Rupiah Kembali Tertekan, Keputusan BI Naikkan Suku Bunga Dinilai Tepat
Rupiah kembali mendekati level psikologisnya pada Rp 16.000 per dollar AS. Depresiasi rupiah terjadi akibat dollar AS yang terus menguat.
Oleh
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Nilai tukar rupiah kembali tertekan imbas penguatan dollar Amerika Serikat. Bauran kebijakan Bank Indonesia, termasuk menaikkan tingkat suku bunga acuan menjadi 6 persen, dinilai tepat mengingat rupiah telah mendekati level psikologisnya pada Rp 16.000 terhadap dollar AS.
Mengutip data penutupan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate pada Kamis (26/10/2023), rupiah kembali hampir menyentuh level Rp 16.000, yakni pada level Rp 15.933 per dollar AS atau melemah 0,39 persen dibandingkan penutupan hari sebelumnya. Selama hampir sepekan, mata uang Garuda tersebut bergejolak di kisaran Rp 15.800-Rp 15.900 per dollar AS.
Hal ini terjadi akibat tekanan dari penguatan dollar AS yang turut mengakibatkan nilai tukar banyak negara terdepresiasi. Penguatan dollar AS tersebut tampak dari Indeks Dollar AS (DXY) yang kembali menguat pada level sekitar 106 basis poin. Di sisi lain, imbal hasil obligasi Pemerintah AS (US Tresury) tenor 10 tahun juga berada pada level kisaran 4,9 persen atau kembali mendekati level tertingginya sejak tahun 2007, yakni pada level 5 persen.
Direktur Eksekutif Center of Reform Economics Mohammad Faisal menjelaskan, penguatan dollar AS erat kaitannya dengan kebijakan suku bunga tinggi The Fed dan kenaikan imbal hasil obligasi Pemerintah AS. Dengan demikian, negara-negara maju berlomba-lomba untuk turut menaikkan imbal hasil obligasi sehingga arahnya menuju pengetatan moneter.
”Saat ini, banyak muncul ekspektasi terhadap kenaikan tingkat suku bunga AS karena inflasi dalam negeri (di AS) sedikit meningkat atau masih jauh di atas ekspektasi target sebesar 2 persen. Ini kemudian mendorong tekanan modal menuju AS,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (26/10/2023).
Di sisi lain, ketegangan geopolitik yang terjadi antara Israel dan Hamas semakin meningkatkan risiko ketidakpastian perekonomian global. Hal ini turut membuat persepsi pelaku pasar untuk menempatkan portofolio investasinya ke negara-negara yang relatif stabil dan minim risiko, seperti Amerika Serikat.
Walakin, kondisi makro ekonomi Indonesia dinilai relatif stabil. Posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir September 2023 tercatat 134,9 miliar dolar AS, setara dengan pembiayaan 6,1 bulan impor atau 6,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah sekaligus berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
”Sebenarnya, stabilitas rupiah masih terjaga dengan cadangan devisa yang cukup ample (memadai). Ini (cadangan devisa) bisa menjadi amunisi Bank Indonesia (BI) untuk memerangi depresiasi rupiah. Sedapat mungkin BI akan menjaga nilai tukar rupiah supaya tidak melebihi nilai psikologisnya pada level Rp 16.000,” lanjut Faisal.
Harapannya tentu rupiah berbalik menjadi terapresiasi. Sulit dipastikan kapan itu terjadi, dugaan kami, dalam beberapa minggu ke depan, rupiah akan kembali menguat. (Teuku Riefky)
Pekan lalu, BI memutuskan untuk menaikkan tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 6 persen. Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, kenaikan ini untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah akibat tingginya ketidakpastian global sekaligus sebagai langkah preemptif dan forward looking guna memitigasi lonjakan inflasi barang impor sehingga inflasi tetap terkendali dalam sasaran 2-4 persen pada 2023 dan 1,5-3,5 persen pada 2024 (Kompas, 20/10/2023).
Berdasarkan data BI, transaksi di pasar keuangan domestik pada 16–19 Oktober 2023 tercatat aliran modal asing keluar (netsell) Rp 5,36 triliun. Jumlah tersebut terdiri dari jual neto Rp 3,45 triliun di pasar surat berharga negara (SBN), jual neto Rp 3,01 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp 1,10 triliun di Sekuritas Rupiah BI (SRBI).
Lebih lanjut, secara kalender berjalan hingga 19 Oktober 2023, tercatat modal asing mengalir masuk Rp 51,45 triliun di pasar SBN dan Rp 11,06 triliun di SRBI. Di sisi lain, modal asing mengalir keluar di pasar saham sebesar Rp 7,26 triliun.
Faisal berpendapat, kebijakan BI untuk untuk menjaga stabilitas ekonomi domestik dari rambatan situasi global yang tidak menentu sudahlah tepat. Namun, potensi rupiah akan terus tertekan masih ada kendati sifatnya relatif tidak mengkhawatirkan atau tidak terjadi dalam waktu dekat.
Terkait dengan pelemahan rupiah tersebut, peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Teuku Riefky mengatakan, kondisi pelemahan nilai tukar mata uang tidak hanya dialami oleh Indonesia. Hal ini tidak lepas dari dampak sentimen the Fed yang cenderung akan menaikkan tingkat suku bunga acuannya.
”Kondisi ini terjadi di seluruh dunia akibat sentimen The Fed akan menaikkan suku bunga. Beberapa hari belakangan, rupiah relatif stabil, yang berada di kisaran level Rp 15.800-Rp 15.900. Harapannya tentu rupiah berbalik menjadi terapresiasi. Sulit dipastikan kapan itu terjadi, dugaan kami, dalam beberapa minggu ke depan, rupiah akan kembali menguat,” katanya.
Sependapat dengan Faisal, Riefky berpandangan, keputusan BI menaikkan suku bunga acuan tidaklah keliru. "Memang membutuhkan waktu agar dampak dari bauran kebijakan BI, seperti kenaikan suku bunga acuan, intervensi pasar, dan makroprudensial ini dapat dirasakan atau berjalan efektif. Perlu digarisbawahi, kalau kebijakan tersebut tidak diambil, tekanan rupiah akan semakin besar,” imbuhnya.