Visi-Misi Capres: Ambisi Besar, Uangnya dari Mana?
Ketiga bakal capres dan cawapres menawarkan kebijakan baru dan target ambisius. Janji-janji itu tidak diimbangi strategi jitu meningkatkan penerimaan negara.
Indonesia menganut paham ”besar pasak daripada tiang” dalam mengelola keuangan negara. Sesuai makna peribahasa tersebut, pemerintah mengeluarkan uang untuk belanja lebih besar daripada pemasukan yang didapat.
Ini bukan hal tabu. Pada dasarnya, kebijakan anggaran suatu negara bisa berupa defisit (ekspansif), surplus (kontraktif), atau berimbang. Mayoritas negara, seperti Indonesia, memakai rezim fiskal defisit untuk mengejar pertumbuhan ekonomi lewat belanja pemerintah yang diperbesar.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Namun, tentu semua harus tetap terukur. Prinsip ”besar pasak daripada tiang” yang kebablasan alias belanja ugal-ugalan dengan modal tipis hanya akan membuat negara terlilit jerat utang hingga tujuh turunan. Itulah mengapa strategi kebijakan fiskal tidak bisa sembarangan.
Baca juga : Janji-janji Populis Bermunculan Jelang Pemilu, Apakah APBN Mampu?
Dua pekan terakhir, mendekati Pemilu 2024, para bakal calon presiden-wakil presiden mulai beradu gagasan di atas kertas. Ketiganya berlomba-lomba memasang target pembangunan yang tinggi. Berbagai program dan kebijakan baru pun ditawarkan. Semua terdengar manis di telinga rakyat.
Namun, pertanyaan penting yang menggantung, uangnya dari mana? Apa strategi ketiga kandidat untuk mengerek penerimaan pajak maupun nonpajak demi mendanai berbagai target tersebut?
Peneliti pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fairy Akbar, Kamis (9/11/2023), menilai, para kandidat mengumbar janji-janji kebijakan berbiaya besar dengan konsekuensi target penerimaan pajak yang tidak masuk akal.
Contohnya, program makan gratis bagi pelajar, siswa prasekolah, dan ibu hamil yang dijanjikan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Program itu diperkirakan memakan biaya hingga Rp 400 triliun, hampir menyamai total anggaran perlindungan sosial (perlinsos) di APBN 2024 sebesar Rp 493,5 triliun.
Untuk mendanai satu program itu, dibutuhkan tambahan penerimaan negara seminim-minimnya Rp 450 triliun atau setara dengan 22,26 persen penerimaan perpajakan dalam APBN 2023. ”Itu baru satu program, belum lagi untuk program lain yang dijanjikan, seperti susu gratis, kartu anak sehat. Bayangkan, berapa ratus triliun yang dibutuhkan?” katanya.
Jika benar-benar ada niat politik, semestinya para kandidat fokus pada akar masalah yang menghambat penerimaan negara.
Strategi tidak jelas
Berbagai janji kebijakan yang ambisius itu perlu didukung dengan keuangan negara yang kuat, khususnya lewat pemasukan pajak sebagai tulang punggung penerimaan negara. Sayangnya, visi-misi penerimaan negara dan pajak para bakal capres-cawapres tidak jelas.
Pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, misalnya, tidak mencantumkan strategi kebijakan fiskal yang detail di dokumen visi-misi. Mereka hanya menuliskan janji mewujudkan fiskal yang tangguh lewat anggaran negara yang memadai dan transparan serta optimalisasi sumber pendapatan.
Di sisi lain, strategi yang ditawarkan Prabowo-Gibran dan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar tidak menyentuh akar masalah, bahkan membawa masalah baru.
Kedua kandidat itu, misalnya, mengusulkan pendirian Badan Penerimaan Negara (BPN) untuk memperbaiki koordinasi antar-instansi dan menaikkan penerimaan negara. Untuk membentuk badan baru ini, perlu ada pemisahan Direktorat Jenderal Pajak dari tubuh Kementerian Keuangan.
Strategi di balik BPN dinilai tidak jelas. ”Hanya disebut mendirikan BPN, tetapi bagaimana strategi BPN meningkatkan penerimaan negara, tidak ada argumennya. Kalau cuma memisahkan lembaga, mengganti nama dan logo, bukannya ini pemborosan lagi?” ujar Fajry.
Baca juga : Penerimaan Pajak Melambat, Pemerintah Yakin Rasio Utang Terkendali
Pembentukan badan baru itu juga dinilai akan mempersulit proses penganggaran setiap tahun karena butuh koordinasi antara Kemenkeu dan BPN. Bahkan, lembaga baru itu berpotensi semakin mempersempit ruang fiskal.
Menurut Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti, salah satu yang memberatkan keuangan negara adalah bengkaknya pengeluaran rutin, seperti belanja pegawai. Semakin banyak badan yang dibentuk, semakin banyak pula biaya yang keluar untuk itu.
”Malah jadi pemborosan dan kesannya semata-mata untuk bagi-bagi kursi begitu terpilih,” ujar Esther.
Strategi lain yang ditawarkan para kandidat bahkan dapat menurunkan rasio pajak, alih-alih menaikkannya. Misalnya, ide Prabowo-Gibran menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh 21). Menurut Fajry, PPh 21 memiliki berlapis-lapis besaran tarif pajak, tergantung tingkat pendapatan wajib pajak. Strategi yang ditawarkan itu tidak secara rinci memperjelas lapisan tarif PPh mana yang hendak diturunkan.
”Lagi pula, dalam struktur penerimaan pajak yang ideal, penerimaan pajak itu bergantung pada penerimaan PPh 21. Visi-misi ini justru berkebalikan dengan yang sekarang dilakukan pemerintahan Jokowi, dan malah bisa menurunkan rasio pajak,” katanya.
Di sisi lain, penerimaan negara tidak melulu hanya dari pajak, tetapi juga dari bea dan cukai, penerimaan negara bukan pajak (PNBP), termasuk sumber pendapatan lain, seperti dari devisa. Sayangnya, ketiga kandidat cenderung mengabaikan pos penerimaan dan pendapatan lain di luar pajak.
Pengelolaan fiskal yang ’ugal-ugalan’ dapat menjatuhkan perekonomian.
Menurut Esther, nyaris tidak ada kandidat yang bicara terobosan kebijakan untuk meningkatkan cukai. Beberapa capres sudah bicara mengenai rencana mengamankan devisa hasil ekspor, tetapi strateginya belum dielaborasi. ”Masih kacamata kuda, padahal namanya penerimaan negara itu luas. Cukai, misalnya, selain rokok ada juga cukai plastik, cukai minuman berpemanis,” katanya.
Ia pesimistis kebijakan dan program yang ditawarkan para bakal capres-cawapres dalam dokumen visi-misi akan benar-benar dieksekusi begitu menjabat. Apalagi, kebijakan perpajakan biasanya menjadi isu tidak populer karena berpotensi memosisikan capres berseberangan dengan publik serta pengusaha dan pemodal yang membiayai kampanyenya. ”Akhirnya lebih banyak hanya janji surga atau gimmick semata,” ujarnya.
Niat politik
Esther menilai, jika benar-benar ada niat politik, semestinya para kandidat fokus pada akar masalah yang menghambat penerimaan negara, yaitu basis data perpajakan yang tidak transparan dan terintegrasi. Solusi mengungkit rasio penerimaan pajak, menurut dia, bisa dengan menghubungkan basis data perpajakan dan basis data lain, seperti lewat single identity number (SIN).
Kehadiran satu nomor identitas yang terpadu itu bisa mempermudah identifikasi dan pengumpulan pajak. ”Sebenarnya jelas solusinya apa. Masalahnya, capresnya mau atau tidak? Karena selama ini celah tipu-tipu dan penggelapan pajak itu bisa muncul karena data kita tidak transparan. Kalau ini diterapkan, tidak ada yang bisa lari dari pajak,” kata Esther.
Baca juga : Tantangan Rumit Mengerek Penerimaan Pajak
Ada banyak opsi kebijakan lain yang semestinya bisa ditawarkan capres untuk mengerek pemasukan pajak, asalkan ada niat politik untuk mengatasi akar masalah. Misalnya, melanjutkan reformasi administrasi dan birokrasi untuk menjadikan Direktorat Jenderal Pajak yang bersih tanpa korupsi.
Opsi berikutnya, mencegah praktik penghindaran pajak, terutama bagi perusahaan multinasional, serta menghapus insentif pajak yang tidak tepat sasaran. ”Jadi, sumber penerimaan bagi janji-janji politik itu jelas, bukan cuma menargetkan tax ratio yang tidak jelas bagaimana caranya,” kata Fajry.
Ia menyoroti minimnya gagasan orisinal yang berani dalam pemilu di Indonesia dibandingkan adu gagasan berbasis ideologi di kampanye pemilu Amerika Serikat. Di AS, kandidat secara lugas dan berani memaparkan kebijakan pajak mereka kepada publik, meski kontroversial.
Demi mengalahkan capres petahana Donald Trump di pilpres 2020, misalnya, capres Joe Biden menaikkan tarif efektif global intangible low-taxed income (GILTI) dari 21 persen menjadi 28 persen. Kebijakan itu dikeluarkan untuk memperketat pengenaan pajak minimum terhadap laba agregat perusahaan multinasional asal AS yang berbisnis di luar AS.
”Tidak ada perang ideologi dalam visi capres kita. Padahal, itu penting agar pemilih kita lebih rasional dalam memilih,” kata Fajry.
Ia mengingatkan, pengelolaan fiskal yang ”ugal-ugalan” dapat menjatuhkan perekonomian. Apalagi, perekonomian dunia ke depan bakal semakin tidak pasti, menambah tantangan dalam menaikkan penerimaan negara. Kebijakan fiskal yang fleksibel tetapi disiplin, serta berani menukik langsung ke akar masalah, kian dibutuhkan.
Bakal capres mesti belajar dari kesalahan mantan Perdana Menteri Inggris Liz Truss. Truss terpaksa turun dari jabatannya tahun lalu akibat kebijakan fiskal yang sembrono menyebabkan defisit fiskal Inggris meroket dan nyaris membawa negara itu pada resesi. ”Risikonya bagi ekonomi besar, dan mereka sendiri yang nanti akan rugi,” ujar Fajry.