AFPI Sebut Penetapan Bunga Pinjaman Daring Bukan Kartel Harga
Sebanyak 44 penyelenggara pinjam-meminjam uang berbasis teknologi ditetapkan oleh KPPU sebagai terlapor atas dugaan pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia menyatakan, penetapan suku bunga maksimal pinjaman daring atau pinjaman online (pinjol) tidak sama dengan kartel penetapan harga yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Kendati demikian, asosiasi akan tetap menghormati proses penyelidikan yang sedang dilakukan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha atas topik penetapan suku bunga pinjaman maksimal.
Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Entjik S Djafar, dalam pernyataan resmi Minggu (29/10/2023) malam, di Jakarta, mengatakan, terkait dugaan potensi pelanggaran persaingan usaha tidak sehat atas topik penetapan bunga pinjaman maksimal, asosiasi akan berkonsultasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator industri keuangan.
Dia mengakui bahwa AFPI telah menerbitkan Pedoman Perilaku Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi secara Bertanggung Jawab yang mengatur penetapan jumlah total bunga, biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya (selain biaya keterlambatan) yang tidak melebihi suku bunga flat 0,8 persen per hari, yang dihitung dari jumlah aktual pinjaman yang diterima oleh penerima pinjaman. Pada tahun 2021, besaran tersebut diatur tidak melebihi 0,4 persen per hari. Setiap anggota AFPI wajib menandatangani suatu pakta integritas yang di dalamnya mewajibkan anggota untuk tunduk pada pedoman yang dibuat asosiasi tersebut.
”Kehadiran industri pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi dilandasi oleh semangat untuk menyediakan layanan pendanaan alternatif bagi individu, usaha mikro, dan masyarakat yang belum tersentuh layanan jasa keuangan. Istilah kami, yaitu masyarakat underserved dan unbanked,” ujarnya.
Entjik mengatakan masih ada kesenjangan kebutuhan pinjaman atau credit gap dengan kemampuan suplai pembiayaan. Kesenjangan ini yang coba diisi oleh perusahaan penyelenggara pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi. Hingga Agustus 2023, perusahaan penyelenggara pinjam-meminjam uang berbasis teknologi terdaftar ataupun berizin sudah menyalurkan Rp 677,51 triliun.
Sebelumnya, pada Jumat (27/10/2023), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengumumkan bahwa telah menaikkan status kasus pinjaman daring ke penyelidikan. Sebanyak 44 penyelenggara pinjam-meminjam uang berbasis teknologi ditetapkan oleh KPPU sebagai terlapor atas dugaan pelanggaran Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Hingga Agustus 2023, perusahaan penyelenggara pinjam-meminjam uang berbasis teknologi terdaftar ataupun berizin sudah menyalurkan Rp 677,51 triliun.
Pada tahap penyelidikan yang ditetapkan melalui rapat komisi 25 Oktober, KPPU memanggil para terlapor, saksi, ataupun ahli yang berkaitan guna mengumpulkan alat bukti yang cukup terkait dugaan pelanggaran. KPPU pun telah selesai melaksanakan penyelidikan awal atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi yang tergabung dalam AFPI.
Dalam keterangan resmi di laman KPPU, KPPU menyatakan, selama proses penyelidikan awal, KPPU telah melakukan permintaan informasi secara tertulis kepada para anggota AFPI, keterangan dari lima perusahaan penyelenggara, dan OJK. Dari proses itu, KPPU menyebut telah memperoleh satu alat bukti dugaan pelanggaran pasal 5 UU No 5/1999 yang berkaitan dengan penetapan harga.
KPPU mengatakan, proses penyelidikan akan berlangsung tertutup selama 60 hari, dan tidak tertutup kemungkinan adanya perpanjangan masa penyelidikan. Selama proses berlangsung, KPPU akan membuktikan apakah perilaku beberapa penyelenggara pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi yang menerapkan suku bunga yang sama tersebut merupakan hasil kesepakatan di antara para penyelenggara atau tidak.
Pemerhati Kebijakan Publik Ahmad Alamsyah Saragih, saat dihubungi Senin (30/10/2023), di Jakarta, berpendapat, industri penyelenggara pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi tumbuh cepat, meski sempat terganggu selama pandemi Covid-19. Meski memiliki kapasitas teknologi digital yang canggih, penyelenggara yang legal biasanya melakukan pendampingan ke warga-warga yang underserved ataupun unbanked sehingga profit mereka tipis.
Rezim KPPU cenderung menyatakan bahwa penetapan harga bersama yang bukan dilakukan oleh regulator dianggap sebagai kartel. Sementara itu, untuk industri penyelenggara pinjam-meminjam uang berbasis teknologi, OJK sebagai regulator menyarankan agar asosiasi menetapkan pedoman yang disepakati. Penetapan bunga pinjaman maksimal dimaksud AFPI bertujuan supaya masyarakat tidak dirugikan. Sementara KPPU melihat, penetapan seperti itu berpotensi kartel dan seharusnya pasar yang menentukan.
Apabila KPPU menaikkan kasus ke tahap penyelidikan, Ahmad mengatakan bahwa biasanya KPPU akan membuka opsi perubahan perilaku. Jika terlapor menyangkal, KPPU akan menaikkan kasus ke tahap persidangan.
Seorang penagih utang dari perusahaan pinjaman daring legal saat mencari alamat seorang debitor pinjaman daring, di wilayah Rorotan, Jakarta Utara, Kamis (14/10/2021).
“Jika ketentuan batas maksimal bunga pinjaman dicabut, OJK yang mengatur. Cuma, saran saya, OJK perlu bijak dalam mengatur. Jangan sampai menetapkan batas atas bunga pinjol yang terlalu rendah sebab investasi yang dikeluarkan oleh penyelenggara pinjam-meminjam termasuk besar, tetapi profitnya tipis,” katanya.
Ahmad menambahkan, keberadaan penyelenggara pinjam-meminjam uang berbasis teknologi bukan rival bagi bank. Keberadaan mereka biasanya menyasar ke masyarakat yang belum terlayani perbankan ataupun lembaga keuangan mapan. Para warga yang sudah mengenal akses keuangan dari penyelenggara pinjam-meminjam biasanya mau membuat rekening bank. Dengan kata lain, penyelenggara pinjam-meminjam uang bersifat pionir.
Peneliti Center of Economic and Law Studies Nailul Huda mengatakan, penyelenggara pinjam-meminjam uang berbasis teknologi biasanya menerapkan bunga bertingkat kepada peminjam. Ini pun berbasis profil risiko yang dimiliki oleh peminjam. Idealnya, memang ada campur tangan regulator untuk menetapkan batas atas bunga pinjaman.