Penggunaan Dana Pariwisata Disorot
Penggunaan dana pariwisata yang diinisiasi pemerintah untuk membangun pariwisata berkelanjutan dikritisi banyak pihak.
JAKARTA, KOMPAS — Inisiatif pemerintah untuk membentuk dana pariwisata dinilai perlu kehati-hatian. Ide itu dinilai membuka celah penyelewengan, apalagi peruntukannya bukan untuk kegiatan pengembangan pariwisata.
Pemerintah membentuk Indonesia Tourism Fund (ITF) atau dana pariwisata untuk mendorong pariwisata berkualitas dan berkelanjutan. Menurut rencana, dana yang dikeluarkan Kementerian Keuangan itu dapat mulai digunakan pada 2024. Pengelolaannya diserahkan pada Indonesian Journey (Injourney), badan usaha milik negara industri aviasi dan pariwisata.
Baca juga: Dana Pariwisata Siap Dibentuk untuk Dukung Pariwisata Indonesia
Namun, para pelaku industri pariwisata mengaku tidak dilibatkan dalam pembentukan ITF itu. Para pelaku industri justru kini tengah menginisiasi pembentukan badan layanan umum (BLU).
Sekretaris Jenderal Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Pauline Suharno, Minggu (7/1/2024), mengatakan, ITF seharusnya merupakan dana yang dikelola dengan melibatkan industri agar programnya tepat guna. Namun, hingga kini, para pelaku industri belum dilibatkan untuk berdiskusi mengenai ITF itu. Dirinya mengetahui kabar soal pembentukan dana pariwisata justru dari pemberitaan media.
Menurut Pauline, baik BLU maupun dana pariwisata Indonesia, siapa pun yang membentuknya, perlu melakukan diskusi bersama. ”Kalau pemerintah kita melihat sektor ini (pariwisata) penting dan menghasilkan devisa negara, semestinya pemerintah harus segera berdialog dengan industri. Melihat kepentingan dari sudut industri,” ujar Pauline.
Dalam rencana GIPI, BLU Pariwisata bersumber dari dana dari APBN berupa dana abadi, hibah/donasi, sponsorship, dan trust fund. Dana ini berfungsi untuk pendanaan promosi pariwisata dan insentif penerbangan seperti pembukaan rute destinasi baru, pengembangan sumber daya manusia (SDM), serta dukungan dana untuk tender pertemuan, insentif, konvensi, dan pameran (MICE) internasional.
Baca juga: ”Green Tourism” Diprediksi Jadi Tumpuan Pariwisata 2024
Adapun pengurus BLU diisi oleh mereka yang berkompetensi pada bidang pariwisata secara profesional dan bebas dari intervensi politik. Nantinya, BLU dan GIPI akan menyusun program promosi pariwisata bersama.
Usulan mengenai BLU sudah diajukan ke Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sejak Agustus 2023, sebelum pemerintah mengumumkan akan membuat dana pariwisata. Ia berharap pengelolaan dan pemanfaatan dana ini nantinya tepat guna dan berdampak positif bagi industri. Rencana dan pengelolaan harus dilakukan dengan transparan.
Risiko penyelewengan
Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti justru menilai kantong dana ITF itu tidak diperlukan. Alasannya, proses auditnya belum jelas sehingga berisiko terjadi penyelewengan dana.
”Jadi, saya takut alokasi dananya tidak jelas. Maksudnya baik, tetapi kita sebaiknya mencegah, meminimalkan risiko-risiko kebocoran korupsi itu,” kata Esther.
Injourney sebagai pengelola turut disorot sebab perusahaan pelat merah itu bakal sulit berkembang karena dibebani tiga fungsi. Sebagai perusahaan, BUMN tetap harus mencari keuntungan, tetapi pada saat bersamaan mereka memiliki tugas pelayanan. Posisinya makin berat jika BUMN berkewajiban menjalankan tugas lain dari pemerintah.
Tetapi kita sebaiknya mencegah, meminimalkan risiko-risiko kebocoran korupsi itu. (Esther Sri Astuti)
Hal serupa diutarakan Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia Azril Azhari. Pembuatan suatu kantong dana membutuhkan dasar hukum yang kuat. Suatu hal wajar jika Kemenkeu yang mengelola dana dari sejumlah sumber, seperti dana abadi (endowment), devisa sektor pariwisata, dan pihak ketiga. ”Tapi harus ada dasar hukum yang kuat dulu,” ujarnya.
Pemerintah dapat mengacu pada Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang memprioritaskan anggaran pendidikan sedikitnya 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Mandat ini tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 sehingga kedudukan hukumnya kuat. Dana inilah yang lantas digunakan sebagai beasiswa anak-anak negeri menempuh pendidikan lanjut melalui dana abadi.
Baca juga: Dana Abadi Pendidikan Diproyeksikan Rp 120 Triliun Tahun Ini
Seperti LPDP, idealnya dana pariwisata ini dikelola lembaga resmi, non-kementerian. Sebab, kementerian hanya memberi hak. Namun, pengelolanya tidak serta-merta diserahkan kepada BUMN karena kecenderungannya kerap merugi sehingga harus lebih hati-hati.
Selain itu, pariwisata sebenarnya bukanlah satu sektor. Pariwisata sebenarnya merupakan gabungan dari sejumlah sektor lain, seperti sektor perdagangan, hotel, dan akomodasi. Alhasil, posisinya tidak sekuat pendidikan.
Sebelumnya, Menparekraf Sandiaga Uno mengatakan, dana pariwisata telah disetujui Presiden Joko Widodo. Prosesnya masih dalam kajian. ”Jadi, hal ini yang sedang dibahas dan difinalkan Kemenkeu berdasarkan pembicaraan lintas kementerian dalam penyusunan peraturan presiden,” ujar Sandiaga dalam konferensi pers mingguan di Jakarta, Rabu (3/1/2024).
Pariwisata berkelanjutan
Nantinya, dana pariwisata akan digunakan untuk mendorong pariwisata berkualitas dan berkelanjutan (sustainable tourism). Cara ini digadang dapat memberi pendekatan berbeda mengingat pariwisata Indonesia butuh berinvestasi pada energi baru terbarukan.
Pada tahap awal, dana yang dikucurkan Kemenkeu sebesar Rp 2 triliun. Selanjutnya, Kemenparekraf mengajukan besaran dana tahunan yang nantinya disetujui presiden.
Baca juga: Iklim Baik Pariwisata Berkelanjutan
Sandiaga mengatakan, dana ini berfungsi untuk membentuk citra sekaligus promosi pariwisata Indonesia. Selain itu, nantinya penyelenggaraan beragam kegiatan pariwisata yang tidak dibiayai APBN dapat menggunakan dana pariwisata.
Rencana penggunaan dana itu disayangkan Azril karena selama ini kegiatan-kegiatan kepariwisataan telah disokong APBN. Semestinya, penggunaannya dipikirkan berdasarkan efek pengganda yang kuat. Skema itu harus dihitung terlebih dahulu.
Penggunaan dana pariwisata perlu dititikberatkan pada pengembangan pariwisata, antara lain peningkatan kompetensi SDM. Daerah tertinggal juga berhak mendapat perhatian khusus dari dana ini. Adapun promosi dan penyelenggaraan acara tidak bersifat pengembangan.
Pengamat pariwisata Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Chusmeru, menekankan peruntukan dana pariwisata harus jelas. Ia juga berharap penggunaan dana ini bersifat pengembangan, antara lain untuk konservasi dan menjaga kelestarian agar pariwisata Indonesia semakin menarik.
Adapun Esther berharap dana pariwisata dapat digunakan untuk memperbaiki akses dan fasilitas pariwisata. Misalnya, untuk subsidi avtur, agar dapat menekan harga tiket pesawat yang melambung.
Transparansi pertanggungjawaban serta audit dana juga harus jelas dan terukur, jangan sampai ada mark-up.