Luas Wilayah Jadi Tantangan Penyederhanaan Birokrasi
Struktur birokrasi gemuk membuat kementerian, lembaga, ataupun pemerintahan di daerah kesulitan bekerja secara efektif.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA, AGNES THEODORA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyederhanaan birokrasi dan peningkatan kapasitas aparatur sipil negara menjadi prioritas kerja pemerintahan. Langkah tersebut diyakini bisa menjadi pintu masuk meningkatkan daya saing Indonesia sekaligus menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif.
Namun, waktu yang diperlukan untuk penyederhanaan birokrasi tidaklah singkat mengingat luasnya wilayah dan banyaknya jumlah kementerian, lembaga, serta pemerintah daerah di Tanah Air.
Hal tersebut disampaikan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Abdullah Azwar Anas dalam diskusi panel Kompas100 CEO Forum Powered by PLN, di Balikpapan, Kalimantan Timur, Rabu (1/11/2023).
”Indonesia sedang menuju empat besar ekonomi dunia. Namun, untuk sampai ke sana, tentu dibutuhkan birokrasi profesional, pelayanan publik yang berkualitas, dan sumber daya manusia yang kompetitif,” kata Azwar.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi telah melakukan pengalihan 43.000 jabatan fungsional untuk membuat birokrasi lebih efisien.
Ia mengamini bahwa struktur birokrasi yang gemuk membuat kementerian, lembaga, ataupun pemerintahan di daerah kesulitan untuk bekerja secara efektif. Proses bisnis antarsub-urusan dengan sub-urusan lain berpotensi tidak koheren, tidak sinergis, dan tidak bersambungan satu sama lain.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB) telah melakukan penyederhanaan birokrasi yang cukup panjang, salah satunya menyederhanakan 48.680 eselon II dan eselon III sejak Oktober 2022. Selain itu, terdapat pula pengalihan 43.000 jabatan fungsional untuk membuat birokrasi lebih efisien.
Menurut Azwar, hal tersebut tidak mudah dilakukan mengingat banyak struktur pemerintahan di daerah yang dihasilkan dari proses politik. Meski sulit, Kemenpan dan RB tetap menargetkan akan memangkas lagi sedikitnya 1.032 eselon II hingga akhir tahun ini demi penghematan anggaran mencapai Rp 8 triliun.
Dengan demikian, lanjut Azwar, tidak ada lagi daerah yang jumlah penduduknya hanya 200.000 jiwa, tapi jumlah unit penyelenggara pelayanan publik (UPP) sama dengan daerah yang jumlah penduduknya 4 juta jiwa.
”Kalau proses ini bisa berjalan baik, maka harapan dunia usaha akan birokrasi yang lebih transparan dan tidak terperangkap dalam praktik bisnis koruptif bisa dicapai. Iklim investasi juga bisa semakin baik,” ujar Azwar.
Di samping merampingkan struktur birokrasi, Kemenpan dan RB juga berupaya memangkas banyak aplikasi yang bertebaran di banyak kementerian dan lembaga. Azwar meyakini, justru dengan semakin banyaknya aplikasi, maka akan semakin merumitkan pelayanan terhadap masyarakat ataupun dunia usaha.
”Lebih dari 20.000 aplikasi ini sedang kita pangkas dan baru kita audit. Ternyata kita temukan aplikasi tidak hanya tidak nyambung antarkementerian. Bahkan, antardirektorat jenderal di dalam kementerian pun tidak bisa komunikasi,” katanya.
Total saat ini kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah memiliki lebih dari 27.000 aplikasi yang justru memperumit pengusaha saat hendak mengurus perizinan bisnis. Situasi ini diperburuk sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik atau online single submission (OSS).
”Ini nanti kita kelompokkan dan semoga bisa mempermudah dan membantu dunia usaha mendapatkan layanan lebih cepat dan transparan seiring sistem pemerintah berbasis elektronik,” sebut Azwar.
Terkait rumitnya perizinan usaha, Direktur PT Triputra Agro Persada Budiarto Abadi yang hadir dalam diskusi panel menyoroti fakta masih kerap ditemukannya proses perizinan yang tumpang tindih di lapangan. Padahal, secara hukum, Undang-Undang Cipta Kerja telah diterapkan.
”Masalah seperti ini, kan, pastinya dari pemberi izin. Terkadang kita sudah mengantongi izin usaha, tetapi ternyata tumpang tindih. Hal-hal begitu cukup mengganggu dunia usaha,” ujar Budiarto.
Senior Executive President Office Sinarmas Group Sanny Iskandar menyampaikan, berdasarkan hasil 1.500 kuesioner yang disebarkan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) kepada pelaku usaha, ditemukan bahwa mayoritas permasalahan yang dihadapi dunia usaha adalah kepastian hukum. Adapun masalah kedua terbanyak yang dihadapi pengusaha menyangkut ketidaksinkronan peraturan antarkementerian atau lembaga.
Contohnya adalah Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian yang mewajibkan pemerintah menyediakan sarana dan prasarana untuk keperluan industri, di antaranya suplai air baku dan distribusi listrik. Tetapi, di sisi lain, terdapat UU yang berkaitan dengan lingkungan hidup yang membatasi pasokan air baku untuk industri manufaktur.
”Jadi, banyak hal teknis di lapangan yang tidak sinkron dan harmonis. Ini belum lagi bicara antara pemerintah pusat dan daerah. Kenyataan ini yang membuat pelaku usaha khususnya sektor riil sering mengalami hambatan,” kata Sanny.
Terkait peningkatan daya saing sumber daya manusia di Indonesia, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menekankan bahwa birokrasi yang baik dan ramping tidak akan efektif meningkatkan daya saing Indonesia jika tidak disertai dengan penduduk yang sehat.
”Kalau birokrasinya bagus, tapi anaknya stunting semua, pendapatan per kapita tidak akan terungkit naik. Itu sebabnya, untuk mencapai Indonesia Emas 2045, masyarakat Indonesia harus sehat dan pintar,” ujarnya.