Kombinasi program Sungai Linau Landscape dan praktik budi daya sawit yang baik digulirkan di salah satu daerah di Kabupaten Bengkalis, Riau. Kisah sawit ”memakan” hutan dan padi diharapkan tak terjadi lagi.
Oleh
HENDRIYO WIDI
·4 menit baca
Di era Kesultanan Johor (1528-1855), Bengkalis dikenal sebagai negeri jelapang padi. Salah satu kabupaten di Provinsi Riau itu tak hanya menjadi bagian alur perdagangan di Selat Malaka. Daerah tersebut juga memotret kisah tentang sawit ”memakan” padi dan transformasi menuju harmonisasi sawit-padi.
Wilayah Bengkalis mencakup daratan bagian timur Pulau Sumatera dan wilayah kepulauan. Daerah yang kental dengan budaya Melayu tersebut memiliki pelabuhan penghubung ke wilayah Malaysia, Singapura, dan Selat Malaka. Lantaran mejadi bagian alur perdagangan di Selat Malaka, Bengkalis pernah disinggahi pedagang India, Arab, Inggris, Belanda, China, Aceh, Jawa, Jambi, dan Palembang.
Daerah yang berada di hilir Sungai Siak ini pernah menjadi hub perdagangan batubara dan bijih emas di era Perusahaan Hinda Timur Belanda (VOC). Kedua komoditas itu berasal dari sejumlah daerah di hulu Sungai Siak.
Bengkalis juga menjadi tempat dikumpulkannya produk pertanian, seperti gabah dan beras, dari sejumlah daerah di daerah aliran Sungai Siak. Produk pertanian itu kemudian dikirimkan ke Johor dan Malaka. Tidak mengherankan jika Bengkalis disebut sebagai negeri jelapang atau lumbung padi (Bengkalis: Negeri Jelapang Padi, Riza Pahlefi, 2022).
Secuil potret keberlanjutan perdagangan itu tergambar dalam perjalanan dari Kabupaten Siak ke Desa Sungai Linau, Kecamatan Siak Kecil, Kabupaten Bengkalis. Pada Rabu (1/11/2023), kapal pengangkut peti kemas, kayu, dan berbagai barang melintas di bawah Jembatan Tengku Agung Sultanah Latifah, Siak.
Bengkalis menjadi tempat dikumpulkannya produk pertanian, seperti gabah dan beras, dari sejumlah daerah di daerah aliran Sungai Siak. Produk pertanian itu kemudian dikirimkan ke Johor dan Malaka.
Memasuki wilayah perbatasan Siak Bengkalis, tanaman padi di areal-areal persawahan sempit berdampingan dengan kelapa sawit. Begitu menjejakkan kaki di Desa Sungai Linau, hamparan padi itu semakin luas meskipun tak seluas perkebunan sawit yang berada di sekitarnya.
”Dahulu, penduduk setempat berprofesi sebagai petani padi dan karet. Namun, sejak sawit mulai dikenal dan lebih menjanjikan, banyak petani yang mengalihfungsikan sawah dan kebun karet menjadi lahan kelapa sawit. Bahkan, ada juga yang sampai merambah kawasan hutan,” kata fasilitator Proforest untuk Desa Sungai Linau, Gian Fahmi Siregar.
Alih fungsi lahan itu diperkirakan terjadi sejak tahun 1990-an. Hingga kini, alih fungsi lahan itu pelan-pelan dapat terus ditekan. Badan Pusat Statistik Provinsi Riau mencatat, dalam delapan tahun terkahir, lahan sawit di Bengkalis berkurang dari 145.246 hektar menjadi 133.798 hektar.
Sementara itu, luas areal panen padi di Bengkalis masih fluktuatif. Pada 2015, luas panen padi di Bengkalis mencapai 6.014 hektar dari tahun-tahun sebelumnya yang berada di kisaran 2.000-3.000 hektar. Setelah sempat turun menjadi 3.775 hektar pada 2021, luas panen tersebut kembali meningkat menjadi 4.822 hektar pada 2022.
Hal itu membuat Bengkalis belum mampu memenuhi kebutuhan beras secara mandiri. Produksi beras di Bengkalis pada 2022 tercatat 11.667 ton atau baru sekitar 23,81 persen dari total kebutuhan beras yang sekitar 49.000 ton. Hal itu membuat Pemerintah Kabupaten Bengkalis masih mendatangkan beras dari sejumlah daerah lain di Sumatera dan Jawa.
Sungai Linau Landscape
Untuk menjaga keseimbangan sawit dan lingkungan hidup sekaligus menjaga tanaman pangan, termasuk beras, Proforest menggulirkan program Sungai Linau Landscape. Program itu bertujuan untuk mendukung pengembangan penggunaan lahan berbasis masyarakat dan memperkuat penghidupan masyarakat desa. Program itu juga mencakup upaya melindungi hutan dengan nilai konservasi tinggi dan stok karbon tinggi, serta mengurangi emisi gas rumah kaca melalui perlindungan hutan dan gambut.
Menurut Gian, salah satu bentuk dari program tersebut adalah pelatihan praktik pertanian yang baik (good agricultural practices/GAP) bagi penyuluh pertanian dan petani sawit swadaya. Pelatihan itu merupakan hasil kolaborasi dengan Pemkab Bengkalis, PT Musim Mas, Proforest, dan petani sawit swadaya di Kecamatan Siak Kecil, khususnya Desa Sungai Linau.
”Meskipun masih dalam lingkup kecil, langkah itu merupakan upaya menekan pembukaan lahan hutan dan alih fungsi lahan pangan menjadi lahan kelapa sawit,” ujarnya di Bengkalis, Rabu (1/11/2023).
Meskipun masih dalam lingkup kecil, langkah itu merupakan upaya menekan pembukaan lahan hutan dan alih fungsi lahan pangan menjadi lahan kelapa sawit.
Manajer Umum Program dan Proyek Musim Mas Group Robert Nicholls menuturkan, selama ini petani sawit swadaya mengelola sendiri perkebunan kelapa sawit mereka. Mereka tidak terikat dengan perusahaan tertentu sehingga sering kekurangan akses ke praktik pertanian terkini yang diperlukan untuk meningkatkan produktivitas kepala sawit.
Oleh karena itu, sejak 2015, Musim Mas bersama International Finance Corporation (IFC) menggulirkan program pemberdayaan petani sawadaya agar mendapatkan sertifikat sawit berkelanjutan RSPO. Program itu berupa Training for Smallholders dan Training for Trainers di Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimatan Tengah.
Dalam konteks Sungai Linau Landscape, lanjut Nicholls, Musim Mas memberikan pelatihan kepada penyuluh pertanian Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Kecamatan Siak Kecil dan petani sawit mandiri. Baik penyuluh maupun petani sama-sama mendapatkan pelatihan GAP sawit, mulai dari pemilihan benih yang bagus, penanaman, perawatan dan pemupukan, menjaga ekosistem sekitar, hingga pemanenan.
Dengan demikian, petani sawit diharapkan dapat meningkatkan produksi kelapa sawit ketimbang menambah atau membuka lahan kelapa sawit baru. Adapun para penyuluh diharapkan dapat menjadi pendamping petani sawit untuk menerapkan GAP.
”Kami juga menempatkan sejumlah pendamping untuk membantu penyuluh dan memantau perkembangan petani sawit swadaya dalam penerapan GAP,” katanya.
Warji Suhendro (52), petani sawit swadaya Desa Sungai Linau, berharap pelatihan tersebut dapat benar-benar meningkatkan produksi kelapa sawit. Saat ini, tiga hektar lahan sawitnya hanya mampu menghasilkan 1,2 ton ton tandan buah segar (TBS) sawit per bulan. Hal itu lantaran usia tanaman sawitnya sudah tua, yakni sekitar 19-20 tahun.
”Saya mendengar produksi TBS petani sawit sawadaya di daerah lain yang sudah menerapkan GAP meningkat dari sekitar 800 kilogram per hektar per bulan menjadi 1-1,2 ton per hektar per bulan,” kata Warji, yang telah menetap di Desa Sungai Linau sejak 2007.
Kami bisa mendampingi petani sawit swadaya agar fokus untuk meningkatkan produksi kelapa sawit berbasis GAP ketimbang membuka lahan baru atau bahkan mengalihfungsikan sawah menjadi lahan kelapa sawit.
Warji juga berharap agar setelah menerapkan GAP dan mengantongi sertifikat RSPO, perusahaan swasta mau membeli TBS petani sawit swadaya. Selama ini, mayoritas petani sawit swadaya menjual TBS melalui tengkulak sehingga harga yang didapat lebih rendah ketimbang petani petani plasma.
Kepala Unit Pelaksana Teknis BPP Kecamatan Siak Kecil Astud Iponi menuturkan, tugas penyuluh pertanian di desa-desa sangat berat. Mereka tidak hanya mendampingi petani berbagai komoditas pangan, hortikultura, dan perkebunan, tetapi juga kerap mendapatkan penugasan dari instansi-instansi lain.
Namun, sesuai dengan arahan dari pemerintah pusat dan daerah, fokus utama pendampingan adalah di sektor tanaman pangan. Kendati demikian, peningkatan kapasitas penyuluh di bidang GAP kelapa sawit juga diperlukan.
”Kami bisa mendampingi petani sawit swadaya agar fokus untuk meningkatkan produksi kelapa sawit berbasis GAP ketimbang membuka lahan baru atau bahkan mengalihfungsikan sawah menjadi lahan kelapa sawit,” katanya.