Indonesia Ingin Pendanaan Kehilangan dan Kerusakan Mudah Diakses
Presidensi COP28 berhasil mengumpulkan komitmen pendanaan senilai 792 juta dollar AS untuk kehilangan dan kerusakan.
Oleh
ERIKA KURNIA DARI DUBAI, UNI EMIRAT ARAB
·4 menit baca
DUBAI, KOMPAS — Indonesia bersama lebih dari 195 negara telah menyepakati perundingan terkait pendanaan kehilangan dan kerusakan di pengujung penyelenggaraan Konferensi Para Pihak Ke-28 atau COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab. Sebagai negara berkembang yang berhak menerima pendanaan tersebut, Indonesia mengharapkan pendanaan itu mudah diakses.
Sampai Senin (11/12/2023), Presidensi COP28 berhasil mengumpulkan komitmen pendanaan senilai 792 juta dollar AS untuk kehilangan dan kerusakan atau loss and damage. Pendanaan ini menjadi topik pertama dari sekitar 20 topik yang disetujui semua pihak untuk dimasukkan ke dalam dokumen Global Stocktake.
Direktur Mobilisasi dan Sumber Daya Sektoral dan Regional Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Wahyu Marjaka mengatakan, Indonesia telah memastikan agar operasionalisasi pendanaan itu mudah diimplementasikan.
”Indonesia, kan, berpotensi besar untuk mengakses itu. Kalau sudah ada pledging (komitmen pendanaan) seperti itu, duitnya bisa tidak diakses. Bagaimana cara aksesnya dan aturannya seperti apa? Itu yang harus benar-benar dipastikan. Simpel, efisien, dan transparan,” jelasnya saat ditemui Kompas di Paviliun Indonesia, di lokasi penyelenggaraan COP28.
Prinsip kemudahan itu juga Indonesia dorong untuk akses pendanaan lain, seperti komitmen 100 miliar dollar AS dari negara-negara maju, yang sampai saat ini masih jauh implementasinya. Sesuai dokumen yang dibuat di COP21 pada 2015, yang menjadi Perjanjian Paris, pendanaan itu diperuntukkan untuk mitigasi dan adaptasi, masing-masing sebesar 50 persen.
Pada saat bersamaan, Indonesia juga perlu membenahi koordinasi internal untuk memastikan dana guna kebutuhan menghadapi dan menangani dampak perubahan iklim itu diterima sampai ke akar rumput. ”Tantangan Indonesia sebenarnya lebih banyak di internal,” katanya.
Indonesia dan semua negara mendorong agar fasilitas penyaluran dana kehilangan dan kerusakan tidak memberatkan negara yang membutuhkan. Indonesia tidak keberatan dengan penunjukan World Bank atau Bank Dunia sebagai lembaga yang mengelola pendanaan tersebut.
Direktur Perubahan Iklim Bank Dunia Jennifer Sara, Jumat (8/12/2023), menjelaskan, pengelolaan dana itu akan dilakukan dewan otonom tersendiri. Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) akan memutuskan berapa banyak anggota dan komposisinya.
”Jadi, peran Bank Dunia, ketika dewan tersebut sudah ada, akan mengelola dananya dalam jangka waktu empat tahun. Apa yang terjadi setelah empat tahun? Kalau diminta untuk melakukannya, kami senang karena kami sudah menyiapkan semuanya, sistem administrasi yang ada,” kata Jennifer.
Bank Dunia, kata Jennifer, juga ingin menyalurkan pendanaan kehilangan dan kerusakan itu secara cepat. Namun, itu kembali lagi tergantung pada kerja birokrasi dewan otonom yang harus terlebih dulu membuat sekretariat untuk kemudian disepakati di cabang-cabang kantor Bank Dunia.
”Kami tidak akan menghalangi, kami tidak akan memperlambat apa pun. Kami sepenuhnya menghormati dan menyadari bahwa ini adalah sebuah proses. UNFCCC, dewan, serta sekretariat, kami akan melakukannya secepatnya,” ujarnya.
Keseimbangan mitigasi dan adaptasi
Dalam COP28, semua pihak termasuk Indonesia juga memastikan komitmen pendanaan 100 miliar dollar AS dari negara maju dilanjutkan dengan menyeimbangkan pendanaan mitigasi dan adaptasi. Indonesia sendiri juga akan membenahi pengelolaan sisi internal untuk penyaluran dua tipe pendanaan tersebut.
Meski belum menyebutkan berapa ketidakseimbangan antara pendanaan mitigasi dan adaptasi, Wahyu mengatakan, dana mitigasi lebih banyak daripada adaptasi. ”Memang, Indonesia waktu itu pertamanya membangun dari sisi mitigasi sehingga adaptasi memang kurang cepat didorong,” kata Wahyu, melanjutkan.
Secara umum, Indonesia memiliki dua skema pendanaan iklim, yaitu pendanaan dari dalam negeri dan luar negeri. Pendanaan iklim dari dalam negeri bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan juga kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU). Berdasarkan laporan Anggaran Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim 2018-2020 oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia, alokasi anggaran perubahan iklim per tahunnya mencapai kisaran Rp 102 triliun.
Dari luar negeri, Indonesia mendapat lebih banyak pendanaan berbasis kerja dari sejumlah lembaga, seperti Adaptation Fund (AF), Global Environment Facility (GEF), Green Climate Fund (GCF), dan Development Finance Institution (DFI). Awal tahun 2023, Indonesia menerima pencairan pertama dana senilai 46 juta dollar AS atau setara Rp 718,5 miliar dari GCF. Dana itu merupakan penghargaan atas keberhasilan penurunan emisi dari sektor kehutanan Indonesia periode 2014-2016.
Dana itu merupakan penghargaan atas keberhasilan penurunan emisi dari sektor kehutanan Indonesia periode 2014-2016.
Kemudian, pada periode 2022-2026, Indonesia akan menerima dana dari GEF sebesar 103,65 juta dollar AS atau setara Rp 1,6 triliun untuk keanekaragaman hayati, perubahan iklim, dan degradasi lahan. Pendanaan tersebut menjadi yang terbesar dibandingkan dengan negara-negara lain, seperti India, China, dan Brasil, yang juga mendapat suntikan dana dari GEF (Kompas.id, 1/7/2023).
Untuk mempercepat peningkatan komposisi biaya adaptasi, Indonesia akan mengalihkan dana pembayaran berbasis kerja dari lembaga internasional tersebut untuk adaptasi. Strategi itu, menurut dia tidak perlu dipertanggungjawabkan kepada pemberi dana.
”Jadi, akan banyak sekali program-program adaptasi yang kita konsolidasikan dan dapat alokasi dari aksi-aksi mitigasi yang selama ini. Alokasi adaptasi itu untuk kebutuhan substansial, seperti ketahanan pangan, ekosistem, dan ketahanan air,” ujarnya.
Tulisan ini diproduksi sebagai bagian dari Climate Change Media Partnership 2023, beasiswa peliputan yang diselenggarakan oleh Earth Journalism Network Internews dan Stanley Center for Peace and Security.