyarakat. Terjaganya konsumsi dalam negeri akan turut menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi domestik yang mayoritas masih ditopang konsumsi dalam negeri.
”APBN mampu menjadi instrumen yang efektif sebagai shock absorber menahan guncangan ketidakpastian dan mempercepat proses pemulihan ekonomi,” ujarnya.
Ekonomi Indonesia mampu tumbuh tinggi pada triwulan II-2023, sebesar 5,17 persen secara tahunan. Dari sisi pengeluaran, kuatnya pertumbuhan ekonomi nasional ditopang oleh konsumsi masyarakat yang tumbuh 5,23 persen dari periode sama tahun sebelumnya.
Daya beli masyarakat terus terjaga dengan tingkat inflasi yang terus menurun. Berbagai kebijakan bantuan sosial kepada masyarakat berpenghasilan rendah, pemberian THR dan gaji ke-13 serta tunjangan profesi guru (TPG), serta kebijakan masa libur Lebaran yang lebih panjang mampu mendorong aktivitas konsumsi masyarakat.
”Kalau kita lihat, dalam tiga tahun terakhir, di tengah suasana yang tidak mudah secara global, APBN selalu disiapkan sebagai shock absorber, tetapi semakin sehat,” kata Febrio.
Febrio memaparkan, defisit APBN di periode awal pandemi Covid-19 pada tahun 2020 berada di level 6,1 persen dari produk domestik bruto (PDB). Gelontoran insentif fiskal untuk mendorong aktivitas ekonomi pada dua tahun berikutnya terbukti memperkecil defisit APBN ke angka 2,38 persen pada 2022.
Memasuki Juni 2023, Kementerian Keuangan melaporkan bahwa defisit APBN tercatat berada di level 2,3 persen PDB, lebih rendah dari asumsi makro tahun 2023, ketika defisit APBN diproyeksi berada di level 2,84 persen.
Sebelumnya, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) menetapkan suku bunga acuan BI naik 25 basis poin menjadi 6 persen. Kenaikan suku bunga ini diperkirakan bakal melemahkan aktivitas ekonomi, utamanya untuk sektor-sektor yang mengandalkan kredit perbankan.
Kendati demikian, Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Royke Tumilar memastikan bahwa industri perbankan tidak akan serta-merta mengerek suku bunga kredit mereka seiring kenaikan tingkat suku bunga acuan BI.
”Perbankan tidak akan semena-mena menaikkan suku bunga kredit. Kami akan melihat situasi dan kondisi debitor dan melakukan analisis. Kalau semena-mena (menaikkan suku bunga kredit), malah bisa macet,” ujar Royke.
Dia memproyeksikan, apabila kondisi ekonomi semakin membaik, perbankan baru akan mengerek suku bunga kreditnya pada triwulan I-2024. Keputusan ini juga akan bergantung pada tren suku bunga global. Jika suku bunga global masih tinggi, maka mau tidak mau harus ada penyesuaian yang dilakukan bank domestik.
Dengan kenaikan imbal hasil surat utang AS yang begitu cepat dan penguatan nilai tukar dollar AS, maka BI perlu menambah amunisi dengan menaikkan suku bunga kebijakan.
”Tren suku bunga tinggi ini terlihat akan cukup panjang. Masyarakat sudah tahu bahwa tren sedang naik. Saya rasa ini bukan suatu masalah di banyak sektor karena antisipasi sudah dimulai,” ujar Royke.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Firman Mochtar mengatakan, dasar bagi keputusan otoritas moneter tersebut adalah untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah.
”Dengan kenaikan imbal hasil surat utang AS yang begitu cepat dan penguatan nilai tukar dollar AS, maka BI perlumenambah amunisi dengan menaikkan suku bunga kebijakan," kata Firman.
Inflasi yang masih dalam tren kenaikan turut membuat otoritas moneter negara-negara maju tetap menjaga suku bunga acuan berada di level tinggi selama beberapa waktu ke depan.
”Tensi ketegangan geopolitik yang meningkat. Ketegangan geopolitik ini menyebabkan harga minyak dan pangan tinggi sehingga akan memperlambat penurunan inflasi global,” ujar Firman.