Permintaan dan Harga Komoditas Anjlok, Kinerja Ekspor Manufaktur Melemah
Nilai ekspor industri pengolahan pada periode Januari-Oktober 2023 mencapai 155,16 miliar dollar AS, merosot 10,30 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang sebesar 172,97 miliar dollar AS.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kinerja ekspor industri pengolahan pada periode Januari-Oktober 2023 menurun 10,30 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Penurunan ini dikarenakan pelemahan permintaan dunia dan melandainya sejumlah harga komoditas global.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor industri pengolahan sesuai harga barang (free on board/FOB) Januari-Oktober 2023 mencapai 155,16 miliar dollar AS, merosot 10,30 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang sebesar 172,97 miliar dollar AS.
Penurunan terbesar dicatat oleh komoditas produk lemak dan minyak hewani/nabati olahan yang pada periode Januari-Oktober 2023 merosot 19,52 persen secara tahunan. Pada 10 bulan pertama tahun ini, produk ini mencatat ekspor 23,85 miliar dollar AS, menurun dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang sebesar 29,63 miliar dollar AS. Padahal, produk ini berkontribusi 15,37 persen dari total ekspor industri pengolahan Indonesia.
Selain produk lemak dan minyak hewani/nabati olahan, komoditas besi dan baja juga mencatat penurunan kinerja ekspor. Pada Januari-Oktober 2023, ekspor besi dan baja bernilai 22,13 miliar dollar AS, menurun 4,35 persen secara tahunan. Komoditas ini berkontribusi sebesar 14,26 persen dari total ekspor industri pengolahan Indonesia.
Komoditas lainnya yang mencatatkan penurunan ekspor cukup dalam adalah alas kaki. Pada Januari-Oktober 2023 ekspor alas kaki mencapai 5,33 miliar dollar AS, menurun 18,86 persen secara tahunan.
Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri menjelaskan, penurunan kinerja ekspor industri pengolahan itu disebabkan gabungan dari permintaan ekspor yang melemah dan harga komoditas yang kian melandai.
Permintaan ekspor lemah dipicu karena melambatnya perekonomian negara-negara tujuan ekspor. Mengutip data Bank Dunia, beberapa negara mitra dagang Indonesia masih mencatatkan perlambatan ekonomi.
China, misalnya, yang pada triwulan ketiga 2023 mencatat pertumbuhan 4,9 persen melambat dibandingkan dengan triwulan kedua 2023 yang sebesar 6,3 persen. Selain itu, ada India yang triwulan ketiga 2023 mencatat pertumbuhan 6,0 persen melambat dibandingkan dengan triwulan kedua 2023 yang sebesar 7,8 persen. Begitu juga dengan Jepang yang pada triwulan ketiga 2023 mencatat pertumbuhan 1,6 persen setelah triwulan sebelumnya mencatat pertumbuhan 2,0 persen.
Tren saat ini, komoditas ekspor terus mengalami pelemahan harga. Selain itu juga ada pelemahan permintaan karena perlambatan ekonomi dunia.
Selain itu, sejumlah komoditas juga mencatat penurunan harganya di pasar dunia. Mengutip Trading Economics, harga minyak sawit pada Oktober 2023 sebesar 804,3 dollar AS per metrik ton, sedangkan pada Oktober 2022 harganya 889,0 dollar AS per metrik ton.
”Tren saat ini, komoditas ekspor terus mengalami pelemahan harga. Selain itu juga ada pelemahan permintaan karena perlambatan ekonomi dunia,” ujar Yose Kamis (16/11/2023) di Jakarta.
Kinerja industri pengolahan perlu terus didorong lantaran berkontribusi dominan terhadap kinerja ekspor nasional. Kontribusi ekspor industri pengolahan Januari-Oktober 2023 mencapai 72,37 persen dari total ekspor nasional.
Surplus perdagangan
Kendati ekspor industri pengolahan dan ekspor secara keseluruhan menurun, Indonesia masih mencatatkan surplus perdagangan. Ini dikarenakan kinerja impor yang juga melambat. Pada Oktober 2023, Indonesia mencatat surplus perdagangan 3,48 miliar dollar AS.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, impor dan ekspor yang melambat saat ini menggambarkan kondisi dunia usaha dalam negeri. Melambatnya impor menandakan pasar dalam negeri tengah melambat. Impor Indonesia masih didominasi oleh bahan baku/penolong yang mencapai pada Januari-Oktober 2023 mencapai 72,84 persen dari total impor. Ini menandakan industri manufaktur tidak sedang membutuhkan banyak bahan baku/penolong karena pasar juga sedang turun.
Karena itu, lanjut Shinta, yang perlu dilakukan adalah mendorong program-program stimulasi ekspor, antara lain peningkatan fasilitasi ekspor khususnya ke negara-negara rekan kerja sama perdagangan bebas dan pasar-pasar negara non-tradisional. Selain itu memfasilitasi prosedur ekspor melalui peningkatan simplifikasi prosedur, meningkatkan akses pembiayaan ekspor dengan biaya terjangkau, dan program-program pemberdayaan produk ekspor.