Strategi Capres-Cawapres Tekan Angka Kemiskinan Belum Realistis
Sejumlah kandidat capres-cawapres mulai memberi gagasan baru untuk menekan angka kemiskinan secara drastis. Apakah realistis dan menyentuh akar masalah?
Oleh
AGNES THEODORA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketiga kandidat calon presiden dan wakil presiden memasang target yang ambisius untuk menurunkan angka kemiskinan secara drastis. Cita-cita yang tinggi itu perlu dibuktikan lewat strategi yang realistis dan menyentuh akar masalah, yang sejauh ini belum terlihat dari tawaran program para kandidat.
Ditilik dari dokumen visi dan misi kandidat capres dan cawapres, mereka sama-sama memasang target angka kemiskinan yang ambisius. Pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, misalnya, ingin menekan tingkat kemiskinan dari 9,36 persen (Maret 2023) menjadi 4-5 persen pada 2029, serta menghapus kemiskinan ekstrem pada dua tahun pertama menjabat.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Target yang lebih ambisius dipatok oleh pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, yakni menekan kemiskinan menjadi 2,5 persen pada 2029 dan kemiskinan ekstrem 0 persen. Sementara itu, pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, memasang target yang lebih moderat, yaitu kemiskinan di bawah 6 persen pada 2029 dan kemiskinan ekstrem 0 persen pada 2026.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal, Senin (30/10/2023), mengatakan, semakin ambisius target kemiskinan yang dipasang, tawaran program yang diberikan juga harus sepadan. Sebab, ikhtiar menurunkan angka kemiskinan tidak semudah membalik telapak tangan.
Secara historis, menurut dia, upaya menurunkan angka kemiskinan sebesar 1 persen dalam satu tahun nyaris tidak pernah terjadi. ”Target yang tinggi membutuhkan terobosan dan strategi yang tidak business as usual. Melihat ke belakang, mau menurunkan kemiskinan 1 persen saja biasanya butuh extra effort yang pasti akan membebani APBN,” katanya.
Berdasarkan dokumen visi-misi para kandidat, sudah tampak beberapa gagasan baru untuk menekan tingkat kemiskinan. Sebagai contoh, ide pasangan Anies-Imin untuk membangun ekosistem bank pangan atau food bank sebagai jembatan meredistribusi antara pihak yang surplus makanan dan yang membutuhkan.
Ada pula tawaran ide Ganjar-Mahfud untuk membentuk dana abadi kesejahteraan sosial guna membiayai berbagai macam program perlindungan sosial, termasuk membantu warga difabel, serta program 1 Keluarga Miskin, 1 Sarjana, yang menargetkan setiap keluarga miskin menyekolahkan minimal satu anaknya sampai sarjana untuk memutus rantai kemiskinan.
Kita tidak ingin angka kemiskinan hanya turun sesaat, tetapi rentan naik lagi.
Sementara itu, Prabowo-Gibran minim gagasan baru karena cenderung melanjutkan atau menyempurnakan program pemerintahan Joko Widodo. Pasangan ini melanjutkan program bantuan sosial dan kartu kesejahteraan sosial, serta menambahnya dengan kartu anak sehat.
Ada pula upaya untuk menyempurnakan sistem yang sudah ada sekarang melalui penguatan sinergi program kesejahteraan sosial yang masih tersebar di berbagai kementerian/lembaga, serta jaminan akses air bersih bagi masyarakat miskin.
Faisal menilai, berbagai ide terobosan baru dibutuhkan untuk memberi angin segar dan inovasi baru dalam upaya pengentasan kemiskinan. Namun, semua strategi itu harus bisa menyentuh akar kemiskinan. Tidak sekadar bergantung pada program bantuan sosial belaka, tetapi memberi akses, memberdayakan, dan membangun ekonomi masyarakat miskin dari bawah.
”Kita tidak ingin angka kemiskinan hanya turun sesaat, tetapi rentan naik lagi. Itu terjadi di pendekatan yang sudah-sudah karena bansos biasanya hanya mampu mengangkat seseorang ke atas garis kemiskinan untuk sementara waktu, setelah itu kembali terpeleset ke bawah garis kemiskinan,” katanya.
Menurut dia, setiap kandidat sudah mencoba mengangkat sejumlah akar masalah itu dengan memberi perhatian pada pemberdayaan masyarakat bawah dan penciptaan lapangan kerja. Namun, berbagai strategi yang ditawarkan masih permukaan, belum dielaborasi detail.
Industrialisasi yang krusial untuk mengangkat Indonesia menjadi negara maju pun hanya sekilas diangkat dalam visi-misi ketiga kandidat, tetapi tidak dielaborasi secara mendalam gambaran rencana peta jalannya. ”Paparan strategi yang lebih detail ini yang dinanti,” katanya.
Kesanggupan fiskal
Di sisi lain, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudistira mengatakan, berbagai terobosan program baru yang dimunculkan para kandidat itu perlu realistis. Sebab, target ambisius itu tidak akan bisa dieksekusi dengan baik jika tidak ada terobosan kebijakan dari sisi penerimaan negara.
Apalagi, proyeksi perekonomian dunia yang semakin tidak pasti ke depan akan berpengaruh pada laju penerimaan negara sehingga dibutuhkan ide-ide baru untuk menarik pendapatan.
Jangan sampai target ambisius, program banyak, tetapi itu tidak bisa diapa-apakan karena tersandera kapasitas fiskal.
”Ide program pasti banyak yang muncul menjelang kampanye seperti ini. Namun, problemnya, anggaran dari mana? Jangan sampai target ambisius, program banyak, tetapi itu tidak bisa diapa-apakan karena tersandera kapasitas fiskal,” katanya.
Sayangnya, ia menilai belum ada inovasi kebijakan dan program dari kandidat untuk melakukan reformasi fiskal dan menggenjot penerimaan negara. Ada beberapa ide baru yang muncul, seperti pembentukan Badan Penerimaan Negara yang diusulkan oleh pasangan Prabowo-Gibran dan Anies-Imin. Ada pula ide penganggaran APBN multitahun yang diusulkan Anies-Imin.
Namun, berbagai ide itu masih memicu pro dan kontra. Gagasan membuat penganggaran multitahun, misalnya, malah bisa membuat APBN kaku dan tidak fleksibel menghadapi dinamika ekonomi yang tak pasti.
”Perlu ada program lain yang lebih berani dan radikal, seperti pajak kekayaan untuk wajib pajak superkaya, pajak windfall profit, dan pajak baru lainnya sehingga basis pajak lebih luas,” katanya.
Deputi Ekonomi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, kendati angka kemiskinan saat ini sudah bisa kembali diturunkan ke satu digit dibandingkan kondisi saat pandemi, pemulihannya belum merata di sejumlah daerah.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, masih ada sembilan provinsi yang angka kemiskinannya meningkat lebih tinggi dibandingkan prapandemi. Di sisi lain, masih ada juga 14 provinsi yang tingkat kemiskinan ekstremnya meningkat. ”Hal-hal seperti ini perlu jadi perhatian pemerintah ke depan saat menyusun anggaran dan kebijakan seputar kemiskinan,” katanya.