Bali Menyandang Predikat ”Overtourism”
Penumpukan wisatawan di Bali membentuk fenomena turis berlebih (overtourism), sehingga menimbulkan beragam dampak buruk.
JAKARTA, KOMPAS – Fenomena turis berlebih atau overtourism melanda Bali. Pemerintah menilai, kepadatan terjadi karena terpusatnya titik-titik wisata di kawasan selatan. Sebaliknya, pengamat beranggapan bahwa penumpukan ini menunjukkan pembangunan yang tumbuh liar.
Bali didapuk menjadi salah satu destinasi wisata dengan turis berlebih (overtourism)periode Januari hingga November 2023 berdasarkan laporan Dewan Perjalanan dan Wisata Dunia (WTTC). Predikat itu juga dialami kota-kota lain, seperti Athena (Yunani), Paris (Perancis), dan Phuket (Thailand).
”Overtourism yang dikhawatirkan ini memang sesuatu hal yang sangat kami pantau. Level ini masih di bawah level 2019. Ini mudah-mudahan bisa jadi catatan bagi semua pihak, antisipasi untuk ke depan juga sudah dipastikan karena 2024 ini banyak long weekend,” tutur Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno dalam konferensi pers mingguan di Jakarta, Rabu (3/1/2024).
Baca Juga: Pariwisata Berkualitas Perlu Jadi Perhatian
Fenomena ini merupakan tanggung jawab seluruh pihak. Masalahnya bukan terletak pada kuantitas wisatawan yang masuk ke Bali, melainkan penumpukan destinasi di kawasan Bali bagian selatan. Alhasil, titik-titik itu jadi tujuan para pelaku perjalanan.
Pemerintah daerah telah mempromosikan Bali bagian utara, barat, dan timur. Investasi juga didorong ditanam di luar Bali bagian selatan agar lebih terdistribusi.
Pembangunan transportasi publik, Sandi menambahkan, sedang diupayakan. Lintas Rel Terpadu (LRT) sedang didesain untuk mendukung mobilitas di sana. Selain itu, transportasi laut antara daerah wisata, seperti Jimbaran, Seminyak, dan Canggu dengan Bandara Bali, tengah diusahakan pula.
Sebelumnya, fenomena penumpukan turis ini diperkuat dengan terjadinya kemacetan menuju dan dari Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Bali, pada Jumat (29/12/2023). Akses melalui jalan tol dan jalan arteri macet hingga nyaris tanpa pergerakan sampai malam hari.
General Manager Bandara I Gusti Ngurah Rai Handy Heryudhitiawan mengemukakan, kemacetan pada akhir tahun lalu disebabkan jumlah kendaraan yang masuk sangat padat. Padahal, jumlahnya lebih rendah ketimbang puncak arus mudik pada Sabtu (23/12/2023).
Baca Juga: Pergerakan Masyarakat Selama Natal dan Tahun Baru Sesuai Prediksi
Bandara di bawah naungan PT Angkasa Pura I menampung 70.776 penumpang pada 29 Desember 2023. Jumlah kendaraan yang masuk dan keluar bandara sekitar 41.000 unit. Sementara, jumlah orang pada 23 Desember 2023 mencapai 75.240 penumpang dengan pergerakan kendaraan sebesar 57.937 kendaraan.
”Karena memang ada simpul-simpul (jalan) yang saat itu di seputar bandara cukup padat sehingga penumpukan terjadi di seputar jalan-jalan sekitar bandara. Di situ yang kami lihat sehingga terjadi kepadatan yang sangat tinggi, cenderung mobil kendaraan terhenti,” kata Handy.
Guna membantu para penumpang yang mengejar penerbangan agar tepat waktu, pihak bandara memobilisasi ojek sepeda motor untuk menjemput wisatawan terjebak macet. Seluruh sumber daya manusia di bandara dikerahkan untuk membantu mobilitas penumpang.
Akibat peristiwa ini, Kementerian Perhubungan menyediakan bus antar-jemput dari titik-titik wisata di Bali. Hal ini untuk mencegah kemacetan agar tak mengulang kesalahan yang sama.
Selain karena bandara dikelilingi titik destinasi wisata, ledakan kendaraan ini juga disumbang pergerakan penduduk Bali yang meningkat karena 29 Desember 2023 dianggap sebagai hari baik. Alhasil, banyak aktivitas, antara lain pernikahan yang diselenggarakan.
Baca Juga: Kunjungan Wisatawan ke Bali Semakin Meningkat Pascapandemi
Kepala Dinas Pariwisata Bali Tjok Bagus Pemayun mengatakan, wisatawan mancanegara yang berkunjung ke ”Pulau Dewata” sepanjang Januari-Desember 2023 mencapai 5.328.238 orang. Kunjungan itu didominasi wisatawan Australia, India, China, Inggris, dan Amerika Serikat. Dalam periode yang sama, mobilitas wisatawan Nusantara sebesar 9.877.911 pergerakan.
Terkait kemacetan pada akhir tahun lalu, banyaknya pusat oleh-oleh di beragam titik yang tak didukung kantong parkir memadai mengakibatkan kemacetan. Sebagian ruas jalan dimanfaatkan sebagai kantong parkir.
Pembangunan tumbuh liar
Situasi wisatawan berlebih di Bali telah diprediksi sejak lama. Hal ini tak lepas dari kondisi pembangunan sektor ini yang makin liar.
Pengamat pariwisata dari Universitas Jenderal Soedirman, Chusmeru berpendapat, pembangunan pariwisata yang tak terkendali membentuk wajah Bali saat ini. Kemacetan dan sampah berserakan hanyalah dua dari sederet dampak buruknya.
”Kerusakan alam di Bali itu sekarang cenderung lebih merata terjadi pada beberapa daerah di Bali akibat pengembangan pariwisata yang tak terkendali. Hal ini membuat Bali memang bukan lagi suatu destinasi yang nyaman untuk dikunjungi,” tuturnya.
Baca Juga: Mengantisipasi Risiko Terjadinya Luapan Turis
Itu artinya, biaya ekonomi yang dikeluarkan wisatawan sekarang tak sebanding dengan nilai kepuasan yang didapatkan ketimbang masa silam. Overtourism merupakan akumulasi atau klimaks dari pengembangan pariwisata yang tumbuh liar.
Distribusi titik wisata kini bukanlah suatu isu, sebab hampir tiap desa di Bali menawarkan kekhasannya masing-masing. Wisatawan bukan lagi ke Bali karena mau ke destinasi kondang seperti Kuta, tetapi ada daerah-daerah lain yang menawarkan obyek wisata lain.
”Mestinya ada pengendalian, studi tentang kelayakan daya dukung wilayah. Beberapa pakar sudah memprediksi bahwa ke depan, Bali itu akan seperti ini, overtourism karena pembangunan yang tak terencana baik,” kata Chusmeru.
Guna menekan persoalan ini, dibutuhkan bandara lain dengan standar yang sama dengan Bandara I Gusti Ngurah Rai. Selama ini, satu bandara di Pulau Dewata ternyata dinilai tak efektif menampung pergerakan wisatawan. Apalagi, Bali sulit menolak wisatawan karena tanpa promosi pun, orang-orang sudah berbondong-bondong ke sana.
”Bahkan, dengan kebijakan quality tourism, meningkatkan harga produk wisatanya pun, Bali tetap diburu. Ini agak dilematis juga,” ujar Chusmeru.
Serupa dengan Sandi, pembangunan moda transportasi umum, seperti LRT Bali yang sudah direncanakan pemerintah dapat mengatasi kemacetan. Upaya ini dapat memecah penumpukan wisatawan di Bali.
Baca Juga: Bali, Yogyakarta, dan Danau Toba Pilihan Habiskan Malam Tahun Baru