Proyeksi Tahun 2024, Ekonomi Dua Cerita
Dari dampak arah kebijakan The Fed sampai pemilu, sejumlah pakar memperkirakan arah ekonomi tahun depan akan terbagi menjadi dua cerita: berat di awal, lebih ringan di akhir.
Kondisi perekonomian tahun depan diperkirakan bakal mengandung dua skenario cerita. Susah di awal, lebih ringan di akhir. Di Indonesia, akselerasi ekonomi juga diyakini bisa terjadi setelah proses transisi pemerintahan rampung dilakukan menjelang akhir tahun.
Sejumlah pakar memprediksi, ekonomi tahun 2024 akan terbagi menjadi dua ”episode”. Babak pertama alias sepanjang semester I-2024 masih akan diwarnai ketidakpastian ekonomi yang tinggi.
Kebijakan pengetatan moneter yang dilakukan bank sentral negara maju, khususnya The Federal Reserve alias the Fed, bank sentral Amerika Serikat, masih akan berlanjut di paruh awal 2024. Langkah agresif AS itu otomatis berdampak pada perekonomian negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Baca Juga: Perlambatan di Sana-sini, Ekonomi RI Tumbuh di Bawah 5 Persen
Kondisi terakhir, pada 1 November 2023, The Fed memutuskan kembali menahan suku bunga acuannya (Fed Fund Rate/FFR) di level 5,25-5,50 persen. Terakhir kali The Fed menaikkan suku bunganya adalah pada 25 Juli 2023 sebanyak 25 basis points (bps). Itu berarti sudah dua kali berturut-turut The Fed memutuskan tidak mengubah tingkat suku bunga acuannya, yakni pada September dan November 2023.
Managing Director Investment Strategy Wealth Management OCBC Vasu Menon, Selasa (14/11/2023), memperkirakan, kebijakan suku bunga The Fed akan terus agresif sampai sepanjang semester I-2024, lalu baru melonggar pada semester II. Perkiraan itu bergantung pada arah pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi di negeri Paman Sam itu.
Seperti diketahui, AS tengah mengalami tekanan inflasi tinggi yang menyebabkan FFR dinaikkan untuk waktu yang lama. Pada September 2023, inflasi AS berada di posisi 3,7 persen secara tahunan. Dalam rilis terbaru yang diumumkan pada Selasa (14/11/2023), inflasi AS pada Oktober 2023 menurun lebih tajam dari perkiraan, yakni 3,2 persen.
Data terbaru itu memberi sebersit harapan bahwa era kenaikan suku bunga AS akan segera berakhir. Kendati demikian, Vasu menilai, kebijakan The Fed masih akan tetap agresif sampai semester I tahun depan. The Fed tidak akan langsung menurunkan suku bunga acuannya karena inflasi turun.
”Incaran The Fed adalah inflasi mesti turun sampai 2 persen. Dalam kondisi sekarang, The Fed tentunya tidak mau salah memberi sinyal ke pasar karena inflasi bisa jadi naik lagi,” kata Vasu dalam acara OCBC Experience: Supporting Indonesia to the Global Stage, di Jakarta.
Perkiraan kami, ekonomi tahun 2024 nanti akan terbagi menjadi dua cerita. Berat di awal, tetapi lebih ringan di akhir.
Ia memperkirakan, The Fed baru akan mulai memangkas tingkat suku bunga acuannya pada semester II-2024. Saat itu, dunia memasuki ”babak” kedua di mana inflasi AS akan turun lebih tajam sampai di bawah 3 persen sehingga era kenaikan suku bunga acuan bisa diakhiri. Di pengujung tahun atau memasuki tahun 2025, The Fed diyakini bisa memangkas suku bunga acuannya lebih signifikan lagi.
Skenario itu akan menjadi kabar baik bagi banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. ”Jadi, perkiraan kami, ekonomi tahun 2024 nanti akan terbagi menjadi dua cerita. Berat di awal, tetapi lebih ringan di akhir,” kata Vasu.
Berimbas ke mana-mana
Perkiraan yang sama juga disampaikan Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo. Ia memprediksi, akibat prediksi laju inflasi global yang berkepanjangan, tren kenaikan suku bunga tinggi juga masih akan bertahan sampai setidaknya semester I tahun depan. The Fed pun diperkirakan masih akan kembali mengerek suku bunga acuannya sebesar 25 bps menjadi level 5,75 persen pada Desember 2023.
”Kemungkinan inflasi dunia baru akan turun pada paruh kedua tahun 2024 sehingga suku bunga FFR juga kemungkinan baru akan turun di paruh kedua tahun depan,” kata Perry.
Langkah moneter yang diambil oleh negara maju berpengaruh seperti AS otomatis berimbas ke negara berkembang, termasuk Indonesia. Kenaikan suku bunga acuan The Fed menyebabkan imbal hasil (yield) surat utang AS atau US Treasury meningkat. Hal itu membuat investor ramai-ramai menarik modal mereka keluar dari Indonesia dan beralih ke pasar keuangan AS yang menawarkan yield lebih tinggi.
Baca Juga: Semester Kedua Diperkirakan Jadi Babak Akhir Kenaikan Suku Bunga Dunia
Keluarnya aliran modal asing dalam jumlah banyak itu pun memicu depresiasi mata uang di sebagian besar ekonomi, termasuk Indonesia yang beberapa waktu lalu sempat mengalami pelemahan nilai tukar rupiah hingga nyaris menyentuh level Rp 16.000 per dollar AS.
Depresiasi mata uang itu berimbas ke mana-mana. Dunia usaha dan sektor riil tertekan kenaikan beban ongkos produksi akibat harga impor bahan baku dan energi yang lebih tinggi. Ongkos produksi yang meningkat itu berdampak pada kenaikan harga barang di pasaran dan mendorong inflasi akibat impor (imported inflation).
Langkah agresif The Fed dan meningkatnya imbal hasil obligasi AS juga berisiko terhadap pasar surat utang Indonesia. Pemerintah harus mengeluarkan ongkos berutang yang lebih tinggi, yang akhirnya berdampak pada belanja bunga utang yang semakin tinggi dan mengganggu kesehatan fiskal negara.
”Wait and see” berakhir
Chief Economist Bank Permata Andry Asmoro berharap kebijakan suku bunga acuan The Fed bisa menurun sesuai prediksi pada semester II. ”Skenario terburuk adalah kalau The Fed melanjutkan kenaikan suku bunga acuannya sepanjang tahun 2024 dan baru memangkas di 2025,” tuturnya.
Pada ’babak’ kedua, periode ’wait and see’ dunia usaha sudah berakhir.
Di luar katalis positif dari kebijakan The Fed, ekonomi Indonesia juga diperkirakan lebih stabil di semester II-2024 karena perhelatan pemilihan umum sudah berakhir. Transisi pemerintahan akan dilakukan pada Oktober 2024 dan arah kebijakan rezim mendatang mulai tergambar jelas. Sebaliknya, sepanjang semester I, ketidakpastian masih akan membayangi akibat arah perpolitikan yang belum jelas.
Pada ”babak” kedua, periode wait and see dunia usaha sudah berakhir. Otomatis, laju investasi akan lebih kencang dan penerimaan negara terkerek naik. ”Kalau pertumbuhan ekonomi bisa dijaga di level 5 persen sepanjang tahun, dunia usaha bisa berjalan kondusif di tengah tahun politik. Begitu masuk semester II, wait and see mulai hilang dan pemasukan pajak kembali meningkat,” paparnya.
Apa pun proyeksi ekonomi ke depan, ekonom dari Universitas Cornell New York, Iwan Jaya Azis, menegaskan, situasi saat ini semakin kompleks. Meskipun kompleksitas dan ketidakpastian dalam ekonomi dari dulu selalu ada, sekarang dinamikanya semakin sulit diprediksi.
Krisis yang menimpa sektor ekonomi tidak lagi berdiri tunggal, tetapi multikrisis yang berkaitan dengan faktor lain yang sulit ditebak, seperti geopolitik, krisis iklim, dan kemunculan pagebluk baru. Solusi ”textbook” ekonomi tidak bisa lagi diterapkan dalam dunia yang sekarang terus berubah.
Baca Juga: Kenaikan Upah Minimum Ikut Tentukan Nasib Ekonomi RI Tahun Depan
”Saya khawatir kalau agen-agen ekonomi terus-terusan mengatasi masalah ekonomi sekarang memakai paradigma lama. Harus ada strategi cadangan, jangan meremehkan derajat ketidakpastian karena apa yang dulu tak dibayangkan mungkin saja terjadi sekarang,” tutur Iwan.
Ini seperti bunyi gurauan yang sering dilontarkan ekonom senior dan Menteri Keuangan 2013-2014 Muhamad Chatib Basri. Seorang ekonom yang membuat prediksi terkait arah pertumbuhan ekonomi di masa krisis biasanya memiliki selera humor yang tinggi karena sangat mungkin prediksinya itu salah.