Hak pejalan kaki Indonesia belum diprioritaskan. Padahal, hierarki tertinggi transportasi disematkan pada mereka.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·3 menit baca
Suasana di trotoar jalan Margonda Raya, Depok, Rabu (4/1/2023). Sepeda motor banyak parkir di atas trotoar tersebut. Bahkan, motor leluasa naik ke trotoar karena tiang penghalang atau bollard dapat dilalui.
JAKARTA, KOMPAS – Keselamatan pejalan kaki belum menjadi prioritas para pengemudi di Indonesia. Berkaca dari Jepang, standardisasi kurikulum pelajaran perlu dilakukan untuk menciptakan budaya aman berkendara.
Direktur Angkutan Jalan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Suharto mengemukakan, Indonesia memang sudah memiliki kurikulum dan materi pendidikan khusus mengemudi bagi masyarakat sejak usia dini. Namun, gerakan tersebut masih terbatas.
”Kami masih bergerak seputar Kemenhub atau pada institusi yang menyelenggarakan fungsi transprotasi, belum pada masalah penegakan hukum yang saat ini ada di kepolisian. Saat ini, kami bergerak parsial karena terbatas pada otoritas kami,” ujar Suharto di Gedung Karsa, Kemenhub, Jakarta, Kamis (25/1/2024).
Pihaknya mengakui, harkat dan martabat seseorang terlihat dari perilaku pengemudi kendaraan. Hal itu ditentukan sejak usia belia.
Dari hierarki transportasi, pejalan kaki merupakan prioritas utama. Namun, posisinya malah kerap terabaikan.
Hal ini juga yang disorot perwakilan sekolah mengemudi Jepang. Managing Director Seibu Driving School, Shizuoka Prefecture Save Driving School Tomofumi Hayakawa menilai Indonesia perlu memperbaiki beberapa aspek mengemudi. Aspek yang paling utama adalah perhatian terhadap pejalan kaki.
Ia mengatakan, sebagai warga Jepang, melihat berbahayanya kondisi pejalan kaki di Indonesia. Pertanyaan mengapa perlindungan terhadap pejalan kaki tak diutamakan pun mengemuka. Belum lagi persoalan pengemudi yang kerap melanggar peraturan lalu lintas, seperti menerabas lampu merah.
Upaya untuk melatih pengemudi perlu dikembangkan. Budaya keteraturan, kedisiplinan, termasuk mengutamakan pejalan kaki perlu dilakukan.
Sekolah mengemudi dapat ambil peran untuk memperbaiki iklim berkendara di Indonesia. Pihaknya pun bekerja sama dengan Indonesia melalui Sekolah Mengemudi Eka Jaya Berrindo untuk menyamakan standar berkendara Jepang. Materi pelajaran, sarana dan prasarana, serta ujian akan disetarakan mengikuti standar Jepang.
Menurut Chief Executive Officer Eka Jaya Berrindo Wildan Kusuma, pihaknya tak segan menimba ilmu dari Jepang karena kesadaran mengemudi dan keselamatan yang tinggi. Lebih dari 90 persen warga negara tersebut mengikuti kursus mengemudi, meski hal itu tak diwajibkan pemerintah.
Nantinya, kerja sama antarkedua negara ini dapat menyerap tenaga kerja Indonesia untuk bekerja di Negeri Sakura. Hal ini sekaligus upaya menjawab krisis sopir di Jepang. Mereka akan disiapkan untuk menjadi sopir taksi, bus, dan kendaraan besar logistik.
General Manager Kantor Perwakilan Eka Jaya Berrindo di Jepang Adi Suhardi meyakini bahwa pengemudi Indonesia dapat lebih unggul ketimbang negara lain. Mayoritas warga negara beragama Islam sehingga mengikuti larangan untuk tak mengonsumsi alkohol.
”Sekarang di Jepang, banyak (orang) minum alkohol, kemudian naik mobil, tertangkap karena kecelakaan. Ini jadi masalah sosial tersendiri,” kata Adi.
Indonesia dinilai lebih mudah beradaptasi ketimbang Vietnam dan Filipina, tenaga kerja yang cukup mendominasi di Jepang. Serupa dengan Jepang, Indonesia mengadopsi setir kanan untuk mobil. Posisi berkendara di sisi kiri juga memudahkan pengemudi Indonesia untuk mempelajari cara mengemudi yang benar sesuai standar Jepang.
Krisis pengemudi
Hingga saat ini, Pemerintah Jepang belum membuka keran terhadap tenaga kerja asing bekerja sebagai sopir. Sebab, mereka memiliki kekhawatiran tersendiri.
Hayakawa mengatakan, Pemerintah Jepang mengkhawatirkan kehadiran tenaga kerja asing sebagai sopir dapat mengganggu iklim berkendara yang disiplin dan tertata di sana. Alhasil, saat ini memang peluang tersebut belum terbuka bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia.
Meski Pemerintah Jepang belum meresmikan regulasi penerimaan tenaga kerja asing sebagai sopir, tetapi wacana untuk mengisi ruang ini telah mengemuka. Jepang berencana memperluas visa kerja bagi pekerja berkeahlian spesifik untuk menarik warga negara lain bekerja pada industri dan transportasi logistiknya, seperti dikutip The Japan Times (14/9/2023).
Menurut laporan Mainichi Shimbun, pemerintah akan menambah kategori sopir transportasi untuk pekerja kerah biru hingga akhir tahun fiskal pada Maret 2024. Kementerian transportasi Jepang mengatakan, pemerintah sedang mempertimbangkan opsi ini, tetapi belum dapat memastikan kapan kategori ini akan ditambahkan.
Saat ini, tes-tes izin mengemudi dibutuhkan untuk sopir taksi dan bus. Namun, ujian itu hanya tersedia dalam bahasa Jepang sehingga menyulitkan warga non-berbahasa Jepang untuk mendapatkan pekerjaan ini.
Peluang ini dimanfaatkan Eka Jaya Berrindo dan Sekolah Mengemudi Seibu untuk mempersiapkan tenaga kerja Indonesia sebagai pengemudi sesuai standar Jepang. Harapannya, serapan tenaga kerja Indonesia di sana pun bertambah.