Mengurai Benang Kusut Polemik Pajak Hiburan
Saling tunjuk dalam kontroversi pajak hiburan bukan solusi. Keberpihakan pemerintah pun dinanti.
Awal tahun ini, para pengusaha hiburan digemparkan dengan kenaikan tarif pajak hiburan jenis usaha tertentu berkisar 40-75 persen. Mereka menilai, besaran pajak ini tak wajar, bahkan tak menyisakan untung bagi para pelaku usaha.
Serapan pajak itu belum termasuk komponen pajak lain yang tetap harus disetorkan dari keuntungan, jika masih ada, seperti Pajak Penghasilan.
Aturan baru itu membuat kalang kabut pengusaha, apalagi mereka merasa tak dilibatkan dalam penyusunan aturan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).
Dalam regulasi itu, terdapat 12 kelompok jasa kesenian dan hiburan, 11 di antaranya dipungut pajak hiburan maksimal 10 persen. Sisanya masuk dalam kelompok hiburan tertentu yang terdiri atas diskotek, karaoke, kelub malam, bar, serta mandi uap/spa. Mereka harus membayar tarif 40-75 persen dari pendapatan kotor.
Baca juga: Bijak Sikapi Polemik Pajak Hiburan
Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Hariyadi Sukamdani mengatakan, banyak pihak yang mempertanyakan mengapa UU yang sudah diresmikan pada 2022 itu baru diributkan sekarang. Itu semata-mata kerena mereka tak pernah dilibatkan dalam konsultasi publik saat UU HKPD dirancang.
”Tidak pernah ada rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan pihak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan tidak ada pembicaraan dengan pemerintah. Setelah diundangkan, tidak ada sosialisasi karena ini pajak daerah, harusnya (pemerintah) daerah sudah memanggil para pelaku usaha,” kata Hariyadi di Jakarta, Jumat (26/1/2024).
Polemik ini bermula ketika peraturan daerah (perda) terbit awal 2024, dua tahun setelah UU diresmikan. Para pelaku usaha di daerah terkejut karena tagihan pajak berubah, tanpa sosialisasi.
Apabila tarikan pajak ini tetap dipaksakan, para pelaku usaha terancam gulung tikar, bahkan ketika hanya sekadar ditarik batas bawah 40 persen. Sebab, besaran pajak disetor dari pendapatan kotor, sisanya barulah bisa digunakan untuk membiayai komponen pekerjaan yang lain.
Mereka berharap Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) kembali menjadi acuan. Sebab, regulasi itu tak menetapkan tarif batas bawah, hanya mengatur tarif batas atas sebesar 75 persen.
Baca juga: Pajak Hiburan Bisa Kembali ke Tarif Awal, Bola Panas di Tangan Pemda
Pelaku usaha kelub malam, Hotman Paris Hutapea, mengemukakan kekesalannya karena isu pajak ini lantas menjadi polemik. Besaran 40 persen dinilainya janggal sehingga mengasumsikan ada oknum yang tak mendukung bisnis hiburan tertentu ini.
”Sepertinya memang ada oknum yang menginginkan bisnis ini tutup di Indonesia,” katanya.
Tak hanya para pengusaha, praktisi pajak hingga pengamat pariwisata mengkritisi kebijakan ini. Mereka menganggap, kebijakan ini perlu ditunda, lantas direvisi.
Pendiri dan konsultan pajak dari PT Botax Consulting Indonesia mengemukakan, ia sepakat bahwa ada ketidakwajaran pada tarif pajak hiburan sebesar 40-75 persen. Dasar pengenaan pajak dari penerimaan kotor usaha, bukan pendapatan bersih, berisiko mengurangi, bahkan menghabiskan laba bersih usaha.
”Kalau penerimaan karaokenya Rp 100 juta, pajak yang diserahkan ke pemda sudah Rp 40 juta. Sisanya, Rp 60 juta, untuk menutupi biaya operasional. Kalaupun ada keuntungan, akan dikenai pajak lain, yaitu Pajak Penghasilan,” ujar Raden (Kompas.id, 19/1/2024).
Baca juga: Berbagai Kalangan Desak Aturan Pajak Hiburan Ditunda dan Direvisi
Sebelumnya pada UU PDRD, pemda menentukan tarif pajak hiburan pada kisaran 20-30 persen. Dengan rata-rata tarif pajak hiburan khusus 20 persen, pelaku usaha karaoke dapat mengantongi laba bersih 25 persen. Tetapi, saat pajak hiburan naik menjadi minimal 40 persen, maka laba bersih usaha tinggal 5 persen.
”Jika sumber modal usahanya dari bank dan pengusaha harus membayar bunga rutin ke bank, sisa 5 persen laba bersih itu bisa saja habis dan pengusaha harus nombok,” katanya.
Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia Azril Azhari mengatakan, sikap pemerintah saat ini menunjukkan keberpihakannya. Di tengah masa pemulihan sektor pariwisata, sikap pemerintah bak diuji.
”Artinya, keberpihakan pemerintah ke mana, mau mendapatkan uang dari pajak atau meningkatkan pariwisata? Karena pariwisata mau jadi sektor unggulan,” kata Azril.
Banyak usaha karaoke, diskotek, bar, kelub malam, mandi uap/spa yang dikelola hotel-hotel berbintang lima. Kelompok usaha hiburan ini masuk dalam sektor minat khusus yang lebih banyak disediakan pihak hotel. Dalam konsep pelayanan (hospitality), ada aspek akomodasi, makanan dan minum, serta hiburan.
Menanti proses MK
Getolnya para pengusaha jasa hiburan memperjuangkan penurunan tarif pajak hiburan setidaknya kembali pada besaran yang lama, mendorong mereka mengajukan pengajuan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) secara berjamaah.
Hariyadi bersama beberapa asosiasi hiburan lainnya pun mengajukan uji materi dalam beberapa nomor registrasi. Inti gugatan mengacu pada pembatalan Pasal 58 Ayat 2 yang menetapkan tarif PBJT atas jasa hiburan tertentu minimal 40 persen dan maksimal 75 persen.
Dengan demikian, ada jeda antara menunggu utusan MK dan penarikan tagihan dari pemerintah. ”Ini pemda sudah hot banget mengejar, lumayan ditarik (pajak) segitu (besaran baru). Namun, kami kalau ditarik nominal itu, pasti mati,” kata Hariyadi.
Para pengusaha spa telah terlebuh dahulu mengajukan uji materi ke MK. Wakil Ketua Umum Asosiasi Spa Indonesia (Aspi) M Asyhadi mengatakan, setidaknya ada dua permohonan dalam uji materi (judicial review) dari pengusaha spa ke MK. Pertama, tak ada keadilan dalam penerapan pajak bagi tiap pengusaha. Pengusaha restoran dalam usaha pariwisata hanya dibebani pajak 10 persen, sementara pengusaha hiburan lain tiba-tiba ditetapkan 40-75 persen. Hal ini dinilai berbenturan dengan UUD 1945.
Baca juga: Pengusaha Spa Keberatan Dimasukkan dalam Hiburan
Apalagi posisi spa diperkuat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan serta sejumlah regulasi kesehatan, antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional serta Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Spa. ”Jadi, tak ada kategori hiburan (untuk spa),” kata Asyhadi yang juga Ketua Umum Asosiasi Terapis Indonesia (Asti) itu.
Adapun tuntutan kedua adalah spa perlu dikeluarkan dari golongan hiburan. Sebab, kegiatan spa adalah wisata kesehatan dan tradisional yang diperkuat dalam regulasi pariwisata dan kesehatan.
Target uji materi itu ada dua, yakni besaran pajak mengacu pada Pasal 58 Ayat 1, yakni sama dengan besaran yang dibebankan kepada pengusaha hiburan lainnya. Kemudian, keluarnya spa dari golongan hiburan pada Pasal 55.
Selain tak pernah dilibatkan dalam perancangan UU HKPD, para pengusaha tak menemukan naskah akademik UU itu. Hal ini amat disayangkan.
Baca juga: Kemenkeu: Pemda Boleh Beri Keringanan Tarif Pajak Hiburan
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sedang menggalakkan wisata kesehatan di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Sanur, Bali. Kawasan ini ditargetkan mendatangkan beragam investor, termasuk pengunjung dengan menitikberatkan wisata kebugaran, termasuk spa.
”Jadi, ini sangat kontraproduktir dengan UU HKPD, benturannya sangat banyak,” ujar Asyhadi.
Saat ini, semua 22 pemohon uji materi dari Jakarta dan Bali fokus mempersiapkan sidang pertama di MK. Jadwal sidang belum keluar sebab perlu menanti 14 hari masa kerja sejak permohonan berkas bernomor 10/PUU/PAN.MK/AP3/01/2024 diterima pada Jumat (5/1/2024) lalu.
Solusi jangka pendek
Guna menengahi polemik pajak hiburan yang bergulir di MK, maka pemerintah pusat menerbitkan surat edaran (SE) yang mengizinkan pemda memberikan keringanan pajak hiburan bagi pengusaha tertentu. Pemberian insentif ini memberi kewenangan kepada pemda untuk mengembalikan pajak hiburan kembali ke tarif awal yang selama ini berlaku. Harapannya, keputusan MK nantinya yang akan jadi acuan utamanya. Hingga saat itu tiba, solusi jangka pendek diberlakukan.
Menteri Dalam Negeri telah menerbitkan SE bernomor 900.1.13.1/403/SJ pada 19 Januari 2024 yang ditujukan kepada semua gubernur, wali kota, dan bupati. Isinya memperbolehkan kepala daerah untuk memberikan insentif fiskal pada pelaku usaha di daerahnya masing-masing sesuai dengan Pasal 101 Ayat 1 dalam UU HKPD.
Baca juga: Pemerintah Sederhanakan Pajak dan Retribusi Daerah
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan, kepala daerah berwenang mengurangi tarif pajak barang dan jasa hiburan hingga di bawah 40-75 persen, bahkan sama dengan tarif sebelumnya.
”Pemberian insentif fiskal dengan pengurangan tarif pajak hiburan itu cukup ditetapkan dengan peraturan kepala daerah,” kata Airlangga seusai audiensi bersama sejumlah pelaku usaha hiburan di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (22/1/2024).
Kenyataannya, meski SE sudah diterbitkan, banyak pemda yang masih memproses dengan tagihan terbaru dengan alasan mereka masih ragu-ragu menerapkannya. Padahal, pada saat bersamaan, proses uji materi di MK masih berjalan.
”Keragu-raguan itu lebih pada masalah politis saja. Kalau dia firm (tegas), tidak ada masalah,” ujar Hariyadi.
Apabila hal ini terus berlanjut, dampak buruk kelompok hiburan tertentu menanti di depan mata. Padahal, sektor pariwisata juga belum sepenuhnya pulih pascapandemi Covid-19.
Secara terpisah, General Manager Martha Tilaar SPA Ita Utamiwati mengatakan, saat ini industri spa masih dalam masa pemulihan. Apabila pajak hiburan sesuai UU HKPD tetap diterapkan, pelanggan yang akan dibebankan pajaknya. Sebab, perusahaan tak mampu menanggung pajak secara mandiri sehingga harga akhir yang dibayar konsumen akan meningkat. Imbasnya, pelaku usaha akan kehilangan pelanggannya.
Hal senada diutarakan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hiburan Jakarta (Asphija) Hana Suryani. Pihaknya berisiko kehilangan omzet ketika pelanggan menolak kenaikan harga akibat meningkatnya besaran pajak.
”Hingga saat ini saya belum bisa menerapkan pajak karena tamu menolak, enggak mau datang, hingga cancel pesanan. Jadi, ya, kami terima pakai pajak lama,” kata Hana.
Kusutnya isu pajak hiburan ini menunjukkan belum ada kesamaan visi dan misi guna memajukan sektor pariwisata. Belum ada kesepahaman seia dan sekata dari semua pemangku kepentingan, baik pengusaha maupun pemerintah. Padahal, dibutuhkan suara yang bulat, duduk bersama untuk mengurai benang kusut, tidak hanya saling melempar ”bola panas”.
Baca juga: Ada Acuannya, Pemda Tak Boleh Sembarangan Terapkan Tarif Pajak Hiburan