Dugaan Malaadministrasi Rekomendasi Impor dan Wajib Tanam Bawang Putih Didalami
Ada empat permasalahan terkait rekomendasi impor dan wajib tanam bawang putih yang mengarah ke potensi malaadministrasi.
JAKARTA, KOMPAS — Ombudsman RI tengah mendalami kasus dugaan malaadministrasi penerbitan rekomendasi impor produk hortikultura dan wajib tanam bawang putih di lingkup Kementerian Pertanian. Empat pejabat kementerian tersebut akan diperiksa secara maraton pada 16-18 Januari 2024.
Upaya investigasi atas prakarsa sendiri itu merupakan tindak lanjut dari Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) dugaan malaadministrasi pemberian surat persetujuan impor bawang putih terhadap Kementerian Perdagangan pada 17 Oktober 2023. Persetujuan impor bawang putih yang diterbitkan Kemendag itu berdasarkan rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) Kementerian Pertanian (Kementan).
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, Selasa (16/1/2024), mengatakan, Ombudsman telah meminta keterangan pelapor, serta mengecek data pendukung lokasi penanaman bawang putih di Kabupaten Temanggung. Hasilnya, Ombudsman mengidentifikasi ada empat permasalahan yang mengarah pada potensi malaadministrasi.
Pertama, penerbitan RIPH bawang putih melebihi kuota impor bawang putih yang ditetapkan pemerintah melalui rapat koordinasi terbatas. Pada 2023, kuota impor bawang putih ditetapkan 560.000 ton, tetapi impornya mencapai 1,2 juta ton.
”Kedua, ada dugaan pungutan liar dalam pemberian RIPH bawang putih. Besaran pungutannya bervariasi,” ujarnya dalam konferensi pers yang digelar secara hibrida di Jakarta.
Ombudsman mengidentifikasi ada empat permasalahan yang mengarah pada potensi malaadministrasi.
Ketiga, lanjut Yeka, dana biaya tanam bawang putih yang diberikan importir tidak sesuai kebutuhan petani. Di Temanggung, biaya tanam bawang putih Rp 70 juta per hektar, tetapi dana yang diberikan kepada petani Rp 15 juta hingga Rp 20 juta.
Keempat, ada ketidaksesuaian antara komitmen wajib tanam dan realisasi wajib tanam bawang putih. Ombudsman menemukan ada anggota fiktif pada kelompok tani pelaksana wajib tanam bawang putih dan ada importir yang tidak melaksanakan wajib tanam.
Pemerintah mewajibkan importir bawang putih menanam bawang putih dengan produksi minimal sebanyak 5 persen dari volume permohonan RIPH per tahun. Hal itu diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 38 Tahun 2017 tentang RIPH. Regulasi itu kemudian disempurnakan dengan Permentan No 46 Tahun 2019 tentang Pengembangan Komoditas Hortikultura Strategis yang mengatur syarat yang sama.
Yeka menambahkan, Ombudsman juga melihat data produksi dan impor bawang putih tahun 2018-2022 dari Badan Pusat Statistik. Setelah kebijakan wajib tanam bawang putih oleh importir bawang putih berlaku sejak 2017, produksi komoditas itu memang naik pada 2018-2020.
”Namun, pada 2021 hingga 2022, produksi komoditas yang menjadi salah satu komponen penghitungan inflasi itu justru turun drastis. Ini menunjukkan ada kegagalan dari program wajib tanam tersebut. Kalau gagal, ya, seharusnya dievaluasi dan dibenahi,” katanya.
Baca juga: Kemendag Diduga Lakukan Lima Tindakan Malaadministrasi Izin Impor Bawang Putih
Berdasarkan data BPS, produksi bawang putih pada 2018 sebanyak 39.302 ton. Produksi tersebut melonjak cukup signifikan pada 2019 dan 2020, masing-masing menjadi 88.816 ton dan 81.805 ton. Kemudian pada 2021 dan 2022, produksi komoditas tersebut justru turun drastis masing-masing menjadi 45.092 ton dan 30.194 ton.
Dari empat temuan itulah, kata Yeka, Ombudsman akan memanggil dan memeriksa empat pejabat Kementan secara maraton pada 16-18 Januari 2024. Mereka adalah direktur jenderal hortikultura, serta sekretaris, direktur pengolahan dan pemasaran hasil hortikultura, dan direktur perlindungan hortikultura Direktorat Jenderal Hortikultura.
”Kami menargetkan investigasi atas prakarsa sendiri ini bisa tuntas akhir Januari ini atau sebelum pemilihan umum pada Februari nanti,” katanya. Hingga Selasa (16/1/2024) pukul 21.30, Direktur Jenderal Hortikultura Kementan Prihasto Setyanto masih belum menanggapi permintaan konfirmasi Kompas terkait hasil pemeriksaan sementara Ombudsman tersebut. Begitu juga Biro Humas dan Informasi Publik Kementan yang belum memberikan jawaban.
Pada Oktober 2023, Prihasto Setyanto pernah menyebutkan, sejak 2017 hingga Oktober 2023 sudah ada 140 perusahaan pengimpor bawang putih yang melaksanakan wajib tanam dan produksi bawang putih. Kementan telah memverifikasi aktivitas tanam mereka.
”Dari 140 perusahaan itu, ada yang melaksanakan wajib tanam sekali, dua kali, tiga kali, bahkan empat kali. Artinya, mereka sudah benar-benar melaksanakan kewajiban. Kami akan terus memonitor perkembangannya ke depan,” katanya (Kompas, 18 Oktober 2023).
Baca juga: Dari Beras Literan hingga Dugaan Permainan Harga Bawang Putih
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad berpendapat, setiap komoditas ekspor, termasuk bawang putih, membuka peluang bari para pelakunya untuk mencari keuntungan yang tidak wajar atau bukan dengan cara persaingan yang sehat. Hal itu bisa dilihat selisih harga jual di dalam negeri sangat besar dari harga beli di negara asal.
Kondisi itu tentu saja menjadi celah berbagai kepentingan untuk mendapatkan keuntungan dari komoditas itu. Hal itu tidak hanya dari hasil penjualan di dalam negeri, tetapi juga proses perizinan, mulai dari penerbitan rekomendasi hingga persetujuan impor.
”Jika Ombudsman menemukan indikasi-indikasinya, penegak hukum perlu menindaklanjutinya dan tidak membiarkan temuan itu tidak berhenti di ranah Ombudsman. Hal itu tentu saja perlu diikuti dengan faktor-faktor lain yang menyebabkan harga komoditas tersebut tinggi, seperti biaya logistik mulai dari pengangkutan, pergudangan, hingga distribusinya,” katanya.
Tetap upayakan produksi
Di sisi lain, lanjut Tauhid, meskipun bawang putih tidak terlalu optimal diproduksi di Indonesia, pemerintah tetap perlu mengupayakan agar produksi terus meningkat dan dijamin serapan pasarnya. Hal ini penting guna mengurangi ketergantungan impor sekaligus memberdayakan petani lokal.
Selama ini, Indonesia masih belum mampu memenuhi kebutuhan bawang putih secara mandiri sehingga harus bergantung pada impor. BPS mencatat, produksi bawang putih Indonesia pada 2023 hanya sebanyak 30.194 ton atau turun 33 persen secara tahunan. Produksi itu jauh di bawah kebutuhan konsumsi tahunan bawang putih yang pada 2022 sebanyak 554.020 ton.
Provinsi penghasil bawang putih terbesar di Indonesia adalah Jawa Tengah, yakni sebanyak 21.293 ton. Selain Jawa Tengah, empat daerah produsen bawang putih terbesar di Indonesia adalah Nusa Tenggara Barat dengan produksi sebanyak 4.761 ton, Jawa Timur 855 ton, Sumatera Barat 740 ton, dan Bali 689 ton.
Baca juga: Bawang Putih yang Sungguh Terabaikan
Pada tahun ini, pemerintah telah menetapkan kuota impor bawang putih sebanyak 645.025 ton berdasarkan rapat koordinasi terbatas di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Jumlah itu naik dari kuota impor bawang putih tahun lalu yang sebanyak 561.926 ton.
Dalam Rapat Pengendalian Inflasi Daerah yang digelar Kementerian Dalam Negeri, Senin (15/1/2024), Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura Direktorat Jenderal Hortikultura Kementan Bambang Sugiharto memastikan RIPH bawang putih akan segera diterbitkan pekan ini. Untuk tahap awal, rekomendasi impor yang akan diterbitkan untuk 400.000 ton bawang putih.
Penerbitan RIPH itu dilakukan berdasarkan kebutuhan pemenuhan stok bawang putih dalam negeri dan dirancang agar komoditas ini tidak kelebihan pasokan. Pada akhir tahun 2023 terdapat sekitar 500 importir yang mendaftar untuk mendapatkan RIPH. Namun, saat ini, hanya 140 perusahaan importir yang dipilih masuk dalam daftar penerima RIPH Kementan.
Baca juga: Spekulan Disinyalir Jadi Biang Keladi Kenaikan Harga Bawang Putih