Bertahan Hidup dengan Terus Bekerja
Dunia kerja sepanjang 2023 dan tahun depan masih dalam situasi penuh tantangan. Tetap bisa bekerja, apa pun pekerjaannya, menjadi cara bertahan hidup di tengah kondisi perekonomian global yang serba tak pasti.
Saat menghadiri Pertemuan Menteri Tenaga Kerja dan Ketenagakerjaan (Labour and Employment Ministers’ Meeting) G20 di India, 20–21 Juli 2023, Director General International Labour Organization (ILO) Gilbert F Houngbo mengatakan, dunia terus bergulat dengan guncangan dan risiko global. Situasi ini memperlambat kemajuan pembangunan berkelanjutan dan menantang keadilan sosial bagi pekerja.
Di tingkat global, tingkat pengangguran pada tahun 2023 disebut telah turun di bawah tingkat sebelum pandemi Covid-19, yaitu lebih kurang 5,3 persen. Namun, tingkat pengangguran di negara-negara berpenghasilan rendah dikhawatirkan belum akan pulih seperti sebelum pandemi. Lalu, kendati sejumlah kawasan, seperti Amerika Latin dan Karibia, Asia Tengah, serta Asia Barat, berusaha mengurangi tingkat pengangguran, ILO menemukan bahwa penciptaan lapangan kerja yang malahan muncul justru berasal dari sektor informal.
Masalah berikutnya yang Houngbo sebutkan adalah kesenjangan lapangan kerja atau jobs gaps yang ternyata terjadi secara global. Jobs gaps yang ia maksud mencakup semua individu yang ingin bekerja tetapi belum tentu aktif mencari pekerjaan karena diduga ada masalah ketidakcocokan keterampilan. Jobs gaps juga meliputi pengangguran semu. Negara-negara berpendapatan rendah memiliki tingkat jobs gaps tertinggi pada tahun 2023 yang mencapai 21,5 persen. Sebaliknya, negara-negara berpendapatan tinggi memiliki angka terendah, yaitu 8,2 persen.
Tingkat jobs gaps di negara-negara berpendapatan menengah atas mencapai 11,2 persen, sedangkan di negara-negara berpendapatan menengah angkanya di bawah 11,5 persen.
”Bagi negara-negara berkembang, tantangan yang lebih besar adalah pembiayaan. Tingkat jobs gaps negara -negara berkembang telah mencapai di atas 20 persen. Kondisi keuangan mereka semakin ketat, termasuk potensi biaya tinggi untuk pembayaran utang juga berdampak pada menyusutnya ruang fiskal dan membatasi investasi pada perekonomian riil, termasuk ke program ketenagakerjaan dan perlindungan sosial,” ujar Houngbo.
Baca juga: UMP dan Tantangan Ketenagakerjaan
Perekrutan
Chief Operating Officer Jobstreet by Seek untuk wilayah Indonesia Varun Mehta, Jumat (22/12/2023), di Jakarta, mengatakan, setelah pembatasan sosial karena pandemi Covid-19 berakhir, kebanyakan organisasi perusahaan berharap bisnis mereka tumbuh lagi atau minimal dengan laju yang sama seperti sebelum pandemi.
Namun, jika melihat tren inflasi dan pertumbuhan ekonomi sepanjang 2023, yang terjadi adalah geliat ekonomi berjalan lebih lambat dari perkiraan banyak perusahaan. Akibatnya, organisasi perusahaan lebih fokus pada pengembalian investasi dan mempekerjakan orang dengan biaya yang rasional. Konsekuensi akhirnya adalah pertumbuhan gaji karyawan menjadi tertekan.
Mercer Indonesia Market Leader Astrid Suryapranata, secara terpisah, mengatakan, berdasarkan temuan Total Remuneration Survey yang dilakukan Mercer terhadap 570 organisasi perusahaan di tujuh sektor industri sepanjang April-Juni 2023, perusahaan yang memiliki intensi untuk menambah tenaga kerja pada 2024 diproyeksikan akan lebih sedikit dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Dengan kata lain, kegiatan rekrutmen tenaga kerja masih akan tetap berjalan, tetapi intensitasnya lebih rendah dari sebelumnya.
Lowongan pekerjaan yang berhubungan dengan keterampilan digital akan semakin populer, selain bidang- bidang berkaitan dengan penjualan, pemasaran, manajemen produk, keahlian engineering (rekayasa), dan sains. Bidang tersebut dianggap mampu menunjang bisnis untuk berkembang dan bertahan dalam jangka pendek-panjang.
Baca juga: Kerja Paruh Waktu Makin Digandrungi Anak Muda
Permintaan terhadap keterampilan bidang kecerdasan buatan dan energi terbarukan diproyeksikan akan menjadi hot job. Permintaan seperti itu sekaligus menjadi tantangan bagi pasar tenaga kerja. Di Indonesia masih terganjal isu kesenjangan suplai dan permintaan keterampilan.
”Kami juga memperkirakan, semakin banyak perusahaan mempunyai pengaturan kerja yang fleksibel. Tujuannya adalah menunjang karyawan dari berbagai latar belakang generasi,” kata Astrid.
Padat modal
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyampaikan, investasi yang masuk ke Indonesia cenderung lebih banyak padat modal. Sektor padat karya yang mampu menyerap lebih banyak tenaga kerja, menurut dia, cenderung kurang digarap dengan serius oleh pemerintah. Pada saat bersamaan, kenaikan upah minimum tahun 2024 hanya sedikit di atas inflasi. Sesuai hasil survei KSPI dan Partai Buruh, daya beli pekerja sudah menurun hingga 30 persen.
Pemilu 2024 yang kampanyenya telah berlangsung sejak 2023 hanya menghasilkan perputaran ekonomi yang terbatas, misalnya sektor industri percetakan dan garmen. Kualitas serapan pekerja di dua sektor ini, diperkirakan Said, berlangsung singkat.
”Pemerintah selalu kurang pas mengukur kriteria pengangguran. Orang yang sudah bekerja dua jam ke atas dalam seminggu kerap dikatakan tidak menganggur. Gagasan perluasan kesempatan kerja juga kami nilai kurang out of the box, seperti sebatas pekerjaan membenahi saluran got dan membangun jalan-jalan yang ada di perdesaan,” tutur Said.
Hubungan industrial
Direktur Eksekutif Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) Syarif Arifin berpendapat, kondisi ketenagakerjaan di Indonesia sudah bisa disebut menantang, baik dari sisi hubungan industrial, sistem pengupahan, maupun pemenuhan hak-hak pekerja. Kondisi ini telah terjadi sejak 2015.
Baca juga: Cuti Melahirkan dan Jam Kerja Fleksibel Paling Dibutuhkan Pekerja
Tahun 2015 menandai tahun dimulainya intervensi pemerintah pusat terhadap perhitungan upah minimum dengan cara menetapkan rumus yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Sejak saat itu hingga terbit PP No 51/2023 tentang Perubahan atas PP No 36/2021 tentang Pengupahan tidak ada lagi perundingan kenaikan upah minimum di Dewan Pengupahan. Kalaupun ada perundingan, isinya adalah membahas besaran faktor alfa yang akan dipakai menghitung rumus kenaikan upah. Rentang besaran alfa pun sudah tertuang dalam PP.
Pemerintah selalu kurang pas mengukur kriteria pengangguran. Orang yang sudah bekerja dua jam ke atas dalam seminggu kerap dikatakan tidak menganggur.
Prinsip pemutusan hubungan kerja (PHK) yang sebelumnya harus melapor dulu ke pemerintah kini relatif tidak ada sejak Omnibus Law Cipta Kerja berlaku. Dia menilai, regulasi ini lebih berpihak pada kepentingan investor. Akibatnya, potensi jumlah PHK yang tidak tercatat ataupun dilaporkan semakin besar.
Sejak 2015 pula, kata Syarif, pengawasan ketenagakerjaan dinilai mulai lemah. Jumlah pengawas yang idealnya satu tenaga pengawas mengawasi 60 perusahaan kini berubah menjadi satu tenaga pengawas mengawasi 200 perusahaan. Pengawas belum tentu aktif mengawasi dengan dalih anggaran operasional yang minim. Laporan pekerja ke pengawas ketenagakerjaan, karena alasan anggaran, kerap dikabarkan jarang ditindaklanjuti.
”Pengawas ahli, terutama ahli kesehatan dan keselamatan kerja (K3), juga kurang. Kecelakaan kerja di smelter nikel yang ada di Morowali (Sulawesi Tengah) yang sepanjang tahun 2023 terjadi dua insiden memperlihatkan lemahnya pengawasan K3,” ujar Syarif.
Baca juga: Anies, Ganjar, dan Prabowo Belum Tawarkan Solusi Konkret Atasi Pengangguran
Menurut dia, kondisi makro perekonomian nasional ataupun global bisa berpengaruh langsung ke kehidupan pekerja dan ada pula yang pengaruhnya ke belanja perusahaan yang pada akhirnya berdampak ke pekerja. Sebagai contoh, saat perang Rusia-Ukraina mulai berlangsung, Kementerian Ketenagakerjaan mengeluarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global. Melalui beleid ini, upah buruh di sektor padat karya berorientasi ekspor, seperti tekstil dan alas kaki, diperbolehkan dipotong maksimal 25 persen.
Sementara sesuai hasil survei Komite Hidup Layak dan LIPS, rata-rata pengeluaran keluarga buruh makanan dan nonmakanan di empat jenis pekerjaan di empat provinsi sudah mendekati Rp 10 juta per bulan. Survei ini menyasar 181 responden pada 18 September-18 Oktober 2023 di tiga kota dan delapan kabupaten di empat provinsi. Keempat provinsi itu adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, dan Sulawesi Tengah. Responden berlatar belakang pekerja di sektor manufaktur, ojek daring, pertambangan, dan perkebunan.
Opsi terbaik bagi pekerja hanyalah bertahan hidup sembari tetap bisa bekerja. Pekerjaan sampingan yang kini mulai marak diambil pekerja tetap hanya akan membuat waktu istirahat mereka berkurang.
Dengan situasi perekonomian dan perburuhan yang semakin menantang itu, baik Said maupun Syarif berpendapat, opsi terbaik bagi pekerja hanyalah bertahan hidup sembari tetap bisa bekerja. Pekerjaan sampingan yang kini mulai marak diambil pekerja tetap hanya akan membuat waktu istirahat mereka berkurang.
Secara terpisah, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Atma Jaya, Harry Seldadyo, berpendapat, kesejahteraan pekerja tidak bisa semata-mata diintervensi melalui kebijakan pengupahan. Pemerintah bisa menggunakan opsi kebijakan menjaga inflasi. Opsi penyediaan perumahan bagi pekerja sudah lama didengungkan, tetapi eksekusinya sampai sekarang belum jelas seperti apa realisasinya.
Opsi intervensi pemerintah lainnya adalah pemerataan akses dan manfaat jaminan sosial. Namun, realisasi opsi ini masih kurang maksimal. Ini terbukti dari fenomena gunung es kecelakaan kerja di sektor manufaktur dan nonmanufaktur.
”Pemerintah perlu mempunyai prioritas kebijakan jangka panjang dan pendek di sektor ketenagakerjaan. Berbagai faktor yang memengaruhi dapat dijadikan pertimbangan, seperti perubahan demografi penduduk dan hubungannya dengan perkembangan teknologi digital,” ujarnya.
Baca juga: Praktik PHK Sepihak Masih Warnai Pengaduan Pelanggaran Ketenagakerjaan