Menahan Kenaikan Harga dari Pukulan Dollar AS
Bagi Anda yang berencana membeli barang impor dan barang produksi dalam negeri berbahan baku impor, bersiaplah untuk menghadapi kemungkinan kenaikan harga dalam waktu dekat.
Buk! Bruce Lee melancarkan sebuah tendangan keras dan dua orang lawannya pun terjatuh bergelimpangan. Itulah sepotong adegan dalam salah satu film legendarisnya berjudul Enter The Dragon yang dirilis pada 1973.
Agaknya adegan tendangan itu mirip dengan kenaikan nilai tukar mata uang dollar AS yang berdampak pada perekonomian Indonesia saat ini. Peristiwa menguatnya mata uang dollar AS terhadap nilai tukar rupiah, efeknya bisa menjalar ke berbagai hal. Ibarat Bruce Lee yang cukup melancarkan sebuah tendangan saja, bisa menjatuhkan dua lawannya sekaligus.
Mengutip kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tergerus cukup dalam sepanjang Oktober ini. Pada 2 Oktober 2023 atau awal perdagangan bulan ini, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS berada pada posisi Rp 15.519. Adapun pada 23 Oktober 2023, rupiah terdepresiasi 2,73 persen menjadi Rp 15.943.
Dampak pertama pukulan itu adalah adanya potensi kenaikan harga barang-barang impor yang langsung digunakan atau dinikmati konsumen. Harga barang impor itu dari negara asalnya sejatinya sama saja. Namun, karena harga dollar AS menjadi lebih mahal, maka harga barang itu ikut terkerek naik.
Mengutip data Badan Pusat Statistik, pada periode Januari-September 2023, total nilai impor barang konsumsi mencapai 15,66 miliar dollar AS, meningkat 4,74 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Harga barang yang biasanya langsung terkerek naik adalah barang-barang yang langsung didatangkan dari negera lain yang masih minim subsitusinya di dalam negeri. Barang-barang itu antara lain peralatan elektronik, komputer, dan ponsel.
Bagi Anda yang berencana membeli barang-barang ini, bersiaplah untuk menghadapi kemungkinan kenaikan harga dalam waktu dekat. Biasanya toko atau pedagang akan menghabis stok lama impor dengan harga dollar AS sebelumnya. Adapun barang-barang yang baru diimpor dengan harga dollar AS yang lebih tinggi, akan turut meningkatkan harga jual barang itu.
Tak hanya barang-barang impor yang berpotensi mengalami kenaikan harga, tetapi juga barang buatan manufaktur dalam negeri. Penyebabnya adalah industri manufaktur dalam negeri saat ini masih bergantung pada bahan baku impor.
Baca juga: Depresiasi Rupiah Mulai Senggol Manufaktur
Hal ini tecermin dari data BPS yang menyebutkan, pada periode Januari-September 2023, impor bahan baku baku/penolong mencapai 120,00 miliar dollar AS atau 72,95 persen dari total impor. Adapun impor barang modal mencapai 28,84 miliar dollar AS atau 17,53 persen dari total impor.
Bisa jadi tempe goreng dan tahu goreng kesukaan Anda pun bakal naik harganya karena bahan baku kedua produk itu, yakni kedelai, masih impor. BPS mencatat, nilai impor kedelai pada 2022 mencapai 1,62 miliar dollar AS, naik dari tahun sebelumnya yang sebesar 1,48 miliar dollar AS.
Depresiasi rupiah membuat pelaku usaha harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli bahan baku tersebut. Kenaikan harga bahan baku ini akan mengerek ongkos produksi dunia usaha. Pada akhirnya, hal itu akan ditransmisikan menjadi kenaikan harga jual kepada konsumen. Inilah pukulan kedua yang ditimbulkan dari kenaikan harga dollar AS.
Bisa jadi tempe goreng dan tahu goreng kesukaan Anda pun bakal naik harganya karena bahan baku kedua produk itu, yakni kedelai, masih impor.
Kedua pukulan inilah yang dikenal dengan istilah inflasi impor (imported inflation) atau kenaikan harga-harga barang impor dipicu oleh kenaikan nilai tukar dollar AS. Inflasi impor ini pun bisa ikut berkontribusi mengerek inflasi secara keseluruhan. Padahal, selama ini Indonesia berhasil mengendalikan laju inflasi. Sampai dengan September 2023, inflasi umum 2,28 secara tahunan. Angka ini berada dalam rentang target pengendalian inflasi pemerintah dan Bank Indonesia, yakni 2-4 persen.
Potensi lonjakan inflasi ini bisa menggerus daya beli masyarakat. Apalagi menjelang tahun pemilu, isu inflasi dan kenaikan nilai tukar dollar AS itu tergolong sensitif dan bisa menciptakan gejolak.
Menguatnya nilai tukar dollar AS ini sejatinya merupakan fenomena global. Artinya, bukan nilai tukar rupiah yang sedang melemah sendirian, melainkan mata uang sebagain besar dunia juga sedang melemah dibandingkan dollar AS.
Sangat kuatnya dollar AS ini memberikan tekanan depresiasi mata uang hampir seluruh mata uang dunia, seperti yen Jepang, dollar Australia, dan euro yang melemah masing-masing 12,44 persen, 6,61 persen, dan 1,40 persen sejak awal tahun hingga 18 Oktober 2023. Mata uang negara di Asia Tenggara seperti ringgit Malaysia, baht Thailand, dan peso Filipina juga terdepresiasi masing-masing 7,23 persen, 4,64 persen, dan 1,73 persen dibandingkan awal tahun.
Dalam periode yang sama, dengan langkah-langkah stabilisasi yang ditempuh Bank Indonesia, nilai tukar rupiah yang terdepresiasi 1,03 persen, relatif lebih baik dibandingkan depresiasi mata uang pada sejumlah negara baik di regional maupun global tersebut.
Komoditas
Mata uang dollar AS itu tak berbeda dibandingkan barang komoditas lainnya. Ada tarikan permintaan dan pasokan yang memengaruhi harganya. Menguatnya nilai tukar dollar AS dibandingkan rupiah di Indonesia tak lain karena pasokan dollar AS di pasar dalam negeri ini berkurang sementara permintaan tetap. Sesuai hukum ekonomi, maka harganya pun jadi naik.
Berkurangnya pasokan dollar AS di dalam negeri terjadi akibat arus modal keluar (capital outflow)yang kembali ke AS. Modal keluar itu dipicu meningkatnya ketidakpastian global akibat berbagai faktor mulai dari ketegangan geopolitik di berbagai kawasan dunia yang ikut menyeret potensi inflasi energi dan pangan dunia. Di tengah ketidakpastian itu, investor dunia berpikir lebih aman menyimpan dananya di AS ketimbang di negara berkembang, termasuk Indonesia. Inilah yang membuat pasokan dollar AS di Indonesia kempis dan lari kembali ke AS sehingga nilai tukar dollar pun menguat.
BI sebagai otoritas moneter sudah sangat memahami fenomena ini. Otoritas moneter Indonesia pun sudah menyiapkan berbagai jurus untuk meredam pukulan dollar AS. Pertama, BI sudah menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin pada Rapat Dewan Gubernur BI Oktober sehingga suku bunga acuan pada posisi 6,00 persen. Ini diharapkan bisa menahan arus modal keluar dari dalam negeri
Jurus lainnya antara lain bersiap melakukan intervensi menggelontorkan dollar AS di pasar keuangan. Posisi cadangan devisa Indonesia sampai akhir September 2023 tercatat 134,9 miliar dollar AS, dinilai cukup untuk menjaga stabilitas nilai tukar.
BI juga sudah mengeluarkan berbagai instrumen moneter untuk menarik pasokan dollar AS melalui term deposit valas devisa hasil ekspor (DHE). Selain itu, BI juga memperkuat operasi moneter untuk memperdalam pasar keuangan dengan instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI), dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI).
Mari kita lihat, sejauh mana aneka kebijakan itu bisa meredam pukulan kenaikan dollar AS.
Baca juga: Faktor Eksternal Terus Lemahkan Rupiah, Ekonomi Stabil