Depresiasi Rupiah dan Lonjakan Harga Minyak Bisa Bikin Subsidi Energi Bengkak
Depresiasi rupiah terhadap dollar AS berisiko membuat subsidi dan kompensasi energi tahun ini membengkak. Oleh sebab itu, stabilisasi rupiah dan pengendalian konsumsi jadi perhatian pemerintah.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berdasarkan kalkulasi Kementerian Keuangan, kenaikan harga minyak mentah dunia masih berada dalam koridor skenario Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Namun, pemerintah tetap mengantisipasi agar kombinasi antara tren kenaikan harga minyak dunia dan depresiasi nilai tukar rupiah tidak membebani keuangan negara.
Berdasarkan data Trading Economics, harga minyak global pada pertengahan tahun ini kembali merangkak naik. Untuk jenis minyak mentah Brent, harganya berangsur naik dari sekitar 70 dollar AS per barel menjadi di atas 80 dollar AS per barel pada kurun Juli-Agustus 2023.
Pada awal September harganya kembali meningkat hingga lebih dari 90 dollar AS per barel. Puncaknya pada 19 September, menyentuh angka 94 dollar AS per barel. Kemudian, harga turun sekitar 89 dollar AS per barel pada 25 Oktober 2023.
Sampai saat ini pergerakan harga minyak masih berada dalam koridor asumsi ekonomi makro.
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata mengatakan, kenaikan harga minyak mentah dunia, dampak dari ketegangan geopolitik di Timur Tengah, masih berada dalam estimasi skenario harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP). ”Sampai saat ini pergerakan harga minyak masih berada dalam koridor asumsi ekonomi makro. Mudah-mudahan nilai minyak dunia tidak melonjak terlalu tinggi,” ujar Isa di Jakarta, Kamis (26/10/2023).
Harga minyak mentah Indonesia hingga September 2023 yang pemerintah gunakan secara rata-rata masih sebesar 77,7 dollar AS per barel, jauh lebih rendah dari asumsi APBN 2023 yang mencapai 90 dollar AS per barel. Untuk itu, dari sisi ini, Kementerian Keuangan, menurut dia, belum melihat akan terjadi lonjakan subsidi dan kompensasi bahan bakar minyak.
”Tapi, kalau kita tidak kendalikan, lebih kemungkinan akan ada di atas (alokasi). Jadi, kemungkinan kenaikan subsidi dan kompensasi terutama karena depresiasi rupiah. Itu yang perlu kita waspadai,” ucap Isa.
Realisasi belanja subsidi dan kompensasi untuk bahan bakar minyak (BBM) hingga September 2023 telah mencapai Rp 95,4 triliun. Rinciannya, Rp 10,6 triliun per bulan untuk total volume yang sudah sebanyak 11,79 juta kiloliter BBM bersubsidi dan kompensasinya untuk 11,48 juta kiloliter yang sudah dibayarkan.
Sementara itu, subsidi elpiji 3 kilogram total sebesar Rp 46,7 triliun. Subsidi bulanan senilai Rp 5,2 triliun dengan total volume 5,4 juta metrik ton. Subsidi dan kompensasi listrik telah mencapai Rp 77,9 triliun dengan nilai per bulan Rp 8,7 triliun untuk 39,5 juta pelanggan dalam bentuk subsidi dan dalam bentuk kompensasi 48,2 juta.
Dengan demikian, total subsidi dan kompensasi energi yang telah APBN biayai sebesar Rp 219,8 triliun. Sebagaimana diketahui, alokasi anggaran untuk kebutuhan subsidi dan kompensasi energi sepanjang tahun ini Rp 336,7 triliun, terdiri dari nilai subsidi Rp 210,7 triliun dan kompensasi Rp 126 triliun.
Sebelumnya dalam konferensi pers APBN Kita, Rabu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui bahwa pemerintah tengah bersiap menghadapi tekanan subsidi energi, khususnya BBM, akibat tekanan lonjakan kurs nilai tukar dollar AS terhadap rupiah. Ia menjelaskan, tekanan nilai tukar rupiah terhadap dolalr AS itu akan memengaruhi pembengkakan subsidi dan kompensasi BBM, karena besarannya sudah jauh di atas asumsi APBN 2023.
Asumsi nilai tukar rupiah pada APBN 2023 adalah Rp 14.800 per dollar AS. Sementara realisasi kurs rupiah sepanjang tahun berjalan menurut catatan Kementerian Keuangan telah mencapai Rp 15.171 per dollar AS. Sri Mulyani menekankan pentingnya pengendalian konsumsi BBM bersubsidi supaya tekanan biaya subsidi yang harus pemerintah kucurkan dari APBN untuk subsidi dan kompensasi bisa dikendalikan di tengah tren pelemahan kurs saat ini.
”Meskipun sekarang kurs nilai tukar Rp 15.800 (per dollar AS), average dari awal tahun sampai sekarang Rp 15.171. Jadi, nanti kebutuhan subsidi kompensasi dihitungnya berdasarkan tadi realisasi per bulannya yang nanti diaudit BPKP. Selain itu, volume juga perlu dikendalikan,” kata Sri Mulyani.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto menuturkan, kenaikan harga minyak mentah sebenarnya membawa keuntungan atau windfall profit di sisi hulu. Namun, hal tersebut juga bisa menjadi beban di sisi hilir karena Indonesia masih mengimpor bensin ataupun minyak mentah untuk diproses di kilang-kilang yang ada.
”Jadi, dilihat perbandingan windfall profit yang kita dapat dengan (anggaran) subsidi yang harus kita keluarkan. Kalau harga di hilirnya naik, karena ini tahun politik, tidak mungkin menyesuaikan (harga BBM bersubsidi). Kita lihat dulu perbandingannya. Mudah-mudahan masih positif,” ujarnya.
Djoko tak memungkiri ada potensi beban yang dikeluarkan untuk menanggung subsidi akan lebih besar. Sebab, saat ini, produksi minyak dalam negeri menurun dari tahun ke tahun. Sementara tingkat konsumsi BBM di hilir meningkat pascapandemi Covid-19 dan tingkat pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen.
DEN terus mendorong berbagai upaya agar kebergantungan pada impor energi ditekan. ”Kurangi semaksimal mungkin. Kendaraan bensin kita dorong untuk beralih ke kendaraan listrik. Juga dengan mengoptimalkan green fuel (bahan bakar nabati),” kata Djoko.